Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Kultur Kekerasan Polri dan Tes Psikologi

Kukuh Basuki

2 min read

Kasus kekerasan polisi yang semakin hari semakin vulgar dan memakan banyak korban jiwa merupakan realita pahit bagi kita masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, institusi yang seharusnya berfungsi melindungi dan mengayomi masyarakat seolah berubah menjadi monster ganas yang tak segan menghabisi masyarakat sipil atas nama pembelaan diri dan kondisi darurat.

Belum selesai pengusutan kasus penembakan oleh anggota polisi terhadap Gamma Rizkynata Oktafandy, kini muncul lagi berita penganiayaan beberapa anggota kepolisian pada seorang warga Semarang. Belum lagi penembakan terhadap sesama anggota Polri seperti yang dilakukan AKP Dadang Iskandar yang menembak Kasat Reskrim AKP Ulil Ryanto.

Hal itu semakin melengkapi catatan kekerasan polisi terhadap masyarakat sipil yang dihimpun YLBHI pada kisaran tahun 2019-2024. Dari 35 kasus penembakan kepolisian, jumlah korban tewas adalah 94 orang. Mirisnya, 80% kasus itu tidak ada kelanjutan proses hukumnya.

Permasalahan kekerasan kepolisian bukanlah sesuatu yang parsial. Ada berbagai macam faktor yang berkontribusi terhadap munculnya budaya kekerasan pada aparat berseragam coklat ini. Untuk bisa menyelesaikannya, satu per satu faktor itu harus diidentifikasi secara detail, dianalisis, dan dicarikan solusi terbaiknya.

Satu hal yang sering terlewat dari selain proses hukum adalah kondisi psikologis para pelaku penembakan dan kekerasan di kepolisian pada saat sekitar kejadian. Adanya catatan psikologis pada pelaku kekerasan ini akan mempermudah analisis psikologis dalam kasus-kasus yang terjadi. Hal ini menjadi tanggung jawab Biro Psikologi Polri yang berada di bawah Staf Sumber Daya Manusia (SSDM) Polri.

Baca juga:

Terlepas ada tidaknya catatan psikologi terkini, satu hal yang tidak bisa ditampik adalah mereka semua (polisi) pelaku kekerasan itu pernah melewati tes psikologi akademi kepolisian dan dianggap lolos. Tentunya mereka telah melewati tes psikologi yang dirancang secara ilmiah untuk menyaring pribadi yang benar-benar mempunyai kepribadian dan kecardasan emosional yang baik. Harapannya adalah mereka bisa mengambil keputusan dengan cermat ketika sedang menghadapi berbagai situasi ketika bertugas. Hal ini penting karena mereka membawa senjata api. Salah perhitungan sedikit saja dalam mengambil keputusan, bisa berakibat fatal.

Terkait fakta di lapangan tentang kekerasan yag terus-menerus terjadi, kualitas tes psikologi Polri patut dan wajib dievaluasi ulang. Tes psikologi Polri terbukti gagal menyingkirkan pribadi-pribadi brutal dan mempunyai regulasi emosi yang buruk, akibatnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian terus terjadi. Hal ini harus dipastikan dulu sebelum masuk ke indikasi-indikasi berikutnya terkait kode etik yang mungkin dilanggar tim psikologi Polri saat melakukan proses pengukuran psikologi.

Bagaimana Tanggapan HIMPSI?

Fenomena kekerasan oleh polisi yang kemungkinan besar sangat berkaitan dengan masalah psikologis anggota kepolisian tentu tidak bisa diselesaikan kepolisian sendiri. Butuh kerja sama lintas lembaga untuk memutus rantai permasalahan ini. Salah satu lembaga yang diharapkan aktif membantu adalah HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia).

HIMPSI adalah induk organisasi profesi psikologi di Indonesia yang lahir pada tanggal 11 Juli 1959 dengan nama ISPsi (Ikatan Sarjana Psikologi). Melalui kongres luar biasa tahun 1998, nama ISPsi berubah menjadi HIMPSI. Menurut UU Pendidikan & Layanan Psikologi no. 23 tahun 2022, HIMPSI merupakan Induk Organisasi Profesi (IOP) psikologi di Indonesia.

Dengan itu semua psikolog termasuk anggota Biro Psikologi Polri harus tunduk terhadap peraturan dan kode etik yang disusun oleh HIMPSI. Begitu juga semua proses pengukuran psikologi dan alat ukur/tes psikologi harus sesuai dengan standar HIMPSI.

Alat ukur psikologi tentunya tidak pernah menjadi suatu yang final. Perbaikan demi perbaikan untuk mempertinggi reliabilitas dan validitas alat ukur adalah hal yang biasa terjadi pada hampir semua alat ukur psikologi. Proses perbaikan itu tentunya harus berdasarkan fakta empiris dan proses ilmiah yang ketat. Aspek psikologi memang cenderung sulit diukur dengan pasti karena selalu ada margin of error dalam tiap hasilnya. Namun, tugas ilmuwan psikologi adalah memperkecil margin of error tersebut agar mendapatkan angka terdekat dari nilai murni.

HIMPSI harus bertanggung jawab penuh dalam proses evaluasi dan revisi alat ukur psikologi yang digunakan Polri dalam proses penyeleksian calon bintara Polri. HIMPSI tentunya punya standar tertentu dalam pemberian izin alat ukur psikologi yang akan digunakan secara massal.

Baca juga:

HIMPSI juga harus menjamin kualitas psikolog yang bekerja di Biro Psikologi Polri secara nasional. Apabila terbukti ada kecurangan misal terbukti ada proses suap sehingga individu yang seharusnya tidak lulus tes psikologi akhirnya diloloskan, HIMPSI harus berani bertindak tegas.

Mengacu pada Pasal 2 Kode Etik HIMPSI, psikolog harus memegang prinsip umum: (a) Hormat pada harkat dan martabat manusia, (b) Integritas dan sikap ilmiah, (c) Profesional, (d) Adil, dan (e) Manfaat. Apabila ada pelanggaran prinsip dan kode etik dalam menjalankan tugasnya, HIMPSI melalui Majelis Psikologi harus memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tidak ada keistimewaan apakah psikolog itu individu ataupun psikolog instansi negara termasuk kepolisian.

Dalam website resminya, HIMPSI menuliskan telah secara resmi bekerja sama dengan Polri sejak tahun 2018. Ruang lingkup mereka adalah penyediaan tenaga ahli dan pengembangan sumber daya manusia. Mungkin kerja sama ini bisa ditingkatkan lagi seperti memberikan pemeriksaan psikologi berkala pada semua anggota kepolisian dan menyediakan layanan konseling psikologi di tiap-tiap kantor polisi.

Tanpa kualitas sistem psikologi yang bagus, menunggu berhentinya siklus kekerasan pada Polri adalah harapan kosong. HIMPSI, kontribusimu kami tunggu!

 

 

Editor: Prihandini N

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email