Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Ingatan tentang Aceh, Jurnalisme, dan Sahabat

Nabilla Anasty Fahzaria

2 min read

Puas sekali berjumpa dengan buku terbitan Penerbit Tanda Baca setebal 204 halaman ini di detik-detik terakhir sebelum checkout di keranjang oranye. Setelah membaca Parade Hantu Siang Bolong-nya Titah Asmaning Winedar yang memuat kumpulan reportase bertema lokalitas dan budaya, buku kumpulan tulisan berjudul Sejarah Mati di Kampung Kami: Catatan tentang Aceh, Jurnalisme, dan Demokrasi ini menjadi buku non fiksi lain yang saya baca di sepanjang Juli yang dingin.

Jika mengintip profil penulis yang tercantum di halaman terakhir buku, Nezar Patria bukanlah orang asing di dunia jurnalistik. Pria kelahiran Sigli, Pidie, Provinsi Aceh pada 5 Oktober 1970 silam ini merupakan mantan jurnalis di Majalah Tempo, VIVA.id, CNN Indonesia, dan The Jakarta Post. Leila S. Chudori dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa Nezar Patria merupakan aktivis pro demokrasi, penyintas peristiwa penculikan 1998 (yang kisahnya dimuat pada Di Kuil Penyiksaan Orde Baru), penyair, dan pejabat BUMN.

Baca juga:

Meski sekarang telah melipir ke dunia kerah putih, sepak terjang Nezar Patria di dunia jurnalisme memang tidak diragukan lagi. Makanya, bicara soal buku non fiksi, saya senang membaca tulisan dari orang yang ahli di bidangnya.

Menelusuri Aceh dari Kacamata yang Lain

Dalam buku ini, penulis membagikan pengalaman-pengalamannya meliput di Aceh, memaparkan sisi lain kisruhnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan menggali sisi humanis Aceh dari sudut pandang yang tidak pernah kita temukan sebelumnya. Mungkin karena penulis sudah dekat dan “melekat” dengan tanah kelahirannya tersebut, tulisan-tulisannya hangat dibaca.

Tulisan pertamanya adalah Sejarah Mati di Kampung Kami yang mengisahkan betapa tragisnya sebuah bencana tsunami memorakporandakan Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh pada hampir dua dekade silam. Tulisan-tulisan selanjutnya banyak menggali sudut pandang lain terkait GAM, seperti halnya tulisan berjudul Dua Horizon Tragedi di Aceh dan pengalaman liputan menegangkan pada tulisan Malam Terakhir di Bukit Peudawa. Penulis juga mengisahkan sosok Hasan Tiro, pendiri GAM yang terkenal, lewat tulisan Perginya Sang Wali Terakhir dan Hasan Tiro, Nietzsche dan Aceh.

Saya suka kisah-kisah berjudul Guru Sejarah, Obituari Sebotol Sirup, Bioskop, dan Pangkas Rambut. Semua tulisan yang semula hanya ditulis di laman Facebook pribadi penulis, kini berubah menjadi sesuatu yang dapat lebih dinikmati lewat lembaran buku. Kisah-kisah ringannya menceritakan pengalaman menggugah dan penuh nostalgia. Tentunya, tanpa meninggalkan identitas ke-Aceh-an sang penulis.

Kuliah Jurnalistik Lewat Tulisan

Ini mungkin terdengar aneh, tapi melalui esai berjudul Filsafat dan Jurnalisme: Pencarian Makna di Balik Berita serta Berita Palsu dan Disiplin Verifikasi, saya serasa kembali ke kelas Dasar-Dasar Jurnalistik beberapa tahun yang lalu.

Seperti yang kita ketahui, kegiatan jurnalisme merupakan kegiatan yang nyata, lugas, dan berdasarkan peristiwa tertentu. Sementara filsafat merupakan sesuatu yang terlalu abstrak. Filsafat bisa jadi cemburu kepada kegiatan jurnalisme dalam hal mencari kebenaran. Namun, filsafat bisa membantu siapa saja berpikir kritis dalam mencari kebenaran. Dalam esai Filsafat dan Jurnalisme: Pencarian Makna di Balik Berita, Nezar berpikir bahwa jurnalisme masih perlu peran filsafat.

Sementara itu, kini kegiatan jurnalistik menghadapi tantangan tak asing seperti munculnya informasi tak jelas, berita hoaks, dan aktivitas citizen journalism yang aktif dilakukan secara sendirinya oleh masyarakat tanpa panduan atau pengetahuan jurnalistik. Lewat tulisan Berita Palsu dan Disiplin Verifikasi, Nezar ingin mengajak para pembaca untuk gencar mengimplementasikan kegiatan disiplin verifikasi di tengah impitan tantangan kekinian itu.

Persembahan untuk Sahabat

Tidak hanya soal Aceh dan Jurnalistik, beberapa tulisannya juga ia persembahkan untuk sahabat-sahabat terdekat. Lihatlah betapa Nezar belajar banyak dari sosok Bre Redana dalam tulisan berjudul Bre. Kedekatan keduanya baik saat liputan di Aceh maupun di Glastonbury menjadikan Nezar menganggap sosok Bre sebagai guru.

Tulisan lainnya berjudul Sabam Leo Batubara menjadi memoar tentang sosok tokoh pers nasional tersebut. Tulisan 80 Tahun Goenawan Mohamad, Panjang Umur Hal-Hal yang Mencerahkan menjadi tulisan pandangan pribadi penulis terhadap sosok legendaris Goenawan Mohamad.

Nezar mengisahkan pengalaman meliput di Aceh dan peran Toriq Hadad yang berjasa karena telah menolongnya lewat tulisan Toriq Hadad dan Panggilan Tengah Malam. Toriq Hadad merupakan wartawan yang pada akhirnya berhasil menjadi Direktur Utama Tempo dan kini ia sudah berada di surga. Melalui tulisan berjudul Pram, penulis juga menceritakan detik-detik sosok Pramoedya Ananta Toer wafat.

Dari tulisan-tulisan memoar tersebut, saya melihat penulis begitu getol mempelajari sesuatu dari kawan-kawan dan para koleganya. Penulis merekamnya dengan baik sehingga tulisan-tulisannya tidak sekadar mengenang kebersamaan, tetapi ada ide yang ingin ditransfer melalui narasi-narasi penuh kesetiakawanan itu.

Baca juga:

Rasanya menghangatkan hati dan memberi pengalaman baru selama membaca kumpulan tulisan dalam buku ini. Bagi saya, tulisan-tulisannya penuh petualangan, personal, dan bening. Saya ingin membaca buku-buku seperti ini lebih banyak lagi dengan kedua mata yang terbuka lebar.

 

Editor: Emma Amelia

Nabilla Anasty Fahzaria
Nabilla Anasty Fahzaria Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email