“An opera begins long before the curtain goes up and ends long after it has come down. It starts in my imagination, it becomes my life, and it stays part of my life long after I’ve left the opera house,” kata soprano legendaris, Maria Callas. Dan sepertinya itu yang terjadi dengan pertunjukan perdana G20 Orchestra ini. Bermula dari artikel kritis Naning Scheid dan kemudian jawaban saya, isu ini melebar ke mana-mana, sampai ke Facebook, inbox Instagram, bahkan WhatsApp kami berdua. Untuk itu, saya ingin menulis lagi. Saya akan memulai tulisan ini dengan mencantumkan komentar Naning di Facebook-nya, juga komentar dari pembaca lain. Berikut ini beberapa komentar:
Katarina Retno memberikan komentar: asyik diskusinya. Dua tulisan bagus, sama-sama enak dibaca, tentu terlepas puas dan tidak puas ya, Mbak.
Naning Scheid menjawab: Iya. Aku sih belum puas juga belum lemas. Masih menunggu dipuaskan (dengan argumentasi yang lebih kongkrit dan judul less hyperbolic)
Kemudian Naning menjawab unggahan saya:
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menjawab kritik saya dengan penjelasan yang filosofis dan relatif memuaskan. Kenapa saya bilang relatif? Ini meminjam istilah Anda, Mas Maestro, bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini.
Saya pun sejatinya belum puas secara mutlak meski dikatakan dalam judul esai Anda: “Lebih Setara Lagi dari Kesetaraan” yang seakan melampaui kesetaraan itu sendiri. Atau, lebih sempurna lagi dari kesempurnaan? Well, I don’t think so. Memang sejatinya kita tidak akan bisa memuaskan semua pihak, kepentingan, ideologi, pemikiran, dan kepercayaan. Tapi dari diskusi ini, setidaknya, saya sepakat dengan Anda untuk tidak menyatukan perbedaan, melainkan menghormati perbedaan itu sendiri dan membicarakannya secara terbuka di ruang demokrasi yang sehat. Mohon maaf apabila Anda tidak berkenan atas komentar saya.
Terlepas dari itu semua, selalu terselip doa dan harapan saya (juga kami semua) untuk kesuksesan G20 Orchestra di masa depan. Karena kesuksesan G20 Orchestra adalah legacy Indonesia di kancah dunia!
Cheers,
NS
Soal “mutlak”, Naning, sebetulnya saya percaya ada dua hal di dunia yang mutlak, yaitu datangnya kematian dan datangnya surat tagihan pajak. Jadi, tidak terlalu tepat bahwa saya tidak percaya hal yang mutlak, dan ketidakpercayaan saya pun terbukti relatif, kan? Kalau Anda sudah kenal saya, saya sering melakukan ini. Kenapa? Seperti yang Walt Whitman bilang di Song of Myself: “Do I contradict myself? Very well then I contradict myself. I am large, I contain multitudes”. Nah, ini kunci untuk mengerti cara berpikir saya.
Sekarang soal judul “Lebih Setara dari Kesetaraan”. Judul itu memang kedengarannya hyperbolic (istilahnya Naning keren, ya. Kalau istilah saya: lebay deh). Tapi nanti dulu, saya lagi-lagi memberi judul yang rada “obnoxious” pada artikel ini. Saya memelintir lelucon dari para penguasa partai komunis di beberapa negara, termasuk Spanyol di mana saya tinggal: all people should be equal, but some are more equal than the others. Artinya, biar saja rakyat yang “setara”, penguasa, mah, tidak.
Nah, interpretasi saja sendiri pelintiran saya yang memang multiinterpretasi. Selain itu, kalimat itu adalah metafora. Bukankah semua karya seni itu bertumpu pada metafora? Dan metafora itu bisa dibilang elemen kelebayan. Multiinterpretatif, metaforis, lebay, dan ambigu biasanya menaikkan nilai artistik karya seni, bukan? Bukankah itu esensi sebuah drama? Hanya saja sebagai seniman saya harus selalu ingat bahwa drama itu harus on stage, bukan off stage alias kehidupan nyata. Beda, loh, drama queen dengan seniman.
Baca juga:
Anyway, let’s not talk about the title, tetapi tentang tulisan saya dan Anda. Jadi jelas, kan, bahwa walaupun saya tidak menyebut soal isu LGBTQ+, hal itu sudah sangat tersirat baik di komposisi orkes maupun karya musiknya? Begitu pun soal “cinta” yang tidak saya sebutkan sebagai isu. Tidak ada satu not pun tertulis tanpa mengandung cinta. Termasuk juga turunan dari cinta itu, yaitu putus cinta. Tippett, yang Anda sudah tulis di artikel Anda, menulis A Child of Our Time saat putus cinta, juga cinta kepada perintah negara sehingga harus membunuh “musuh” dan akhirnya malah kehilangan tangan kanannya, dan cinta kepada dunia musik walaupun tangannya tinggal satu, dalam musik Prokofiev.
Kesetaraan tidak perlu terlalu dispesifikasi. Nantinya, apakah saya mengharuskan diversifikasi bentuk hidung mancung, pesek dan bengkok, tinggi badan, berat badan, warna kulit, berkacamata, berjilbab, dll di dalam orchestra G20? Menurut saya, yang paling penting adalah kita menerima perbedaan sama seperti kita menerima pendapat yang berbeda kemarin dan sekarang. Sebab, kita semua harusnya seperti Walt Whitman, we contain multitudes.
Apa kita sadar bahwa kita kemarin berbeda dengan kita hari ini? Apa kemudian saya harus membenci Ananda Sukarlan yang kemarin? Menerima perbedaan adalah menerima diri sendiri, tanpa harus dispesifikasi sampai segitunya. Terus terang, mendengarkan sendiri karya saya, The Voyage to Marege’—yang saya tulis dan pagelarkan sendiri pada tahun 2017—pada bulan September 2022 dalam G20 Orchestra yang dipimpin Eunice Tong, membuat saya sadar betapa saya sudah berbeda selama 5 tahun ini. Saya juga menyadari bahwa apa yang orang lain persepsikan tentang (musik) saya berbeda dengan pendapat saya tentang saya sendiri. Apakah saya lebih baik atau lebih buruk? Bodo amat, yang penting saya tidak menyangkal bahwa 2017 itu adalah saya, dengan segala kekurangan dan (kalau ada) kelebihannya. Saya hanya merasa bersyukur bahwa saya komponis dan bisa mendokumentasikan semuanya melalui musik.
Dan sekali lagi, ini mutlak bahwa musik jauh lebih powerful untuk mendokumentasikan dan mengungkap sejarah daripada sejarah itu sendiri. (Lho, mutlak lagi? Berarti bukan hanya kematian dan pajak yang mutlak, dong. Tuh kan…)