Waktu tidak pernah berhenti mempekerjakan pendengungnya.

Menghaluskan Bahasa ala Pemerintah

Rizky Surya Nugraha

2 min read

Pejabat kita sering beretorika untuk menutup kenyataan yang sebenarnya terjadi. Mereka senang sekali menggunakan eufemisme atau penghalusan bahasa sebagai gelagat politik untuk meraih simpati dan elektabilitas tertentu.

Beberapa penghalusan kata mungkin memang bisa mendinginkan suasana, tetapi lebih banyak lagi yang saya pikir justru memperkeruh suasana. Tanpa disadari, selama ini kita telah lengah ketika mengonsumsi berbagai pernyataan pejabat publik di media. Padahal dalam beberapa komunikasi publik, seharusnya praktik ini tak lagi digunakan.

Allan & Burridge dalam Euphemism and Dysphemism: Language Used as Shield and Weapon (1991), menyebut bahwa eufemisme sering digunakan sebagai strategi linguistik untuk menghindari kata-kata yang terkesan menyinggung.

Baca juga:

Teknik linguistik ini bertujuan untuk menciptakan kesan positif atau meredam dampak psikologis dari suatu istilah yang ada. Saat ini pemerintah barangkali menggunakan eufemisme sebagai jalan kunci untuk menutupi keputusan-keputusan yang banyak menimbulkan masalah. Dalam banyak kesempatan penerapan eufemisme tak selalu tepat. Bahkan, ada beberapa kata yang kerap digunakan pemerintah yang justru semakin memperjelas jarak dengan publik.

Pola Eufemisme Pemerintah Hari Ini

“Dolar menguat’ alih-alih “rupiah melemah”

Pemerintah senang menggunakan istilah “dolar menguat’ alih-alih “rupiah melemah” dalam beberapa pernyataan publiknya. Pada 25 Oktober 2023, Sri Mulyani sempat membeberkan kalau pelemahan dari rupiah ini, dalam kacamata ekonomi dan kementeriannya diakibatkan oleh dolar yang semakin menguat.

“Kalau kita lihat pergerakan ytd, depresiasi (rupiah terhadap dolar AS) 0,7 persen. Jadi penyebabnya bukan rupiahnya, tapi dolar yang menguat. Dolar dengan interest rate tinggi mengalami kenaikan 2,7 persen,” ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta.

Pemerintah seolah enggan untuk bilang kalau faktanya rupiah memang melemah. Pelemahan rupiah terhadap dolar sejatinya terjadi karena ketidakmampuan negara dalam menangani kebijakan moneter, fiskal, hingga ekspor impornya sehingga rupiah tak begitu berkuasa terhadap dolar.

“Amankan/diamankan” alih-alih “menangkap/ditangkap”

Bentuk komunikasi eufemisme lainnya yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh banyak aparat adalah penggunaan istilah “amankan/diamankan” alih-alih “menangkap/ditangkap” dalam komunikasi publiknya.

Padahal, saat menangkap seorang pelaku atau terduga pelaku, sebenarnya siapa yang justru merasa aman? Pelaku yang merasa lebih aman karena terbebas dari amukan massa, atau korban yang merasa aman karena pelakunya telah ditangkap?

Baca juga:

Saya rasa penggunaan istilah ini terlalu banyak menciptakan celah-celah keambiguan dan tak cukup tegas, padahal yang menyampaikan adalah seorang pihak berwajib yang semestinya tegas.

Seperti misalnya kasus pembubaran paksa acara diskusi Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional yang digelar Forum Tanah Air (FTA) di Kemang, Jakarta Selatan pada Sabtu, 28 September 2024.

Melalui Instagram resminya, Divisi Humas Polri menulis tajuk publikasinya dengan kalimat, “Polri Amankan Pelaku Pembubaran Paksa Diskusi di Kemang”, bukan “Polri Tangkap Pelaku Pembubaran Paksa Diskusi di Kemang”.

Kalau sudah begini, maka “aman” atas apa? Pelaku sekarang sudah merasa aman? Bukankah kami seharusnya sebagai masyarakat yang diberikan rasa aman?

“Penyesuaian tarif”

Entah sudah digunakan berapa kali (karena saking seringnya), frasa “penyesuaian tarif” dikeluarkan pemerintah saat harga-harga seperti BBM atau tarif pajak melambung naik. Pertanyaan saya sebenarnya sederhana, tarif tersebut lantas disesuaikan untuk siapa? Padahal kenyataannya pun tarif yang baru justru tak sesuai dengan kantong masyarakat kelas bawah hingga menengah.

Diksi “penyesuaian tarif” sering kali digunakan untuk mengelabui masyarakat bahwa pemerintah memang telah gagal menjaga tarif tersebut tetap stabil. Alhasil harga mengalami kenaikan berulang kali.

“Efisiensi”

Akhir-akhir ini kata “efisiensi” berada di urutan atas katas kamus bahasa pemerintah. Penggunaan istilah “efisiensi” sepertinya dianggapnya lebih sopan dan humanis, padahal masyarakat tetap tahu sekejam apa makna dari pemangkasan yang sembrono tersebut.

Eufemisme dan Pesimisme

Meski bertujuan untuk meminimalisir kegaduhan, implementasi eufemisme oleh pemerintah kini lebih terdengar seperti akal-akalan agar bisa terus mengkadali masyarakat.

Mungkin pemerintah sudah pesimis dengan cara komunikasinya, karena masyarakat tak lagi percaya. Di sisi lain, masyarakat juga terlampau pesimis dengan apa yang akan dilakukan dan diucapkan pemerintah melalaui keputusannya yang tak memihak mereka.

Jadi, masih bolehkah kita berharap?

 

 

Editor: Prihandini N

Rizky Surya Nugraha
Rizky Surya Nugraha Waktu tidak pernah berhenti mempekerjakan pendengungnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email