Tokoh Intelektual kiri, Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Habis Revisi UU TNI, Terbitlah Revisi UU Polri

Uray Andre Baharudin

2 min read

Revisi Undang-Undang (UU) Polri menjadi polemik baru setelah pengesahan RUU TNI. Ketua DPR, Puan Maharani, mengisyaratkan bahwa pembahasan revisi UU Polri hanya menunggu surat presiden (Surpres). Ini bukan sesuatu yang mengejutkan, mengingat revisi ini sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2024. Namun, substansi dari perubahan yang diusulkan justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Beberapa pasal dalam draf RUU Polri menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait kewenangan polisi dalam mengawasi ruang siber, koordinasi terhadap penyidik lain, hingga peran intelijen yang berpotensi menjadikan Polri sebagai institusi superbody. Jika dibiarkan tanpa kontrol yang jelas, revisi ini bisa saja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang melampaui batas idealnya.

Kewenangan Siber dan Ancaman terhadap Kebebasan Berpendapat

Salah satu poin yang menuai kritik tajam adalah Pasal 16 Ayat 1 huruf q dalam draf RUU Polri. Pasal ini menyatakan bahwa Polri memiliki wewenang untuk melakukan penindakan, pemblokiran, atau perlambatan akses di ruang siber dengan dalih menjaga keamanan dalam negeri. Sekilas, ketentuan ini tampak seperti upaya penegakan hukum di dunia digital. Namun, dalam praktiknya, kewenangan semacam ini bisa dengan mudah disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.

Baca juga:

Kita tentu tidak bisa melupakan pengalaman sebelumnya ketika beberapa situs atau kanal informasi tiba-tiba diblokir tanpa alasan yang transparan. Jika revisi UU Polri mengesahkan kewenangan ini, siapa yang akan memastikan bahwa tindakan pemblokiran tidak digunakan untuk membungkam kritik atau mengontrol informasi yang beredar?

Selain itu, wewenang ini juga tumpang tindih dengan peran Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Idealnya, pengawasan dunia maya harus tetap dalam kendali lembaga yang memiliki tugas utama dalam bidang tersebut. Memberikan kewenangan luas kepada Polri tanpa mekanisme pengawasan yang ketat justru memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Baca juga:

Kewenangan dalam dunia digital juga harus mempertimbangkan aspek kebebasan berpendapat. Dalam negara demokratis, akses terhadap informasi dan kebebasan berekspresi adalah hak fundamental. Jika revisi UU Polri tidak mempertimbangkan prinsip ini, maka kita bisa saja melangkah mundur ke era di mana kebebasan berbicara tidak lebih dari sekadar ilusi.

Polri dan Ancaman Superbody Investigator

Selain kewenangan di ruang siber, ada pula pasal lain yang mengarah pada perluasan peran Polri dalam aspek investigasi. Pasal 14 Ayat 1 huruf g dalam draf revisi menyebutkan bahwa Polri bertugas untuk mengoordinasikan, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan penyidik lain yang ditetapkan oleh UU.

Sekilas, aturan ini mungkin tampak seperti langkah harmonisasi antarpenegak hukum. Namun, jika dicerna lebih dalam, aturan ini berpotensi menjadikan Polri sebagai entitas yang terlalu dominan dalam proses investigasi di berbagai lembaga negara. Dengan kata lain, Polri bisa saja menjadi semacam “superbody investigator” yang mengendalikan proses penyelidikan di berbagai bidang hukum.

Kita juga harus mempertimbangkan bagaimana ketentuan ini akan berdampak pada independensi penyidik di luar institusi kepolisian. Misalnya, penyidik KPK atau PPNS di kementerian tertentu yang memiliki kewenangan khusus bisa saja menjadi semakin bergantung pada Polri. Ini tentu bertentangan dengan prinsip checks and balances dalam sistem hukum kita.

Baca juga:

Di sisi lain, pengawasan terhadap satuan pengamanan swakarsa juga menjadi perhatian. Jika tidak ada batasan yang jelas, pembinaan teknis yang dilakukan Polri terhadap pasukan pengamanan swakarsa bisa saja membuka ruang bagi bisnis keamanan yang tidak sehat. Fenomena ini sudah terjadi di beberapa negara, di mana institusi kepolisian memiliki hubungan erat dengan bisnis jasa keamanan, yang pada akhirnya justru merugikan masyarakat sipil.

Jika melihat berbagai perubahan yang diusulkan dalam revisi UU Polri, ada kekhawatiran bahwa revisi ini justru mengarah pada semakin besarnya kekuasaan kepolisian tanpa pengawasan yang memadai. Kewenangan Polri dalam ruang siber, peran sebagai koordinator penyidikan, hingga kewenangan di bidang intelijen perlu dievaluasi kembali dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Reformasi kepolisian seharusnya mengarah pada institusi yang lebih profesional, akuntabel, dan transparan, bukan justru memperluas cakupan kekuasaan tanpa kontrol yang jelas. Jika revisi ini tetap berjalan tanpa kajian kritis, bukan tidak mungkin kita akan berhadapan dengan institusi kepolisian yang semakin besar, namun semakin jauh dari esensi reformasi yang selama ini diperjuangkan.

 

 

Editor: Prihandini N

Uray Andre Baharudin
Uray Andre Baharudin Tokoh Intelektual kiri, Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email