The Hundred Acre Wood

Hasan Aspahani

6 min read

Ada pelanggan baru di kafe “The Hundred Acre Wood”. Sudah lebih dari sebulan ini, hampir setiap hari, pada jam istirahat kantor dan pada jam lepas kerja, dia datang. Nyaris selalu sendiri. Dia akan duduk menikmati kopi sambil menulis, semacam teks-teks pendek, kalimat indah berisi, seperti puisi Rupi Kaur itu.
Salina akan memesan kopi yang sama pada siang hari, Americano regular (kurangi sepertiga bagian air panasnya, biar tak terlalu encer), dan pada sore hari berganti-ganti, sepertinya tergantung pada suasana hatinya. Dia bergantian memesan kopi rasa-rasa itu, kadang avocado, caramel macchiato, bahkan cappuccino cincau. Sesekali juga mencoba kopi special origin dari berbagai sentra kopi di tanah air. Yang paling dia suka Arabika Kintamani.
Dia duduk di mana saja meja yang kosong jika kafe sedang ramai, atau kalau tersedia dia selalu ambil meja yang dari sana dia—rasanya begitu—bisa mengamati sayadengan leluasa, atau sebaliknya, seperti sengaja ambil posisi agar saya sambil meracik kopi dari balik mesin espresso di meja bar bisa bebas melirik dia.
Saya tak pernah mengistimewakan pelanggan. Semua sama istimewanya bagi saya, selama mereka menikmati kopi dan suasana kafe. Juga royal memberi tip. Salina juga tak ingin diistimewakan, tapi rasanya, berkembang sejenis hubungan yang lain di antara kami, yang pelan-pelan melewati batas saya sebagai penjual kopi dan dia pelanggan kopi.
“Penggemar A.A Milne ya?” tanyanya, pada sore ke-3 atau ke-4 kunjungan rutinnya. Saya ingat benar bagaimana dia membuka percakapan dengan pertanyaan itu. Kafe saat itu agak sepi. Beberapa pelanggan asyik dengan laptop, melakoni ritual work from café yang menjadi kelaziman baru pascapandemi. Kantor-kantor sebagian masih menerapkan kerja dari rumah dan mereka para pekerja itu bosan juga terlalu banyak bekerja di rumah.
Berkahlah bagi kami para pengelola kafe!
Tak banyak yang tahu nama “The Hundred Acre Wood” itu berasal dari buku Winnie The Pooh, apalagi sampai tahu nama pengarangnya A.A. Milne.
Saya yang dulu mengusulkan nama itu pada almarhum Pak Nata, pemodal kafe ini. Saya datang padanya dengan konsep kafe yang nyaman, riang, teduh, seperti taman atau seperti hutan kecil di mana Christoper Robin bermain bersama teman-teman antropomorfisnya, dan dia setuju.
“Saya yakin, Anda tahu nama Starbucks itu berasal dari mana?” tanya saya pada Salina, balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaannya.
“Melville. Moby-Dick. 1851,” jawabnya.
Lalu kami tertawa. Saya tak tahu saat itu apa yang kami tertawakan. Mungkin kami menertawakan orang-orang yang tak tahu bahwa dari novel itulah kata Starbucks berasal, nama seorang awak kapal yang menentang Ahab memburu paus. Tapi tawa adalah hal yang diam-diam dengan halus menautkan saya dan Salina. Kami bisa menertawakan banyak hal. Cara kami memandang dunia dan kehidupan ini membuat kami menemukan banyak sisi-sisi jenaka.
“Seandainya belum ada yang memakai nama itu, saya akan memakainya untuk kafe ini. Tapi “The Hundred Acre Wood” lumayan lah ya?” kata saya.
Salina bekerja sebagai direktur SDM di perusahaan multinasional, di kantor yang berada di gedung yang bersebelahan dengan mal itu. Dari gedung itu, keluar berjalan sedikit, masuk ke jalan cukup lebar, lalu masuk jalan kecil yang teduh dengan pepohohan, dia akan sampai di sini, di “The Hundred Acre Wood”. Keteduhan itulah yang mungkin disukainya, seperti juga oleh pelanggan lain.
Saya pun betah bekerja di kafe ini. Sebelum menjalankan rencana bisnis kafe dengan modal sepenuhnya dari Pak Nata, saya menjadi barista di beberapa kafe. Tak sulit bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai barista. Ada ledakan besar bisnis kafe di kota-kota di ini, kafe-kafe bertumbuhan, memberi tempat pada gaya hidup baru anak-anak muda, dan sebagai peracik kopi yang pernah menang di beberapa kompetisi barista tingkat kota, saya mendapatkan limpahan tawaran.
Setelah bergabung dengan beberapa jaringan kafe nasional dan internasional, saya akhirnya tahu benar apa yang saya inginkan, yang membuat saya akan terus bertahan di bisnis kopi dan profesi barista ini: saya ingin mengangkat harga dan gengsi kopi lokal setinggi-tingginya, lewat sebuah kedai kopi yang unik, dan tak perlu buka cabang. Dan saya beruntung bertemu Pak Nata.
“Beliau meninggal enam bulan lalu. Wasiatnya, saya diizinkan meneruskan sampai setahun. Selanjutnya terserah anak-anaknya. Semua anaknya bekerja di luar negeri dengan karir yang bagus. Kalau tidak ada yang ingin meneruskan, saya diminta menutup kafe ini,” kata saya pada Salina.
“Kok, ditutup? Sayang, dong? Saya akan galang petisi protes. Saya kira dalam sehari bisa saya kumpulkan dukungan ribuan suara, deh,” kata Salina. Saya tahu Salina hendak melucu tapi saya tidak tertawa.
Dia hari itu datang bersama anaknya, seorang anak perempuan lima tahun. Sedikit demi sedikit Salina membuka dirinya, bahwa dia dan ayah anaknya berpisah tanpa kejelasan, tapi hubungan mereka juga tak sepenuhnya jelas.
Seakan hendak memperbaiki kesalahannya melempar lelucon yang tak lucu, ia bertanya serius, “Anak Pak Nata berapa orang? Kamu ada kenal dengan anak-anak beliau?”
Seorang pun tidak ada yang kukenal. Saya buta soal kehidupan pribadi dan keluarga Pak Nata. Yang saya tahu cuma bahwa beliau bekerja profesional, senior di sebuah grup bisnis milik anak pejabat orde baru. Tidak sebesar dulu tapi masih menggurita, masuk ke bisnis macam-macam. Saya tak terlalu peduli soal itu.
“Kamu sudah menghubungi anak-anaknya?” tanya Salina.
“Sekretaris Pak Nata yang menghubungi,” kata saya. Hanya itu sebagian dari sedikit yang saya tahu. Ada sesal dan rasa bersalah juga kini, kenapa tak bertanya banyak soal itu semasa beliau masih hidup, paling tidak sebagai sikap berempati padanya. Saya juga sedikit tahu bahwa Pak Nata bercerai dengan istrinya, dan masing-masing membawa anak. “Dua atau tiga anak ikut istrinya, dan yang lain ikut Pak Nata.”
“Anaknya lima ya?” tanya Salina.
“Begitulah, mungkin. Saya tak tahu pasti,” kata saya.
“Belum ada kabar dari anak-anaknya?
“Belum. Rasanya mereka tak akan peduli dengan kafe kecil ini.”
“Jadi, apa rencanamu?”
“Seperti wasiat Pak Nata.”
“Tutup?”
“Ya.”
“Tapi kamu masih mau mengelola kafe nggak?” kata Salina. Gadis kecil, di meja sebelah Salina asyik menggambar, meniru ilustrasi klasik Shepard dari buku “Winnie the Pooh”, bukan versi Disney yang montok-montok itu.
Saya tak terpikirkan apa rencananya saya bila kafe ini tutup. Rasanya sepuluh tahun ini seluruh energi hidupku kuhabiskan sepenuhnya untuk membesarkan “The Hundred Acre Wood”. Tanpa bertanya soal saham. Pak Nata terlalu baik dan terlalu percaya pada saya. Bagi saya kematiannya karena serangan jantung mengejutkan.
Secara bisnis kafe ini berkembang sehat. Mungkin karena itu dia tak pernah bertanya soal omzet atau target, di luar apa yang rutin saya laporkan. Ia hanya bertanya hal-hal pribadi saya. Rasanya dalam hal ini saya sangat dimanusiakan oleh Pak Nata. Dia tahu bagaimana istri saya membawa pergi anak saya, dan perasaan sebagai lelaki yang ditinggalkan istri itu yang mungkin membuat kami dekat tapi juga saling menutup diri. Kami adalah lelaki-lelaki yang kalah.
“Saya masih berharap ada anak Pak Nata yang peduli pada keberlanjutan kafe ini, dan percaya pada saya. Seperti yang kamu bilang, sayang sekali kalau harus tutup….” kataku.
Salina menawarkan bantuan. Sebagai direktur SDM perusahaan global, dia mungkin bisa memanfaatkan jejaring pertemanannya untuk menemukan anak-anak Pak Nata. “Bisa minta nomor sekretaris Pak Nata?” tanyanya. Saya membagikan nomornya lewat WhatsApp.
Saya harus katakan bahwa saya mengagumi kemampuan Salina memanfaatkan jejaringnya untuk mendapatkan informasi tentang anak-anak Pak Nata. Salah seorang anak Pak Nata akan berada di kota ini bulan depan. Salina juga mendapatkan cerita lain kenapa anak-anak Pak Nata tak peduli pada kafe ini, bahkan membencinya.
“Kamu pernah dengan nama Rissa?”
Saya pernah mendengar nama itu. Di awal pendirian kafe ini, saya pernah bertemu dengannya, dia datang bersama Pak Nata. Saya mendengar cerita yang tak terlalu jelas, bahwa Rissa itulah perempuan yang membuat Pak Nata dan istrinya bertengkar, hingga bercerai.
“Tapi kafe ini tak ada kaitan dengan dia. Pak Nata sempat memasukkan namanya di akte perusahaan kafe, tapi beliau coret sebelum disahkan notaris. Saya tak pernah mendengar dan melihat lagi dia bersama Pak Nata,” kataku.
“Bukannya katanya kamu yang memperkenalkan Rissa padanya? Ada juga yang bilang sebaliknya, dia yang mempertemukan kamu dengan Pak Nata?”
“Kafe ini dulu restoran, sebelum disewa tahunan dengan komitmen kontrak sepuluh tahun untuk kafe ini. Restoran itu dulu dikelola oleh Rissa. Urusan saya sebatas itu, kami bertemu untuk membicarakan peralihan sewa. Bahwa Pak Nata kemudian dekat dengannya, itu saya tak terlalu peduli.”
Salina menyimak saya bicara, dengan tatapan seakan menguji apakah saya jujur padanya. Tentu saja saya jujur.
Apabila anak Pak Nata datang di bulan depan dan benar dia akan memutuskan keberlanjutan kafe ini, maka itu artinya ada waktu lima bulan bagiku untuk berpikir, menata rencana, apabila memang keputusannya adalah menutup kafe. Saya mungkin akan mencari tempat yang lebih kecil. Sewanya bisa tertutupi dari tabungan hasil bonus bagi hasil dari Pak Nata. Saya hanya akan minta izin untuk memakai nama “The Hundred Acre Wood”.
Salina bersedia menemaniku bertemu anak Pak Nata. Anak Pak Nata itu tinggal di Inggris, mengajar di sebuah universitas yang tak terlalu terkenal di negeri itu. Dia akan datang menjelang jam tutup kafe. Pasti sibuk sekali dia itu, saya pikir begitu. Sejak pukul 4, Salina sudah ada di kafe. Ia mengambil tempat di pojoknya, tempat dengan kursi panjang berlapis bantalan dan sandaran empuk, yang seakan sudah dimaklumi oleh pelanggan lain, bahwa itu adalah wilayahnya. Dia menulis. Sesekali dia izinkan saya membaca.
“Bukukan, dong. Bagus tuh…” pada suatu ketika dan petang itu saya katakan lagi padanya.
“Serius?”
“Lihat aja di rak buku laris di Gramedia. Banyak buku seperti yang kamu tulis itu. Punyamu malah lebih bagus, memadukan hal-hal terkait kopi, kehidupan dan cinta, dengan sudut pandang yang lebih segar.”
“Oh, kamu mau jadi editornya nggak?”
Saya tertawa. “Saya bersedia jadi pembaca pertama, bukan editor. Tapi saya ini pembaca yang kritis lo…”
“Itu yang saya perlukan. Jadi deal, ya?” Salina mengulurkan tangan. Saya menyambutnya dengan erat. “Deal!”. Pembicaraan kami soal calon buku Salina lumayan meredakan ketegangan saya menunggu anak Pak Nata yang akan menemui saya. Tapi, saya tak bisa menghindar dari ketegangan. Lebih satu jam dari waktu yang kami sepakati tak ada yang datang. Salina saya lihat sempat tertidur ringan. Dia lalu pamit ke minimarket tak jauh di seberang kafe.
Dia kembali dengan sebotol minuman yoghurt.
“Belum datang?” katanya tenang.
“Belum,” kata saya.
Dia lalu mengeluarkan draf bukunya, dengan tulisan tangan yang indah sebagai judul besar di sampul depan: Maukah Kau Menyeduh Kopi Untukku Setiap Hari dan Aku Akan Membayarnya dengan Seluruh Sisa Hidupku?
“Ini rencana judul bukumu?” tanya saya.
“Iya. Bagus ‘kan? Tapi itu juga pertanyaan dari saya untukmu…”
Aku terdiam dan menatap mata Salina. Menyelusupkan pandangan dan mencari sesuatu jauh ke dalam mata itu. “Kamu?”
“Ya. Aku anak Pak Nata,…. Dan kalau kamu perlu jawabanku, maka jawabannya adalah saya ingin meneruskan kafe ini bersama kamu.”
*****
Editor: Moch Aldy MA
Hasan Aspahani

2 Replies to “The Hundred Acre Wood”

  1. Bagus banget. Akhirnya mudah ditebak, tapi saya suka penyampaiannya yang lembut dan mengalir. Membaca ini sama seperti kafenya, “The Hundred Acre Wood”, tenang dan teduh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email