Menyudahi Transendensi: Saatnya Moralitas Kembali ke Bumi

Mohamad Rachmat Ramdhani

2 min read

Moralitas yang transenden—konsep tentang nilai-nilai moral yang melampaui waktu, budaya, dan pengalaman manusia—sering dielu-elukan sebagai tujuan tertinggi etika. Dalam narasi-narasi agung, moralitas yang sempurna dikonstruksi sebagai panduan mutlak, melampaui pertimbangan manusia biasa. Namun, klaim ini bukan saja utopis, tetapi juga berbahaya. Transendensi moral, pada intinya, adalah ilusi yang menyamarkan kompleksitas moralitas manusia dan menjadi alat untuk membungkam pluralitas perspektif etis.

Di dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan, berpegang pada transendensi moral ibarat menggenggam angin. Dalam kenyataannya, moralitas selalu lahir dari konteks. Apa yang kita anggap sebagai “kebenaran moral” universal sering kali hanyalah bias budaya yang dibungkus dengan narasi otoritas. Ketika perbudakan masih menjadi norma di banyak peradaban kuno, ia dilegitimasi oleh justifikasi moral yang konon bersifat ilahi. Ketika perempuan dipinggirkan dalam keputusan-keputusan publik, hierarki gender dibingkai sebagai kehendak moral transenden. Dalam banyak kasus, klaim transendensi ini menjadi topeng untuk mempertahankan status quo.

Baca juga:

Ilusi Kebenaran Abadi

Mereka yang mendukung gagasan transendensi moral sering kali berbicara tentang “kebenaran abadi” yang dapat ditemukan melalui wahyu, akal, atau intuisi moral. Namun, sejarah moralitas menunjukkan bahwa nilai-nilai kita berubah seiring waktu. Penghapusan perbudakan, hingga perjuangan kesetaraan gender adalah contoh nyata bagaimana moralitas manusia berevolusi. Perubahan ini tidak muncul karena “penemuan” hukum moral universal, tetapi melalui perjuangan, konflik, dan penyelidikan kolektif.

Philip Kitcher, dalam Moral Progress, menyebut moralitas sebagai teknologi sosial—alat yang dikembangkan manusia untuk menyelesaikan masalah hidup bersama. Dengan pandangan ini, moralitas tidak membutuhkan kebenaran transenden. Yang dibutuhkan adalah refleksi kritis terhadap tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam setiap era, moralitas kita harus terus diperiksa, diuji, dan diperbaiki. Klaim tentang kebenaran abadi justru membekukan proses ini, menghambat inovasi moral yang diperlukan untuk menjawab kebutuhan zaman.

Bahaya Klaim Transenden

Mengapa gagasan tentang moralitas transenden begitu bermasalah? Pertama, ia cenderung menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan. Ketika nilai-nilai tertentu dibingkai sebagai “universal,” mereka sering digunakan untuk membungkam perspektif alternatif. Sebagai contoh, kolonialisme abad ke-19 dibenarkan dengan klaim moral tentang “misi peradaban” bagi bangsa-bangsa yang dianggap primitif. Dalam praktiknya, klaim ini menutupi eksploitasi ekonomi dan penghancuran budaya lokal.

Kedua, klaim transendensi moral menciptakan dogma yang sulit digugat. Ketika moralitas dianggap berasal dari sumber yang “lebih tinggi,” ia menjadi kebal terhadap kritik. Ini bertentangan dengan semangat moralitas yang sejati, yaitu keterbukaan terhadap dialog dan perubahan.

Ketiga, transendensi moral mengabaikan pluralitas manusia. Dunia kita penuh dengan keragaman budaya, tradisi, dan cara hidup. Upaya untuk memaksakan moralitas universal sering kali mengarah pada homogenisasi, di mana suara-suara minoritas diabaikan. Moralitas yang manusiawi harus menghormati perbedaan, bukan menghapusnya demi klaim universalitas yang semu.

Membawa Moralitas Kembali ke Bumi

Alih-alih mencari moralitas di “langit” transendensi, kita perlu membawanya kembali ke bumi. Ini bukan berarti merelativisasi nilai-nilai moral, melainkan mengakui bahwa moralitas adalah proses manusiawi yang terikat pada konteks sosial, sejarah, dan budaya.

Proses ini membutuhkan penyelidikan moral yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, penyelidikan moral tidak hanya bertujuan untuk menemukan solusi atas masalah, tetapi juga untuk merefleksikan asumsi-asumsi yang kita miliki. Penyelidikan ini, seperti yang diusulkan oleh Kitcher, melibatkan dialog inklusif yang memperhitungkan berbagai perspektif. Dengan cara ini, moralitas menjadi proyek kolektif yang terus berkembang, bukan dogma yang beku.

Baca juga:

Mengatasi Kritik terhadap Penyelesaian Kontekstual

Kritik terhadap pendekatan kontekstual sering kali menyebutnya terlalu lambat atau tidak mampu memberikan panduan yang jelas dalam situasi darurat. Namun, moralitas yang transenden juga tidak pernah memberikan solusi instan. Sebaliknya, ia sering kali menjadi alat untuk menunda perubahan, dengan alasan bahwa “kebenaran moral” membutuhkan waktu untuk dipahami.

Pendekatan kontekstual menawarkan sesuatu yang lebih realistis: kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berubah. Dalam dunia modern yang penuh kompleksitas, ini jauh lebih relevan daripada klaim transendensi yang abstrak.

Moralitas transenden adalah mitos yang telah terlalu lama menghantui diskursus etika. Dengan menyudahi transendensi, kita tidak kehilangan moralitas; kita justru memulihkannya sebagai proyek manusiawi yang nyata. Moralitas yang sejati tidak membutuhkan status transenden untuk menjadi kuat. Ia hanya membutuhkan kejujuran dalam menghadapi kehidupan manusia, keberanian untuk mempertanyakan asumsi, dan komitmen untuk terus mencari yang lebih baik. Mari membawa moralitas kembali ke bumi, di mana ia seharusnya berada.

 

 

Editor: Prihandini N

Mohamad Rachmat Ramdhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email