Akhir-akhir ini kita selalu mendapatkan kurang sedap dari salah satu instansi penegak hukum Indonesia, yakni polisi. Salah satunya adalah kasus penembakan terhadap remaja SMK 4 Semarang bernama Gamma Rizkynata Oktafandy oleh Aipda R. Alasan penembakan yang dilakukan oleh Aipda R adalah untuk melerai terjadi tawuran yang ada di Semarang. Namun, hal ini dibantah oleh orang tua dan pihak sekolah bahwa Gamma merupakan anak baik-baik, berprestasi, ikut ekskul paskibraka, serta tidak pernah mempunyai riwayat tawuran. Banyak pihak merasa janggal dengan pernyataan pihak kepolisian yang menyatakan bahwa Gamma merupakan anggota gangster yang ikut tawuran. Sampai pada tanggal 28 November 2024 para mahasiswa di Semarang melakukan aksi demo untuk menuntut keadilan atas kematian Gamma.
Kemudian kasus tembak-menembak terulang sebelumnya, bahkan sesama penegak hukum saling tembak, yakni AKP Dadang Iskandar menembak rekannya AKP Ulil Ryanto Anshar. Hal ini juga diduga karena rekannya, Ryanto, sedang mengusut mengenai kasus tambang ilegal galian C. Dadang menembak bagian kepala Ryanto saat berada di parkiran Polres Solok Selatan. Banyak persepsi datang dari kalangan luar mengenai kasus polisi tembak polisi ini, mulai dari karena AKP Dadang menerima sogokan uang tambang ilegal, dan sebagai macamnya. Namun, hal ini masih belum pasti motif dari penembakan tersebut menurut Polda Sumbar dan masih dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Di media sosial, kita sering melihat netizen mengeluh atas pelayanan polisi yang tidak gerak dengan cepat, bahkan sampai ada oknum polisi meminta uang untuk mengurus kasus dari sang pelapor, dan meminta uang ketika terdapat penerimaan anggota baru. Padahal perbuatan itu tidak dapat dibenarkan secara hukum. Serta sering juga terjadi kasus suap yang dilakukan oleh oknum polisi ketika sedang melakukan operasi lalu lintas. Selebihnya coba tanyakan orang di sekitar kita mengenai pelayanan polisi, khususnya terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah. Berdasarkan hasil survei dari Goodstats, 60,8% masyarakat kurang percaya terhadap polisi.
Baca juga:
Masalah lainnya dalam kepolisian adalah sering terjadi kasus saling tembak sesama anggota. Dilansir dari Tempo, menurut Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, terdapat tiga faktor penyebabnya. Pertama, mentalitas yang lemah sesama anggota polisi. Mentalitas lemah itu disebabkan perilaku polisi yang cenderung pragmatis dan materialistis. Faktor kedua ialah karena gaya hidupnya yang hedon. Hal ini menyebabkan para polisi akan mengambil keputusan berdasarkan ukuran materi. Terakhir, karena kurangnya ketegasan dari Kepala Kepolisian dan tebang pilih ketika menegakkan hukum.
Melihat segala permasalahan dan faktor tersebut sangat disayangkan sekali instansi penegak hukum ini selalu lambat dalam melakukan introspeksi dari kesalahan yang terlanjur terjadi. Atas ketidakpercayaan warganet terhadap polisi, sampai muncul hashtag #Awaspembunuhanak. Di beberapa bangunan di sekitar jalan juga jamak terlihat mural bertuliskan“rajin membaca biar tidak jadi polisi”. Quotes dari Mantan Presiden Indonesia ke-empat, yakni KH. Abdurrahman Wahid “polisi yang jujur ada tiga, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jendral Hoegeng” pun kembali viral.
Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, mana peran polisi yang mengayomi tersebut? Sayang sekali komponen penegak hukum di Indonesia ini malah mengalami banyak permasalahan di dalam internalnya sendiri. Padahal masyarakat Indonesia sangat mengharapkan kepolisian menjadi teladan dalam menegakkan keadilan.
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah melalui Polisi Republik Indonesia (Polri) supaya persepsi tentang buruknya instansi ini perlahan membaik dan dapat menegakkan keadilan tanpa pandang bulu? Setidaknya terdapat beberapa hal yang harus dilakukan segera.
Baca juga:
- Drama Televisi dan Harapan tentang Polisi yang Mengayomi
- Keadilan, Kepercayaan Publik, dan Reformasi Total Polri
Langkah pertama adalah polisi harus bisa berbaur dengan masyarakat secara harmonis. Sebab banyak dari oknum polisi merasa arogan karena ia merasa memiliki kekuasaan sehingga ia merasa seenaknya ketika berhadapan dengan masyarakat kecil. Dengan mengedepankan sifat ramah tamah, maka setidaknya gambaran masyarakat mengenai polisi yang arogan bisa berkurang.
Kedua, melakukan pemeriksaan psikologis anggota kepolisian minimal satu tahun sekali. Kondisi banyaknya tekanan tugas berat yang dihadapi sehari-hari mungkin membuat psikis anggota kepolisian tertekan. Setidaknya dengan dilaksanakannya pemeriksaan psikologis secara rutin, mental para anggota kepolisian mampu membaik.
Ketiga, Kapolri Jendral Listyo Sigit harus mengevaluasi penerimaan anggota kepolisian setiap tahunnya. Sebab banyak sekali keluhan, bahkan pernyataan kurang sedap mengenai penerimaan anggota polisi baru. Banyak spekulasi bahwa masuk polisi harus bayar sekian ratus juta agar lulus. Di media sosial sering ada kalimat “habis berapa sawah untuk daftar?” Jika hal suap untuk masuk polisi benar terjadi, maka sangat disayangkan sekali karena hal tersebut merupakan salah satu faktor polisi memiliki sifat materialis.
Selain dari pihak kepolisian, masyarakat harus bisa bekerja sama untuk menghilangkan stigma negatif polisi. Hal itu bisa dimulai dengan tidak memberikan suap pada polisi dengan alasan apapun. (*)
Editor: Kukuh Basuki