Dilema Politik Guru dalam Pilkada 2024

Al Iklas Kurnia Salam

3 min read

Di sekolah tempat saya mengajar, ada satu hal yang unik dan menarik terkait Pilkada 2024. Ruang guru, tempat kami biasa bercengkrama, seolah-olah terbelah jadi dua. Di ruang guru seakan tersekat tabir tak kasat mata. Di satu sisi, ada sekelompok guru yang apatis terkait politik dan pilkada. Di sisi lainnya, ada guru yang selalu membahas dinamika politik bahkan berani menjadi relawan pasangan calon yang sedang berkontestasi.

Saya sempat membayangkan menjadi bagian dari kedua golongan guru tersebut. Keduanya pasti memiliki dasar masing-masing dalam bersikap. Baik bersikap pasif maupun aktif di momentum pilkada. Bagi yang apatis, saya yakin mereka pernah dikecewakan janji manis para politisi. Ibarat karakter Joker di film solonya di tahun 2019, para guru tipe ini adalah orang baik yang tersakiti.

Mereka diberi janji manis terkait kesejahteraan, perlindungan, dan pengembangan karier. Sayangnya semua janji itu urung terwujud meski pemilu sudah dilakukan berkali-kali. Akibatnya para guru itu apatis dan menarik diri dari segala hal yang berbau politik.

Sebaliknya, para guru yang aktif berpartisipasi dalam kontestasi politik masih punya harapan pada tokoh-tokoh tertentu atau partai politik nasional. Biasanya golongan guru ini juga memiliki label “mantan” aktivis kampus. Jadi jangan heran bila mereka masih terhubung dengan dunia lama mereka yang berbau politik dan pilkada.

Baca juga:

Uniknya, para guru yang mantan aktivis ini juga sering mengutip perkataan kritis dari Bertolt Brecht tentang buta politik. Kata Bertolt Brecht, “buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung pada politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar, aku benci politik! Sungguh bodoh dia yang tak mengetahui bahwa karena ia tidak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk, korupsi perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”

Meskipun membuat ruang guru lebih hidup, saya malah jadi bimbang terkait sikap ideal seorang guru di hadapan agenda politik. Apakah harus bersikap apatis, partisan, atau netral? Lalu, apa saja landasan dari sikap ideal seorang guru tersebut?

Ceruk suara guru

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi tahun 2024, jumlah guru di Indonesia mencapai 3,39 juta orang di tahun ajaran 2023/2024. Jumlah itu tersebar di berbagai tingkatan pendidikan. Di tingkat dasar (SD) terdapat sebanyak 1,45 juta guru, di tingkat menengah pertama (SMP)  terdapat 6,73,3 ribu guru. Di tingkat menengah atas seperti SMA terdapat 339,3 ribu guru dan di SMK terdapat 324,6 ribu guru. Adapun selebihnya terdata di sekolah luar biasa (SLB), TK, kelompok bermain, PAUD, dan sejenisnya.

Begitu besar ceruk suara guru dalam pemilu hingga sikap politik mereka merupakan sesuatu yang penting untuk diperhitungkan. Baik itu netral, apatis, maupun partisan, sikap politik para guru ikut andil dalam menentukan kadar kualitas pilkada Indonesia.

Maka, wajar saja bila kebanyakan guru bersikap netral dalam pilkada. Mereka berusaha patuh pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan penyelenggara pemilu. Sampai titik ini, apatisme guru di lingkungan sekolah terasa wajar dan bisa dimengerti sampai muncul isu serangan fajar hingga politik uang.

Baca juga:

Ujian Netralitas Guru

Percayalah, keteguhan politik seorang guru buat tetap netral di ajang pemilu benar-benar diuji saat ada “saweran” dari pasangan calon yang sedang berkontestasi. Apalagi bila guru tersebut sangat butuh uang karena pendapatan dari mengajar tidak seberapa besar. Karena desakan keadaan, para guru idealis tersebut terpaksa ikut arus dalam mendukung para calon kepala daerah. Mereka berhenti bersikap netral. Mereka terpaksa menjadi relawan politik dan mendukung pasangan calon kepala daerah yang telah memberi bantuan finansial.

Di sisi lain, guru-guru yang berpartisipasi aktif dalam Pilkada 2024 biasanya memiliki akses literasi, akses finansial, dan akses jaringan yang cukup baik untuk menunjang keterlibatan mereka di agenda pemilu. Berbagai akses tersebut tidak serta merta terbentuk begitu saja. Ada kerja keras yang dimulai sejak di bangku kuliah. Ada juga kecerdasan komunikasi dalam menjaga hubungan. Dan tentu saja, pengaruh yang luas di lingkungan masyarakat untuk meraup suara.

Lalu, apa motivasi mereka menjadi guru partisan di Pilkada 2024? Entahlah, kita hanya bisa menebaknya saja. Bisa jadi mereka ingin membantu memajukan kampung halaman, yang dimulai dari peningkatan kesejahteraan rumah tangga sang guru tersebut.

Politik moral

Saya percaya masih banyak guru idealis yang memegang teguh prinsip moral dan intelektual di tengah hiruk-pikuk Pilkada 2024. Mereka berdiri tegak memelihara akal budi dan hati nurani dengan memberikan pendidikan politik gratis buat masyarakat.

Mereka berjuang membedah visi misi para calon pemimpin daerah, menolak politik uang, dan memerangi segunung hoax yang bertebaran di berbagai media. Singkatnya, mereka tetap setia menjalankan fungsi sebagai intelektual organik pelaksana politik moral. Guru-guru idealis seperti ini bisa kita kenali diberbagai platform media sosial. Mereka adalah guru penggerak “sejati” yang benar-benar menggenggam erat idealisme kaum intelektual.

Mengakhiri dilema

Dilema yang terjadi pada para guru terkait sikap politik mereka di pilkada terjadi karena beberapa hal. Pertama, realitas politik kita yang banal dan pragmatis. Sudah jadi rahasia umum bila pemilu di Indonesia terkenal kotor, membosankan, dan kurang mencerdaskan. Jadi wajar saja bila para guru ikut tertular “kotornya politik” tanah air.

Kedua, jaminan kesejahteraan guru yang kurang baik. Para guru yang tidak memiliki gaji cukup pasti lebih mudah tergiur politik uang daripada mereka yang sudah sejahtera. Guru bergaji kecil akan lebih sulit menjaga netralitas dibandingkan guru yang sudah sejahtera.

Ketiga, penyelenggara pemilu yang kurang tegas. Ketidaktegasan penyelenggara pemilu dalam menangani pelanggaran pemilu menyebabkan para kontestan pemilu berani bermain api saat kampanye.

Baca juga:

Maraknya politik uang saat kampanye serta strategi black campaign yang masih terjadi di pemilu kita mengindikasikan kurang tegasnya penyelenggara pemilu. Bila politik uang masih ada dan cara-cara kampanye kurang beradab masih terjadi, jangan harap para guru bisa terlepas dari dilema politik moral.

Seandainya ketiga hal tersebut bisa dicarikan solusi, saya yakin dilema para guru dalam menyikapi pilkada akan segera selesai. Para guru yang netral tidak akan terpaksa menjadi juru kampanye karena tergiur politik uang. Mereka akan tetap netral dan menjadi pundit penjaga gawang moralitas bangsa.

Begitupun para guru “mantan aktivis” yang memutuskan aktif di pilkada. Para guru akan bersuara di pilkada bukan karena motif uang atau kekuasaan. Mereka akan berjuang karena prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah mereka yakini.

Para guru ini ibarat Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir saat mendirikan organisasi Pendidikan Nasional Indonesia. Mereka berjuang lewat jalur pendidikan untuk kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.

Akhirnya, semoga Pilkada 2024 melahirkan pemimpin bijaksana yang memahami segala permasalahan masyarakat Indonesia, khususnya permasalahan para guru Indonesia.

 

 

Editor: Prihandini N

Al Iklas Kurnia Salam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email