Dalam negara demokratis, setiap individu memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Semua orang, entah dia berada dalam basis sosial borjuis maupun proletar, bebas berpendapat dan berekspresi dengan catatan tidak melanggar hak orang lain. Dengan kata lain, kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Demikian mafhum bagi kita sebagai individu yang berada di bawah “kungkungan” negara Indonesia—yang saat ini sudah menjelma menjadi Leviathan.
Sudah menjadi konsekuensi logis dan rasional, jika rakyat dalam sebuah negara demokratis seperti Indonesia, memberikan kritik terhadap pemerintah (yudikatif, legislatif, dan eksekutif) yang dianggap telah menyimpang, tidak sesuai kehendak rakyat, atau bahkan menindas secara sistemik. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran, kritik, dan gugatan melalui lisan maupun tulisan dijamin dan dilindungi oleh konstitusi negara Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 9 Tahun 1999. Sehingga, kita sebagai warga negara mempunyai kebebasan untuk menyampaikan kritik, utamanya kepada pemerintah, melalui media apa pun.
Namun, bukan berarti jika kebebasan berpendapat itu dijamin dan dilindungi oleh Undang-undang, lantas kita benar-benar terbebas dari represi dan intimidasi lembaga negara. Hal itu dapat kita lihat seperti yang dialami oleh salah satu band asal Purbalingga yang bernama Sukatani. Belakangan band punk ini menjadi sorotan publik karena salah satu lagu yang bertajuk “Bayar Bayar Bayar” viral di media sosial. Dan, tak lama kemudian, dua personil Sukatani meminta maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian melalui media sosal @sukatani.band pada Kamis, 20 Februari 2025.
Polemik Sukatani dan Polisi: Geger Lagu Bayar Bayar Bayar
Sebelum ramai persoalan lagu Bayar Bayar Bayar ini, terdapat beberapa kasus serupa yang bertendensi pada pembatasan dan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dalam karya seni. Misalnya, pembatalan pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional karena lima lukisan yang dianggap “mesum” hingga “tidak sesuai dengan tema dan bobot” pameran pada Desember tahun lalu, dan pementasan teater bertajuk “Wawancara dengan Mulyono” oleh Teater Payung harus gagal diselenggarakan karena pihak Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) menganggap bahwa pementasan teatrikal itu berpotensi menimbulkan perpecahan.
Selang beberapa saat, band punk Sukatani juga mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga membuat mereka harus menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari beberapa platform musik digital. Lagu itu mengandung kritik terhadap institusi kepolisian yang “keblinger”. Lagu dengan lirik “bayar polisi” viral di media sosial beberapa waktu lalu karena, menurut sebagian besar orang, sangat faktual. Namun, secara tiba-tiba, band asal Purbalingga itu menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri atas lagu tersebut.
“Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul Bayar Bayar Bayar, yang dalam liriknya (ada kata) ‘bayar polisi’ yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” ujar salah satu personil Sukatani, Muhammad Syifa Al-Lutfi.
Baca juga:
- Polisi Bebal, Masyarakat Kanibal
- Legalistik vs Moralistik: Menyoroti Kelalaian Polisi dalam Menjalankan Tugas Pengamanan
Lutfi juga mengatakan, bahwa lagu itu diciptakan untuk oknum kepolisian yang melanggar peraturan. Kemudian, di akhir pernyataan tersebut, mereka mengakui permintaan maaf dan menarik lagu “bayar polisi” tanpa paksaan dari siapa pun. “Penyataan yang kami buat ini dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, dari siapapun, kami buat secara sadar dan sukarela,” pungkas gitaris band Sukatani tersebut pada Kamis (20/2/2025).
Sehari setelah pernyataan dari band Sukatani, Kapolri menanggapi isu yang tengah beredar luas di media sosial itu. Listyo Sigit malah menanggapi dengan pernyataan normatif, dan menyatakan bagaimana sikap Polri terhadap pelanggaran anggota.
“Dalam menerima kritik, tentunya kami harus legawa dan yang penting ada perbaikan, dan kalau mungkin ada yang tidak sesuai dengan hal-hal yang disampaikan, bisa diberikan penjelasan. Prinsipnya, Polri terus berbenah untuk melakukan perbaikan dengan memberikan punishment (hukuman) kepada anggota yang melanggar dan memberikan rewards (penghargaan) kepada anggota yang baik dan berprestasi.”
Selain itu, ia menduga ada miskomunikasi berkenaan dengan isu yang beredar tentang band Sukatani. Bahkan, kata Listyo Sigit, tidak ada masalah sama sekali. Kemudian, melansir Halosemarang.id, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, mengatakan bahwa pada Kamis (20/2) kemarin, para penyidik Ditsiber Polda Jateng mendatangi dua personel Sukatani untuk dimintai klarifikasi terkait lagu Bayar Bayar Bayar. Dan, menurutnya, tidak ada intervensi untuk menarik karya (lagu) Sukatani sebagaimana anggapan masyarakat.
“Tidak ada intervensi. Mungkin mereka (Sukatani) memberikan informasi lanjutan ke masyarakat. Kami juga tidak ada intervensi untuk menarik karya, jadi monggo diedarkan, dibawakan di panggung tidak masalah. Justru kami hargai, karena lirik lagunya mengkritik Polri.”
Artanto juga menilai, bahwa salah satu lagu Sukatani dalam album Gelap Gempita (2023) itu adalah bentuk kebebasan bereskpresi dan berpendapat melalui seni. Sekali lagi, ia menyatakan bahwa Polri tidak anti-kritik. “Pihak yang mengkritik Polri dengan membangun dan perbaikan, menjadi teman Bapak Kapolri,” pungkasnya.
Dari uraian di atas, kita perlu membaca suatu pernyataan yang disampaikan Kapolri dan Polda Jateng mengenai polemik lagu Sukatani. Namun, pembacaan yang dilakukan, juga harus menghadirkan fakta yang terjadi. Sehingga, dalam konteks persoalan ini, ada satu hal yang perlu diperjelas: kesesuaian antara pernyataan dengan fakta.
Karya Seni vis-à-vis Air Seni: Membaca yang “Tak Terkatakan”
Dengan medium seni, setiap orang mampu menuangkan ide dan gagasannya. Sejak dulu, seni menjadi alat perlawanan dan sarana agitasi untuk menggalang massa dalam menumbangkan otoritarianisme. Bagaimanapun, kebenaran harus tetap dikatakan, dengan berbagai cara dan media. Suara kebenaran tidak bisa dipenjarakan, dan apabila suara itu dipaksa diam niscaya akan lahir: pemberontakan.
Sudah banyak orang yang menyuarakan kebenaran, dan dibungkam. Namun, mereka yang membungkam, tidak pernah memahami, bahwa suara-suara itu tidak pernah mati. Ia akan terus ada, dan berlipat ganda. Semua orang, saat ini, bersama Sukatani.
Lantas, mengapa banyak orang berada di pihak Sukatani? Jawabannya: karena Sukatani “mengatakan” kebenaran. Dan, sekarang kita menyaksikan, bagaimana kebenaran dikubur hidup-hidup oleh kelaliman, kerasukan, dan kebohongan. Dalam hal ini, saya menyatakan secara tegas, bahwa Sukatani menciptakan “karya seni”, sedangkan ia mendapat siraman ‘air seni’ dari polisi.
Jika membaca di berbagai media massa, terdapat dua arus utama dalam polemik lagu Sukatani ini, yakni: permintaan maaf dua personel Sukatani dan tanggapan dari pihak kepolisian (Kapolri dan Polda Jateng). Dua arus itu menjadi pernyataan yang perlu dianalisis lebih jauh, sebab terdapat kontradiksi yang sangat erat dengan polemik ini.
Baca juga:
Suatu pernyataan yang muncul di permukaan, harus dipahami sebagai suatu upaya represif atau peminggiran terhadap sesuatu yang “tidak terkatakan” (Foucault, 1972: 25). Dengan kata lain, pernyataan yang disampaikan oleh Sukatani dan Polri, tidak mengatakan suatu perkara secara eksplisit. Sehingga, ada hal yang “tak terkatakan” (not said) dalam polemik lagu Sukatani ini. Apa yang “tak terkatakan” di sini saya maksud sebagai kesesuaian fakta dan pernyataan. Ada beberapa hal yang “tak terkatakan” dalam pernyataan pihak kepolisian mengenai polemik ini, antara lain:
Pertama, Sukatani meminta maaf kepada Kapolri dan institusi Polri. Meski salah satu personel Sukatani mengatakan bahwa permintaan dan penarikan lagu Bayar Bayar Bayar tersebut tanpa paksaan dari pihak manapun dan siapa pun, ada kejanggalan yang menurut saya perlu menjadi perhatian publik. Sebab, bagaimana mungkin, band punk sekaliber Sukatani dengan lirik-lirik lagu yang kritis dan selama ini tampil secara anonim, tiba-tiba membuka identitas mereka dan meminta maaf kepada Kapolri dan institusi Polri.
Yang menjadi janggal ialah, tidak mungkin seseorang meminta maaf dan harus klarifikasi ke publik secara terbuka, jika tidak ada “permintaan” atau dorongan dari pihak tertentu—dalam hal ini orang-orang yang berada di lingkaran kepolisian. Padahal, band Sukatani terkenal dengan lirik lagu yang kritis. Jadi wajar, jika kita semua mempunyai pandangan, bahwa personel Sukatani disuruh untuk meminta maaf kepada Kaporli. Dan, Sukatani tidak mungkin “berani” mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, sebab jika mereka mengatakan apa yang sebenarnya, mereka akan mendapatkan konsekuensi yang bisa mengancam karir dan diri masing-masing personel.
Kedua, miskomunikasi di dalam birokrasi Polri. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pak Listyo Sigit, bahwa ia menduga ada miskomunikasi dalam tubuh Polri yang berkenaan dengan lagu Sukatani. Dalam hal ini kita perlu melayangkan pertanyaan: bagaimana mungkin institusi sekelas Polri bisa miskomunikasi? Bukankah pola komunikasi di dalam institusi Polri merupakan hal yang penting, agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan masyarakat?
Seyogianya, lembaga kepolisian Republik Indonesia, menjadi ruang atau tempat yang jauh dari distorsi atau memuat situasi percakapan yang ideal (the ideal speech situation). Situasi yang tidak terdistorsi ini, menurut Habermas, dapat terwujud jika: pertama, semua peserta memiliki peluang yang sama dalam menjalankan komunikasi, baik mengemukakan argumentasi maupun kritik; kedua, dalam komunikasi semua pihak setara; dan ketiga, seluruh peserta mengutarakan ide dan gagasan secara jujur (Habermas, 2003: 106-7).
Kalau dalam institusi Polri sering terjadi miskomunikasi, nanti akan berakibat fatal. Misalnya, karena miskomunikasi, bisa “salah tembak” dan “salah tangkap”. Apa mungkin, dengan dalih miskomunikasi, dapat mengembalikan hak Sukatani yang telah dibatasi dan dirampas? Bagaimana mungkin, sekaliber Kapolri, menyatakan bahwa isu yang beredar belakangan ini diduga karena miskomunikasi? Sungguh pernyataan yang aneh!
Ketiga, karya seni vis-à-vis air seni. Lirik yang termuat dalam lagu Bayar Bayar Bayar yang menunjukkan bagaimana polisi “bekerja”, merupakan pukulan telak dari Sukatani kepada Polri. Oleh karena merasa pukulan itu sangat keras mengenai Polri, akhirnya dengan cara yang subtil, Polri menekan personel Sukatani untuk meminta maaf. Sukatani bukanlah satu-satunya pekerja seni yang dibatasi hak untuk berkreasi dan berkarya. Banyak pekerja seni selain Yos Suprapto dan Teater Payung yang dibungkam oleh institusi negara.
Negara ini sudah menjelma menjadi Leviathan (meminjam istilah Hobbes) dalam rupa dan bentuk yang baru. Cara monster ini membatasi, menekan, dan menindas juga dengan gaya baru. Mereka dengan mudah membungkam warga negara yang menyuarakan kebenaran hanya dengan mengenakan seragam dan berdalih “atas nama negara”. Apalagi jika sebuah karya seni mengandung kritik dan menyingkap fakta. Dengan mudah mereka membredel dan menarik karya dari peredaran.
Kita perlu waspada dengan penindasan gaya baru ini. Penguasa, dengan kekuatan dan peranti yang dimiliki, hanya dengan satu sentuhan, bisa menindas kita secara tiba-tiba. Gagasan dan gerakan bisa dibalas dengan hukuman. Lukisan bisa dibalas dengan seruan moral. Karya seni bisa dibalas dengan ‘air seni’ para penguasa (beserta “kroni-kroni”-nya) yang anti-kritik dan “baperan”. Dari apa yang dialami Sukatani dan pekerja seni lainnya, kita tidak syak lagi: Indonesia berada dalam bayang-bayang otoritarianisme.
Seseorang bisa saja dibungkam, diinjak-injak, dan dikubur. Dan pada saat itulah kebodohan mereka terlihat jelas, sebab mereka tidak tahu bahwa setiap perlawanan adalah benih. Dengan mengubur benih-benih perlawanan, akan tumbuh bersemi dan membuahkan gerakan resistensi untuk menumbangkan rezim kekuasaan lalim. Resistensi itu akan terus ada dalam kekuasaan, sebagaimana kata Foucault: where there is power, there is resistance, and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation to power (Foucault, 1978: 95). (*)
Editor: Kukuh Basuki