Saya berterima kasih sekali atas tulisan keren Naning Scheid (Melupakan Queer dalam Pertunjukan Orkestra G20) atas “kealpaan” saya menyentuh kesetaraan orientasi seksual dalam G20 Orchestra, di mana saya adalah pendiri dan direktur artistiknya. Tulisan tersebut sangat tajam dan cerdas. Butuh beberapa hari bagi saya untuk memikirkan bagaimana menjawabnya, sebab apa yang dituliskan Naning memang sangat tepat sasaran dan relatif benar (saya bilang relatif karena menurut saya tidak ada yang mutlak di dunia ini).
Izinkan saya untuk memulai tulisan ini dengan dasar pemikiran saya. Pedoman saya untuk kehidupan seni saya (dan juga banyak aspek dalam hidup saya) antara lain adalah dua buku Plato: Symposium dan The Republic. Saya juga mengacu kepada teori yang sudah ada ribuan tahun sebelum lahirnya Yesus Kristus, bahwa semua manusia adalah panseksual (bukan hanya biseksual). Dalam Symposium, Plato meminta Aristophanes, seorang penulis teater dan komedi Yunani, menceritakan kisah tentang soulmate (belahan jiwa). Plato kemudian menceritakannya dalam Symposium:
“Menurut mitologi Yunani, manusia pada awalnya diciptakan dengan empat tangan, empat kaki, dan kepala dengan dua wajah. Takut akan kekuatan mereka, Zeus membagi mereka menjadi dua bagian yang terpisah, mengutuk mereka untuk menghabiskan hidup mereka untuk mencari bagian mereka yang lain.”
Sebelum kita menyelidiki apa yang ditakuti para dewa dalam kreasi mereka, mari kita analisa sedikit sifat mereka. Ada tiga jenis kelamin di alam: pria, perempuan, dan androgynous yang secara harfiah berarti pria-wanita dalam bahasa Yunani. Setiap jenis kelamin memiliki dua set alat kelamin, dan androgynous memiliki jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin manusia berkaitan dengan asal usul mereka: pria adalah anak-anak matahari, perempuan adalah anak-anak bumi, dan andorgynous adalah anak-anak bulan, lahir dari penggabungan matahari dan bumi.
Ada masanya manusia adalah makhluk yang sangat kuat dan tak kenal takut, bahkan mereka berani mengancam para dewa. Mereka mengancam akan menaklukkan para dewa dan berkuasa menggantikan mereka menjadi dewa baru. Jadi, para dewa harus reaktif dan bersiasat menghadapi ancaman manusia dan mempersiapkan apa yang perlu dilakukan agar keseimbangan dan harmoni pulih kembali (ribuan tahun sebelum presidensi G20 Indonesia, mereka sudah berpikir soal “Recover Together, Recover Stronger“!).
Para dewa berpikir untuk menghancurkan manusia sepenuhnya, memerangi dan membunuh mereka dengan petir, seperti yang mereka lakukan dengan para titan. Tetapi jika tidak ada lagi manusia, tidak akan ada lagi penghormatan kepada dewa, konsep ini sama sekali tidak disukai oleh para dewa. Jadi, Zeus datang dengan solusi lain. Mereka membelah manusia menjadi dua dan menghukum mereka karena kesombongan dan keangkuhannya. Terlepas dari kesakitan yang disebabkan oleh kekejaman para dewa, mereka juga akan menggandakan populasi manusia, sehingga upeti dan penghormatan yang harus diberikan oleh manusia kepada mereka juga menjadi ganda. Dan begitulah yang mereka lakukan. Seluruh manusia, baik pria, perempuan, dan androgynous pun terbelah menjadi dua.
Makhluk baru ini hidup dengan rasa sakit, kesedihan, dan kesengsaraan sampai mereka tidak makan atau minum. Apollo, sang dewa musik, penyembuhan, dan cahaya tidak tahan melihat mereka seperti ini. Untuk meringankan rasa sakit mereka, dia menjahit dan membentuk kembali bentuk tubuh mereka. Dia hanya meninggalkan pusar sebagai satu-satunya pengingat dari aslinya. Jadi, manusia beralih dari makhluk berwajah dan berjenis kelamin ganda serta delapan anggota badan, menjadi makhluk berwajah tunggal dengan satu jenis kelamin serta dua tangan dan dua kaki.
Mereka selamanya merindukan jiwa dan fisik belahan lainnya. Kebutuhan fisik ini membara untuk dilengkapi dengan fisik dari jenis kelamin pasangannya. Jiwa mereka pun mendambakan separuh jiwa yang lain untuk saling melengkapi. Menurut mitos, ketika dua bagian ini saling bertemu, akan ada pemahaman utuh satu sama lain, mereka akan merasa bersatu dan tidak akan ada kebahagiaan yang lebih besar dari itu.
Di sini kita bisa melihat bahwa selama ratusan bahkan ribuan tahun sebelum kelahiran Yesus, konsep Tuhan adalah keterbalikan dari konsep Alkitab: Tuhan menciptakan manusia berdasarkan gambarannya (according to his image). Sebelum itu, manusialah yang menciptakan Tuhan (atau dewa) atas gambarannya. Tuhan itu disebut gila hormat, gila pujian, seperti halnya manusia. Selain itu, manusia tidak dibagi dalam dua gender yang sederhana, yakni laki dan perempuan.
Baca juga:
Dari berbagai tulisan Plato pun jelas bahwa Plato dan Socrates adalah pasangan yang saling mencintai, walaupun kekasih Socrates yang paling terkenal adalah Alcibiades, seorang jenderal dan negarawan.
Keseragaman Kita adalah Keberagaman
Kembali ke soal G20 Orchestra, dengan konsep kesetaraan gender dan banyak konsep lainnya yang menurut saya inovatif di dunia musik klasik, metode perekrutan musisi masih dilaksanakan dengan cara yang konservatif, yaitu melalui audisi. Selain itu, yang menjadi prioritas pertama bukanlah kesetaraan gender, melainkan kualitas artistik mereka. Para pemain bisa mengunggah permainan mereka di YouTube sehingga semua orang bisa ikut melihat dan menilai (walaupun keputusan tetap di tangan saya sebagai direktur artistik). Anda bisa melihat mereka dengan kata kunci “G20 orchestra”. Sedangkan para solois adalah para pemenang Ananda Sukarlan Award bidang vokal dan piano sejak tahun 2011.
Nah, tentu dari sini kita tidak bisa melihat apakah mereka straight atau LGBTQ+. Dan saya memang tidak fokus ke sini karena saya memahami bahwa di Indonesia dan beberapa negara di dunia, seperti di Afrika, LGBTQ+ masih belum diterima oleh sebagian masyarakatnya. Itu sebabnya saya menghormati mereka yang tidak secara terbuka mengungkapkan orientasi seksual mereka, walaupun tentu setelah kita mengenal mereka, kita bisa mengenalinya.
Dalam proses persiapan konser perdana G20 Orchestra, kami semua tinggal dalam satu hotel selama 10 hari. Tentu kita semua jadi mengenal mereka tanpa mereka harus mengumumkannya, kadang-kadang dalam hari pertama atau bahkan menit pertama kita mengenalnya. Indonesia sendiri sebetulnya memiliki beberapa suku yang mengakui, bahkan sangat menghormati LGBTQ+ dalam tradisinya, seperti kaum bissu di Sulawesi Selatan. Bahkan saya mengunjungi Pangkep ketika melakukan riset untuk karya saya, The Voyage to Marege’, tahun 2017. Kunjungan itu pun saya tuangkan dalam tulisan saya. The Voyage to Marege’ sendiri saya tulis berdasarkan kisah nyata kaum bissu, asimilasi budaya dan agama, isu kesetaraan dan usaha pemaksaan penghilangan kesetaraan berdasarkan buku Campbell Macknight.
Konsep yang sama saya terapkan dalam hal pemilihan musiknya. Sir Michael Tippett dan Leonard Benstein saya masukkan program bukan karena orientasi seksualnya, tapi murni dari kebutuhan G20 Orchestra dalam mengekspresikan empati dan rasa persaudaraan melalui musik. Tippett dan Bernstein pun adalah dua tipe manusia yang sangat berbeda gaya hidupnya: Tippett setia terhadap pasangannya sampai akhir hayatnya, dan Bernstein, well, kita bisa melihatnya nanti dalam film biografisnya, Maestro, yang dibintangi Bradley Cooper.
Lepas dari segala konsep, narasi, dan isu yang kami ingin ekspresikan lewat G20 Orchestra, sebetulnya ada satu hal selain kesetaraan orientasi seksual yang tidak kita ucapkan secara eksplisit. Hal itu adalah “cinta”. Kenapa hal itu tidak bisa dinarasikan dan diungkapkan di berbagai wawancara saya dengan media? Karena cinta terlalu dalam dan luas untuk diucapkan dengan kata-kata, dan hanya musik yang bisa mengungkapkannya. Musik jauh lebih perkasa mengekspresikannya, dan musik juga adalah bentuk dokumentasi yang lebih akurat daripada semua catatan sejarah.
Melalui karya Prokofiev untuk satu tangan saja, kita bisa merasakan betapa rasanya seorang pianis kehilangan tangan kanannya dalam perang. Semoga contoh ini saja dapat membuat para pemimpin berpikir lebih lama sebelum memutuskan untuk berperang dengan suku/negara/agama lain yang berbeda. Orkestra G20 telah membuktikan bahwa kami tidak bisa dan tidak ingin menyatukan perbedaan, karena perbedaan itu indah. Kita hanya ingin menyeragamkan. Dan keseragaman kita adalah keberagaman.
Mas Ananda,
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menjawab kritik saya dengan penjelasan yang filosofis dan relatif memuaskan.
Kenapa saya bilang relatif?
Ini meminjam istilah Anda, Mas Maestro, bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini.
Saya pun sejatinya belum puas secara mutlak meski dikatakan dalam judul esai Anda:
“Lebih Setara Lagi dari Kesetaraan” yang seakan melampaui kesetaraan itu sendiri.
Well, I don’t think so.
Memang sejatinya kita tidak akan bisa memuaskan semua pihak, kepentingan, ideologi, pemikiran, dan kepercayaan.
Tapi dari diskusi ini, setidaknya, saya sepakat dengan Anda untuk tidak menyatukan perbedaan, melainkan menghormati perbedaan itu sendiri dan membicarakannya secara terbuka di ruang demokrasi yang sehat.
Mohon maaf apabila Anda tidak berkenan atas komentar saya.
Terlepas dari itu semua, selalu terselip doa dan harapan saya (juga kami semua) untuk kesuksesan G20 Orchestra di masa depan. Karena kesuksesan G20 Orchestra adalah legacy Indonesia di kancah dunia!
Cheers,
NS
Membaca tanggapan Mas Ananda atas tulisan Naning Scheid beneran seru, karena kalian menanggapi dengan keilmuan, bukan cuma karena aku tidak suka pendapat atau pandanganmu, jadi aku mo menanggapi dgn pemikiranku sendiri.
Hal ini keren dan budaya yang harus dibiasakan sesungguhnya, sehingga mengurangi sikap menanggapi hanya dengan defense mechanism semata.
Padahal memilih tidak berkomentar pun adalah sebuah bentuk perlawanan.
Salut untuk postingan ini. 🙏
“An opera begins long before the curtain goes up and ends long after it has come down. It starts in my imagination, it becomes my life, and it stays part of my life long after I’ve left the opera house”, kata soprano legendaris Maria Callas. Dan sepertinya itu yang terjadi dengan pertunjukan perdana G20 Orchestra ini. Bermula dari artikel kritis Naning Scheid (link) dan kemudian jawaban saya (link), isu ini melebar ke mana-mana.
OK sekarang saya respon.
Soal “mutlak”, Naning, sebetulnya saya percaya ada dua hal di dunia yang mutlak, yaitu datangnya kematian dan datangnya surat tagihan pajak. Jadi tidak terlalu tepat bahwa saya tidak percaya hal yang mutlak, dan ketidakpercayaan saya pun terbukti relatif kan? Kalau anda sudah kenal saya, saya sering melakukan ini. Kenapa? Karena seperti Walt Whitman bilang di “Song of Myself” : “Do I contradict myself? Very well then I contradict myself. I am large, I contain multitudes”. Nah, ini kunci untuk mengerti cara berpikir saya.
Nah sekarang soal judul “lebih setara dari kesetaraan”. Memang kedengarannya hyperbolic (istilahnya Naning keren ya, kalau istilah saya: lebay deh), tapi nanti dulu. Itu saya memelintir lelucon dari para penguasa di partai komunis di beberapa negara (termasuk Spanyol dimana saya tinggal): All people should be equal, but some are more equal than the others. Artinya, biar saja rakyat yang “equal”, penguasa mah tidak. Nah, interpretasi saja sendiri pelintiran saya, yang memang multiinterpretasi. Selain itu, kalimat itu adalah metafora. Bukankah semua karya seni itu bertumpu pada metafora? Dan metafora itu bisa dibilang elemen kelebayan. Multiinterpretatif, metaforis, lebay dan ambigu, itu biasanya menaikkan nilai artistik karya seni, bukan? Bukankah itu esensinya sebuah drama? Hanya saja sebagai seniman saya harus selalu ingat bahwa drama itu harus on stage, bukan off stage alias kehidupan nyata. Kalau off stage mah itu namanya drama queen (walaupun cowok, straight, juga banyak yg gini, tapi ini lagi-lagi contoh masyarakat yg menganggap segala yg “jelek” itu perempuan. Mana ada drama king?).
Anyway, let’s not talk about the title, tapi tentang tulisan saya dan anda. Jadi jelas kan, bahwa walaupun saya tidak menyebut soal isu LGBTQ+, hal itu sudah sangat tersirat baik di komposisi orkes maupun karya musiknya? Juga soal “cinta” yang juga tidak saya sebutkan sebagai isu. Tidak ada satu not pun yang tertulis yang tidak mengandung cinta. Termasuk juga turunan dari cinta itu, yaitu putus cinta (Tippett, yang anda sudah tulis di artikel anda, menulis A Child of Our Time saat putus cinta), cinta kepada perintah negara sehingga harus membunuh “musuh” dan akhirnya malah kehilangan tangan kanannya, dan cinta kepada dunia musik walaupun tangannya tinggal satu, di musik Prokofiev. Ya, karena cinta, orang bisa saja membunuh, kalau tidak percaya, coba saja kalau anda sedang cemburu, ya kan?
Kesetaraan tidak perlu terlalu dispesifikasi. Nantinya apakah saya mengharuskan diversifikasi bentuk hidung mancung, pesek dan bengkok, tinggi badan, berat badan, warna kulit, berkacamata, berjilbab dll di dalam orkestra G20? Yang paling penting, kita menerima perbedaan sama seperti kita menerima pendapat kita yang berbeda kemarin dan sekarang. Karena kita semua harusnya seperti Walt Whitman, we contain multitudes. Apa kita sadar bahwa kita kemarin berbeda dengan kita hari ini? Apa kemudian saya harus membenci Ananda Sukarlan yang kemarin? Menerima perbedaan adalah menerima diri sendiri, tanpa harus dispesifikasi sampai segitunya. Terus terang, mendengarkan sendiri karya saya The Voyage to Marege’ yang saya tulis dan pagelarkan sendiri tahun 2017, dan mendengarkannya bulan September 2022 oleh G20 Orchestra dipimpin Eunice Tong, membuat saya sadar betapa saya sudah berbeda selama 5 tahun ini dan juga menyadari bahwa apa yang orang lain persepsikan tentang (musik) saya berbeda dengan pendapat saya tentang saya sendiri. Apa saya lebih baik, atau lebih buruk? Bodo amat, yang penting saya tidak menyangkal bahwa 2017 itu adalah saya, dengan segala kekurangan dan (kalau ada) kelebihannya. Saya hanya merasa bersyukur bahwa saya komponis dan bisa mendokumentasikan semuanya melalui musik.
Dan sekali lagi, ini mutlak bahwa musik jauh lebih powerful untuk mendokumentasikan dan mengungkap sejarah, daripada sejarah itu sendiri. (Lho, mutlak lagi? Berarti bukan hanya kematian dan pajak yang mutlak dong. Tuh kan….). Semoga para penguasa, dengan mendengarkan musik Prokofiev atau Tippett, akan lebih tersentuh hatinya untuk memulai perang atau korupsi, ketimbang hanya membaca sejarah atau data statistik tanggal berapa mulai perang, jumlah korban, jumlah anggaran yang bisa dikorupsi, jumlah defisit atau superavit negara. Mendengarkan “I have no money for my bread” nya Tippett semoga bisa menghalangi pejab … eh koruptor wannabe yang masih pemula untuk memikirkan dampak korupsi. Dan itu tidak relevan dengan apakah sang komponis itu straight, gay atau penduduk Mars yang nyasar ke bumi.
Mas Maestro Yth., terima kasih telah menjawab komentar saya.
Menanggapi tanggapan Anda, saya merasa berada dalam lingkaran saga.
Kisah panjang yang bermula dari kritik saya tentang isu LGBTQ+ di pertunjukan Orkestra G20, kini telah melebar ke ranah yang lebih universal: perihal kemutlakan, cinta, dan idealisme.
Saya hanya berharap, semoga saya bukan Don Quixote yang sedang berjuang sepenuh keberanian namun sejatinya hanya melawan kekosongan.
Memang, saya tidak mengenal siapa Anda sebenarnya. Apabila Anda mengutip Walt Whitman untuk mendeskripsikan cara berpikir Anda, maka saya akan menukil Shakespeare untuk menunjukkan warna prinsip saya:
“Love all, trust a few, do wrong to none.”
Saya tidak suka yang abu-abu. Karenanya saya tidak mudah percaya kepada pernyataan seseorang. Saya akan lebih memberi bobot pada tindakannya secara nyata.
Res, non verba. Actions not words.
Tapi sekarang, saya mulai paham tentang siapa Anda.
Pemahaman saya berdasarkan pengakuan Anda sendiri seputar pelintiran “kesetaraan”, atas segala kelebayan judul, dan sejujur kekesalan tentang korupsi dan hipocrisy.
Saya pun kini paham siapa Ananda Sukarlan setelah mencari tahu rekam jejak Anda melawan diskriminasi serta melihat hal-hal konkrit yang telah Anda lakukan di G20 Orkestra sebagai rumah keseragaman akan keberagaman.
Maka jika saya tidak salah mengartikan, sejatinya kita ini berada pada kapal yang sama.
Hanya saja, Anda di dek atas, sedangkan saya berada di ruang gelap paling bawah mendampingi kawan-kawan Queers yang harus bersembunyi untuk mencari aman.
Saya sangat mengapresiasi jawaban Anda kali ini. Memuaskan dan tidak mbulet seperti jawaban para politisi. Jawaban Anda jernih, segar, dan memuaskan.
Awalnya saya ingin bilang jawaban Anda MUTLAK memuaskan. Tapi karena –mengutip kata Anda– yang mutlak hanya datangnya kematian dan datangnya surat panggilan pajak, ya sudahlah. Saya puas. Itu intinya.
Dan atas nama kepuasan (sementara) itu, saya akhiri episode kritik kali ini.
Namun, saya akan tetap memantau dan tak segan mengingatkan, apabila Anda lupa mencoba memberi ruang empati kepada perbedaan atau ruang kemanusiaan terhadap kaum yang terdiskriminasi di pertunjukan G20 Orkestra mendatang.
For “There is nothing impossible to him who will try,” begitu kan kata Alexander The Great?
Good luck for G20 Orchestra.
Salam sepenuh kasih,
NS
__________
PS:
Meski demi cinta, Mas, saya tidak akan membunuh siapa pun dalam keadaan cemburu.
Paling cuman ngambek dan merajuk setengah minggu.
Cemburu itu bumbu cinta, bukan sianida – quote Naning (masih anget, barusan buat).