Baca tulisan saya lainnya di akun Medium: tantridp

Amplop Lebaran

Tantri DP

6 min read

Rara menata baju-baju ke dalam koper yang akan dibawa mudik bersama suaminya. Ia membuka catatan di ponselnya, mulai mengecek satu per satu barang-barang yang akan dibawa. Setumpuk baju yang ia pilah sudah tertata rapi dalam koper termasuk alat mandi, mukena, sarung, skincare & makeup, sendal, oleh-oleh untuk keluarga mertua, serta amplop THR yang sudah diisi dengan beberapa lembar uang yang akan dibagikan kepada sanak saudara. Semua persiapan sudah selesai. Rara merebahkan diri, melemaskan badannya yang sejak pulang kantor tadi belum sempat menyentuh kasur.

Sebagai pasangan suami istri yang sama-sama bekerja, Rara dan suaminya, Rendi, jarang memiliki waktu bersantai kecuali saat akhir pekan. Hari-harinya dipenuhi dengan kesibukan kantor dan pekerjaan sampingan yang mereka jalankan untuk menambah penghasilan. Tak mudah hidup di tengah melejitnya harga kebutuhan pokok, ditambah dengan keinginan mereka untuk bisa mewujudkan rumah pertama mereka. Selama ini, Rara dan Rendi memilih mengontrak dibandingkan harus bertarung dengan bunga bank yang besarnya tak karuan.

Kondisi perekonomian pasangan suami istri ini dapat dibilang cukup, tidak kekurangan atau kelebihan. Namun, melihat nominal gaji mereka, tentu harus mempersiapkan dana untuk sesuatu yang sifatnya menguras kantong. Salah satunya adalah mudik lebaran ke kampung halaman.

Momen setahun sekali ini menjadi sakral karena semua keluarga besar berkumpul. Berasal dari daerah berbeda, membuat Rara dan Rendi harus berbagi waktu mudik. Jika rezeki sedang bagus, maka dalam setahun mereka bisa mudik ke dua kampung sekaligus. Namun, jika dana terbatas maka harus bergantian. Jika tahun ini lebaran di kampung halaman Rara, maka tahun depan mereka akan mengunjungi kampung halaman Rendi. Begitu pun sebaliknya.

Tak ada yang tahu perjuangan mudik kecuali orang yang mengalaminya. Rara dan Rendi tak pernah mempermasalahkan soal mudik, sebab hal ini sudah menjadi agenda tahunan yang wajib untuk dilakukan. Mengingat semakin dewasa, mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk mengunjungi keluarga. Namun, ada satu hal yang seringkali membuat resah ketika pasangan suami istri tersebut pulang kampung.

“Pernikahan kalian sudah delapan tahun, kapan rencana punya momongan?”

“Jangan terlalu larut bekerja, nanti lupa untuk punya keturunan.”

“Jadi kapan, nih, Bunda diberikan cucu?”

“Perempuan itu nggak baik kalau hamil di atas 30 tahun, sekarang umurmu berapa?”

“Kemarin anak tante Ina baru saja melahirkan, lucu ya. Kalian jangan nunda-nunda, lho. Nggak baik.”

“Rara mandul ya, Ren?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut begitu mengusik kedamaian di hari yang fitri, khususnya bagi Rara. Meski Rendi seringkali membelanya di depan keluarga besar, tetapi Rara tetap saja merasa terintimidasi. Dari lubuk hatinya, Rara juga mempertanyakan hal yang sama. Kapan kira-kira keluarga kecilnya menjadi utuh dengan kehadiran buah hati di tengah-tengah mereka? Namun, hanya Tuhan yang tahu jawabannya.

Rara menghela napas dalam. Semangat mudiknya seketika luntur tatkala memikirkan hal tersebut. Ia sudah mempersiapkan mental untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan ekspresi biasa saja meskipun hatinya kalut. Menurutnya, pertanyaan pribadi seperti itu cukup sensitif untuk ditanyakan. Tak ada yang tahu kondisi seseorang. Bukan hanya pertanyaan soal anak saja, tapi juga pertanyaan lain seperti mengapa belum menikah? atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa mengorek luka untuk orang lain.

Tidak ada yang tahu pasti kondisi seseorang. Bagaimana dan apa yang sedang mereka usahakan untuk mendapatkan hal itu. Ah, andai saja setiap pertanyaan perihal anak dihargai satu juta, tentu pulang kampung menjadi ajang meraup rezeki bagi Rara. Uang tersebut bisa menjadi tabungan persiapan kehamilan.

***

Rara terbangun dari tidurnya. Semalam ia ketiduran karena terlalu lelah membereskan barang-barang mudik. Rara menatap jam, sudah waktunya sahur. Ia melihat suaminya sudah menyantap makanan sahur yang terhidang di meja makan. Penerbangan mereka pukul delapan. Selepas sahur dan shalat subuh, mereka harus bergegas menuju bandara.

Perjalanan menuju bandara sekitar empat puluh lima menit. Jalanan cukup lengang karena hari masih pagi. Rara yang kurang tidur selama bulan puasa, merasa matanya begitu berat. Ia berencana akan tidur di pesawat nanti.

Tanpa perlu menunggu lama, begitu duduk di dalam pesawat, mata Rara langsung terpejam. Rasa kantuk yang menyerang begitu besar. Dalam hitungan menit, saat pesawat lepas landas, Rara sudah terbuai di alam mimpi.

***

Rara terbangun ketika Rendi dengan tergesa mengambil ransel di kabin. Belum sepenuhnya sadar, Rara tergopoh-gopoh mengikuti Rendi yang berjalan cepat.

“Sabar, Bang. Pelan-pelan jalannya.”

Rara kewalahan mengikuti langkah Rendi.

“Ayo, Dek. Kita harus segera bertemu keluarga besar. Tentu kamu tak sabar, kan, dapat amplop lebaran?” Rendi berkata dengan wajah yang sumringah.

Rara tergelak dengan ucapan suaminya. Seharusnya bukan mereka yang mendapat amplop lebaran, tapi mereka yang memberikan amplop lebaran kepada saudara-saudara mereka. Sudah sebesar ini, mana ada yang mau memberi amplop lebaran. Dasar aneh, batin Rara.

Di parkiran bandara, nampak Bunda dan Ayah melambaikan tangan mereka. Rara menyikut Rendi pelan, menunjuk ke arah tempat Bunda dan Ayah berdiri. Tahun ini, jatah mudik mereka adalah ke kampung halaman Rendi.

“Assalamualaikum, Bun, Yah,” Rara menyalami Bunda dan Ayah.

Dalam hati Rara sudah mempersiapkan diri menerima pertanyaan wajib yang ditujukan kepadanya.

Satu per satu obrolan mulai meluncur selama perjalanan. Belum ada satupun pertanyaan soal anak yang terlontar. Tak lama, obrolan mereka mulai menyerempet soal keturunan. Rara bersiap dalam hati.

“Jadi, Rara masih kosong? Kapan rencana kasih Bunda dan Ayah cucu?”

Deg. Jantung Rara berdegup kencang. Seberapapun Rara mempersiapkan diri, namun tetap ia tak mampu menahan gejolak dalam dadanya. Belum sempat Rara menjawab, Ayah dan Rendi berteriak kegirangan.

“Wah, Bunda kena! Ayo, mana amplop lebarannya, satu juta!”

Rendi terkekeh menatap Bundanya yang berwajah masam.

“Ih, Ayah kenapa nggak ingatkan Bunda.”

Bunda menarik kemeja Ayah.

“Makanya, Bun. Hati-hati kalau mau tanya. Kena, kan, sekarang. Sudah, kasih amplopnya ke Rara.”

Ayah terpingkal melihat ekspresi Bunda.

Tak lama, Bunda menyerahkan amplop putih tersebut kepada Rara. Dengan kebingungan Rara membiarkan tangan Bunda menggantung.

“Ambil, Dek,” ujar Rendi sembari melirik amplop tersebut.

Dengan ragu Rara mengambil amplop pemberian Bunda. Saat menerima amplop tersebut, Rara dapat merasakan ketebalan amplop yang ia taksir berjumlah satu juta.

***

Sesampainya di rumah, Rara segera membuka amplop pemberian Bunda. Nominalnya tepat berjumlah satu juta. Rara terbelalak menatap uang yang kini ada di tangannya. Apa jangan-jangan ucapannya menjadi nyata? Seketika tubuhnya merinding. Melihat keanehan ini, Rara bertanya kepada suaminya yang baru selesai mandi.

“Bang, kenapa Bunda kasih amplop ini ke aku?”

“Karena Bunda tanya masalah yang sensitif. Jadi Bunda wajib bayar satu juta,” ujar Rendi sembari mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.

Rara masih belum mengerti. Apa Rendi bisa mendengar kata batinnya dan menyampaikan ke keluarganya? Ah, kepala Rara tiba-tiba pening.

Keesokannya, satu per satu saudara mulai berdatangan ke rumah. Kali ini Tante Dewi yang terkenal dengan mulut ceriwisnya muncul di balik pintu.

“Rara! Kangen, deh! Gimana sudah isi?”

Rara tersenyum getir. Baru saja bersalaman sudah ditanya hal seperti itu. Dari belakang, Om Agus, suami Tante Dewi seketika bersorak.

“Nah! Bayar satu juta ke Rara!”

“Ya ampun, Papih! Mamih kok bisa lupa sih?” Tante Dewi mengeluarkan amplop tersebut dan menyerahkan ke Rara.

“Nih, Ra. Lumayan untuk tabungan program hamil, ya,” ucap Tante Dewi sembari menepuk pundak Rara dan menghambur ke dalam rumah.

Rara masih mencerna keanehan yang terjadi padanya. Herannya, tak ada satupun dari mereka yang keberatan mengeluarkan amplop bernilai satu juta ini ketika mereka bertanya hal pribadi.

“Bang, ini beneran nggak apa-apa?” Rara bertanya kepada Rendi saat di kamar.

Nggak apa-apa dong, Dek. Ini yang buat aku semangat kalau mudik. Meskipun kita belum punya anak, tapi dengan adanya amplop lebaran dari orang-orang lumayan, kan, Dek, bisa untuk tabungan kita!” Rendi berkata dengan antusias.

“Hmm, kira-kira besok kita ke mana ya, Dek? Coba buat daftar saudara-saudara kita yang sering tanya soal keturunan. Kita datangi saja besok.”

Rendi melanjutkan kalimatnya.

Meski tak mengerti, tapi Rara menurut saja. Ia segera menulis ke mana saja mereka akan bersilaturahmi sampai lebaran nanti.

***

Keanehan ini terus berlanjut. Setiap kali silaturahmi dan bertemu saudara yang bertanya terkait keturunan, Rara akan mendapatkan amplop lebaran. Entah mengapa yang biasanya Rara selalu menghindar saat momen silaturahmi, kini justru ia tak sabar untuk bertemu sanak saudara dari keluarga suaminya. Lama-lama, Rara menikmati momen bertamu dan saling bertukar kabar. Bahkan, Rara menanti kapan ia akan ditanya soal anak.

Sampai lebaran usai, Rara begitu puas karena ada sekitar tiga belas orang yang menanyakan mengapa dirinya tak kunjung hamil dan punya anak. Komentar tentang mandul yang sebelumnya menyakiti hatinya, kini ia anggap biasa saja. Bahkan, semakin menyakitkan komentar seseorang maka nominal amplop yang diberikan semakin besar. Maka dari itu, Rara memilih untuk tebal kuping saja yang penting tabungannya bertambah.

“Bang, lumayan, nih. Terkumpul delapan belas juta lima ratus rupiah!” Rara terpekik girang tatkala menghitung isi amplop yang ia terima.

“Wah, banyak sekali, Dek. Kok jumlahnya bisa lebih?”

“Iya, Bang. Soalnya Bude Asih komen soal istri baru buat kamu. Jadi dia kasih aku satu setengah juta. Terus Pakde Harjo juga bilang kalau aku penyakitan, jadi aku dapat satu setengah juta lagi. Ah, pokoknya orang-orang yang biasa komentar jahat kasih aku banyak uang, Bang. Kalau gini caranya, aku jadi nggak khawatir kalau ketemu mereka,” ujar Rara dengan semangat.

Baru kali ini selama ia menikah, lebaran menjadi momen yang sangat menyenangkan. Biasanya, sepulang dari momen mudik lebaran ia akan menangis kala mengingat pertanyaan atau bahkan komentar sensitif yang tertuju kepada dirinya. Jika seperti ini, tentu sejak dulu ia akan rela mudik berkali-kali.

Rara menatap uang dalam genggamannya. Tak disangka, mudik yang selalu menjadi momok kekhawatiran bagi dirinya justru menjadi ladang rezeki. Rara hendak mengambil uang tersebut untuk disimpan di dompetnya. Tapi, uang tersebut tak dapat ia raih. Berkali-kali Rara mencoba mengambil, namun selalu gagal. Ia mencoba memanggil Rendi untuk membantunya.

“Bang Rendi! Bang! Tolongin Rara, Bang!”

Rara berteriak ketakutan. Namun, tak ada satupun orang di dalam rumah itu yang menyahut. Rara mulai berlari keluar kamar, mencari Bunda, Ayah, Rendi, atau siapapun yang ada di rumah. Keringat mulai membasahi tubuh Rara. Rara berputar-putar dalam rumah dan tak bisa menemukan jalan keluar.

Tiba-tiba, Rara merasakan seseorang menyentuh pundaknya.

“Dek! Rara! Bangun, Ra! Kita sudah sampai, Ra!”

Rendi menggoyang-goyangkan pundak Rara yang tertidur pulas di pesawat.

Rara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menatap suaminya yang mengusap pelan kepalanya.

“Ayo kita turun, Dek. Bunda dan Ayah sudah menunggu.”

Rendi mengambil tas ransel di kabin dan menggandeng Rara turun dari pesawat.

Saat Rara dan Rendi menuju pintu keluar bandara, mata Rara menangkap sosok Bunda dan Ayah yang sudah melambaikan tangan dari kejauhan. Rara menyenggol lengan Rendi dan menunjuk ke arah Bunda dan Ayah berdiri. Rara merasa seperti deja vu.

Seusai memberi salam dan melepas rindu, mereka segera masuk ke dalam mobil. Bunda mulai menanyakan kabar Rara dan Rendi. Setelah berbasa-basi sebentar, Bunda melontarkan pertanyaan kepada Rara.

“Jadi, gimana Rara sudah program? Kapan rencana kasih Bunda dan Ayah cucu?”

Rara yang masih belum tersadar penuh, tersenyum menanggapi pertanyaan Bunda dan berkata,

“Bunda mau kasih amplop lebaran isi satu juta, ya?”

Rara tertawa terpingkal, membuat Bunda, Ayah, dan Rendi menatapnya keheranan.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Tantri DP
Tantri DP Baca tulisan saya lainnya di akun Medium: tantridp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email