Ada konspirasi intens dalam proses penyelidikan jejaring aktor yang terlibat pada kasus Sambo. Selain dugaan sekumpulan mafia judi dan gembong besar narkoba, adanya sosok bekingan bernama “kakak asuh” cukup menjadi sorotan sekilas. Berbagai spekulasi tentang bekingan ini turut menjadi salah satu plot twist menjijikkan dari terbongkarnya luka penuh belatung di tubuh Polri. Setelah hakim menjatuhkan vonis mati kepada Sambo, bekingan atau kakak asuh di belakangnya tidak kunjung terungkap hingga kini. Layaknya konspirasi, keberadaan sosok tersebut hanya tinggal cerita saja.
Sosok kakak asuh adalah sosok yang riil. Sosok ini dapat kita temukan samar dari cuitan akun X @ahriesonta milik ajudan Presiden. Pada tanggal 27 April 2023 Ahrie Sonta mengucapkan “Kakak asuh lanjutkan perjuangan,” kepada akun X @bayususeno2001 milik Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, Bayu Suseno. Selain Bayu, Ahrie Sonta juga kerap berinteraksi dengan kakak asuh lain. Misalnya pada 30 Oktober 2023 dia mengucapkan “Siap kakak asuh” kepada akun X @himawansugeha95 milik mantan analis kebijakan Divhubinter Polri, Himawan Sugeha. Interaksi ini mengungkap keberadaan kakak asuh secara empiris.
Tidak semua polisi berkesempatan memiliki kakak asuh. Hanya lulusan Akademi Kepolisian lah yang memiliki tradisi ini. Menariknya, prosesi ritual pemilihan kakak asuh tersebut pernah ditampilkan sekilas pada salah satu scene film Pohon Terkenal, sebuah film yang dirilis pada tahun 2019 dan diproduksi Divisi Humas Polri.
Keberadaan kakak asuh ini juga telah divalidasi secara akademis oleh Ferli Hidayat, mantan Kapolres Malang yang dicopot karena kasus Tragedi Kanjuruhan. Validasi tersebut ditulis dan diterbitkan Ferli di Jurnal Ilmiah Tanggon Kosala Akademi Kepolisian, Vol. 2, Tahun III, Juli 2012 dengan judul “Peran Keluarga Asuh Taruna Akademi Kepolisian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pengasuhan Melalui Optimalisasi Peran Kakak Asuh Taruna”, jurnal ini ditulis Ferli ketika pangkatnya masih AKP (Ajun Komisaris Polisi).
Sosiologi “Kakak Asuh” Akademi Kepolisian
Untuk memahami fenomena “kakak asuh” di Kepolisian Republik Indonesia, kita perlu melakukan telaah kronologis yang mendalam terhadap praktik ini, yang ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar hubungan mentoring konvensional. Jurnal karya Ferli di atas memberikan pemetaan awal yang menyeluruh tentang bagaimana praktik ini terbentuk dan berkembang dalam ekosistem kelembagaan Polri. Konstruksi “kakak asuh” bermula dari sebuah kebutuhan institusional untuk menciptakan mekanisme transmisi pengetahuan, kultur, dan kekuasaan yang bersifat organik.
Diksi “asuh” sendiri berasal dari Peraturan Kehidupan Taruna (Perduptar) Akademi Kepolisian, yang merujuk pada bentuk hubungan taruna-taruni yang berlandaskan prinsip asah, asih, dan asuh.
Dalam infrastruktur sosial Akademi Kepolisian, “kakak asuh” dibangun melalui sebuah sistem yang terstruktur. Terdapat empat level utama dalam piramida hubungan ini: (1) saudara asuh (taruna satu angkatan), (2) kakak asuh (taruna junior terhadap senior), (3) mbah mentor (taruna senior tingkat III terhadap junior tingkat I), dan (4) buyut mentor. Setiap level memiliki fungsi spesifik dalam proses sosialisasi dan internalisasi kultur kepolisian. Mekanisme pembentukan ikatan ini dimulai pada tahap awal pendidikan (Cabhatar), di mana setiap taruna senior secara sistematis dipasangkan dengan satu atau dua taruna junior. Proses matching ini tidak dilakukan secara acak, melainkan melalui serangkaian pertimbangan kompleks yang melibatkan faktor kedekatan personal, potensi individu, dan dinamika kelompok.
Praktik “kakak asuh” memiliki rutinitas. Interaksinya tidak hanya terjadi di lingkungan akademi, tetapi meliputi berbagai aktivitas yang dirancang untuk menciptakan ikatan emosional dan profesional. Misalnya, terdapat jadwal rutin pertemuan di berbagai lokasi: makan bersama di lingkungan Korps Taruna, pertemuan di café taruna, diskusi di flat/asrama, bahkan kunjungan ke rumah pejabat baik di dalam maupun di luar lingkungan akademi. Setiap pertemuan memiliki agenda spesifik: berbagi pengetahuan akademis, transfer nilai-nilai kepolisian, pembimbingan personal, hingga pengenalan jejaring sosial.
Yang menarik, hubungan “kakak asuh” tidak berhenti ketika taruna lulus, melainkan berlanjut hingga mereka berkarier di institusi kepolisian. Sistem ini menciptakan semacam “keluarga” institusional yang melintasi batas-batas waktu dan ruang—dalam bahasa polisi disebut sebagai “keluarga asuh resimen”—di mana seorang kakak asuh akan terus memantau dan mendukung adik asuhnya bahkan setelah mereka menjadi perwira aktif.
Namun, di balik konstruksi positif tersebut, terdapat potensi patologi sosial. Penelitian Ferli menunjukkan bahwa praktik “kakak asuh” rentan terhadap pembentukan in-group ekslusif, yang dapat memicu etnosentrisme internal, kompetisi antar-keluarga asuh, dan potensi penyalahgunaan kewenangan. Sistem ini, meskipun dirancang dengan niat baik, memiliki celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Baca juga:
Kekerabatan Kultural dan Malapetaka Profesionalitas Polisi
Dalam studi antropologi kekerabatan kontemporer, konsep mutuality of being yang dikembangkan Marshall Sahlins dalam What Kinship Is—And Is Not memberikan perspektif mutakhir untuk membedah fenomena “kakak asuh” dalam institusi Kepolisian Republik Indonesia. Praktik ini bukan sekadar hubungan hierarkis formal, melainkan sebuah mekanisme pembentukan ikatan kekerabatan kultural yang kompleks dan multidimensional.
Dalam komentarnya tentang keberadaan kakak asuh Sambo, Mantan Kabareskrim Ito Sumardi memberikan penegasan penting ketika ia menyatakan bahwa “kakak asuh” adalah praktik lazim yang melampaui sekadar hubungan formal. Menurutnya, ikatan ini terbentuk melalui berbagai jalur: kedekatan personal, ikatan suku, asal daerah, bahkan ikatan alumni. Pernyataan ini membuka pintu bagi kita untuk memahami “kakak asuh” bukan sekadar mekanisme pembinaan, melainkan sebagai sistem transmisi kultural yang kompleks.
Ito juga secara terbuka mengakui kompleksitas relasi ini ketika menyatakan bahwa hubungan “kakak asuh” melampaui mekanisme pendidikan:
“Kemudian biasanya kakak asuh ini mulai dari masih pendidikan sudah melihat potensi adik asuhnya, sehingga saat kakak asuh ini menjadi pejabat di Polri tentunya yang bersangkutan juga akan melihat adik asuhnya di Polri,” ungkapnya dalam program Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Jumat (23/9/2022).
Kasus Ferdy Sambo memperlihatkan dengan sangat tajam bagaimana sistem kekerabatan kultural di Polri beroperasi. Dugaan adanya “kakak asuh” yang berupaya melindunginya pasca-kasus pembunuhan Brigadir J bukanlah sebuah anomali, melainkan manifestasi dari logika kekerabatan yang telah mengakar dalam institusi. Seorang guru besar dari Universitas Padjadjaran, Muradi, bahkan mengindikasikan bahwa sosok “kakak asuh” Sambo diduga aktif memantau dan berupaya memengaruhi proses hukum, mulai dari penetapan tersangka hingga proses sidang.
Dalam kerangka antropologi Sahlins, “kakak asuh” di Polri dapat dipahami sebagai sebuah sistem intersubjective belonging yang membentuk individu tidak sebagai entitas independen, melainkan sebagai bagian dari jaringan relasional yang lebih besar. Setiap adik asuh tidak sekadar menerima transfer pengetahuan, melainkan mengalami proses inkorporasi ke dalam sistem kekerabatan yang lebih luas. Penelitian Ferli mengungkap bahwa praktik ini tidak sekadar transfer pengetahuan, melainkan mekanisme pembentukan habitus kepolisian. Melalui interaksi berkelanjutan, setiap anggota diinternalisasi ke dalam logika institusional yang kompleks, di mana loyalitas personal menjadi sama pentingnya dengan kompetensi profesional.
Proses ini memiliki dimensi temporal yang unik. Seorang “kakak asuh” akan terus memantau “adik asuh” nya, menciptakan jaringan solidaritas yang melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Ito sendiri memperingatkan potensi patologis dari mekanisme ini: “Bisa saja timbul loyalitas sempit, keberhutangan budi, kemudian juga barangkali yang bersangkutan menyingkirkan daripada potensi lain yang lebih baik yang bukan adik asuhnya”. Dalam pernyataan tersebut, ia dengan tegas mengatakan bahwa seorang kakak asuh yang sudah menjadi pejabat akan cenderung mengawasi adik asuhnya, menciptakan jalur mobilitas karier yang tidak didasarkan pada merit, melainkan pada ikatan primordial.
Dalam terma antropologi, praktik ini dapat dipahami sebagai bentuk transpersonal being di mana identitas individu tidak lagi murni personal, melainkan sebagian terinternalisasi dari kolektivitas. Setiap anggota menjadi bagian dari sebuah “entitas” yang lebih besar, di mana batas antara individu dan institusi menjadi kabur. Namun, di balik retorika kekeluargaan, tersembunyi mekanisme reproduksi kekuasaan. Jaringan “kakak asuh” berpotensi menciptakan sistem patronase internal yang dapat melemahkan profesionalitas institusi. Setiap “adik asuh” yang diinvestasi tidak sekadar menerima bimbingan, melainkan menerima akses pada infrastruktur kekuasaan institusional.
Banalitas Iblis dan Paradoks Pemolisian
Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil mengemukakan konsep bernama “banalitas iblis”. Arendt, melalui studinya tentang Adolf Eichmann dalam proses pengadilan Jerusalem, memperlihatkan bagaimana kejahatan tidak selalu lahir dari niat jahat individual, melainkan dari mekanisme birokrasi yang menciptakan jarak moral antara pelaku dan konsekuensi tindakannya.
Kasus Ferdy Sambo menjadi titik paling konkret untuk membaca fenomena banalitas iblis dalam konteks kepolisian Indonesia. Seorang perwira tinggi yang secara sistematis terlibat dalam pembunuhan Brigadir J tidak bertindak sebagai monster individual, melainkan sebagai produk dari sistem institusional yang telah menciptakan mekanisme “normalisasi pelanggaran”.
Baca juga:
Dalam konteks “kakak asuh”, setiap aktor tidak secara langsung melakukan kejahatan, tetapi menciptakan kondisi di mana kejahatan menjadi mungkin—bahkan dapat diterima sebagai bagian dari logika institusional. Paradoks pemolisian menjadi sangat nyata dalam konstruksi ini. Lembaga yang secara normatif dibentuk untuk menegakkan hukum justru menciptakan mekanisme internal yang melemahkan supremasi hukum itu sendiri.Setiap anggota kepolisian tidak lagi dipandang sebagai individu dengan kapasitas profesional, melainkan sebagai simpul dalam jaringan kekerabatan yang kompleks.
Hannah Arendt menggunakan istilah thoughtlessness untuk menggambarkan kondisi di mana individu kehilangan kemampuan berpikir kritis terhadap tindakannya. Dalam konteks Polri, “ketidakberpikiran” ini tampak pada bagaimana setiap anggota yang terlibat dalam praktik “kakak asuh” berpotensi kehilangan kemampuan untuk secara kritis menilai konsekuensi moral dari tindakannya.
Kasus-kasus kekerasan yang kerap terjadi di tubuh Polri—mulai dari penyiksaan, pembunuhan di luar prosedur, hingga tindakan represif terhadap warga sipil—dapat dibaca sebagai konsekuensi langsung dari sistem “banalitas iblis” ini. Setiap anggota kepolisian tidak lagi bertindak sebagai individu dengan kesadaran moral, melainkan sebagai bagian dari sebuah mesin birokrasi yang kehilangan kemanusiaan.
Di titik ini, “kakak asuh” tidak lagi sekadar praktik kekerabatan, melainkan telah berubah menjadi infrastruktur produksi kekerasan institusional. Ia adalah mekanisme di mana kejahatan tidak lagi dimaknai sebagai pelanggaran moral, melainkan sebagai bagian dari logika organisasi yang normal dan dapat diterima. (*)
Editor: Kukuh Basuki