Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Halu Oleo

Jembatan dan Bahasa Kekuasaan

Febriansyah

2 min read

Akhir-akhir ini, wacana seputar pembangunan infrastruktur mendominasi janji kampanye pasangan calon kepala daerah. Salah satu pembangunan infrastruktur yang dibayangkan atau dicontohkan oleh para paslon adalah pembangunan jembatan yang menghubungkan pulau-pulau. Di Sulawesi Tenggara, pembangunan jembatan seperti proyek Jembatan Muna-Buton menjadi salah satu infrastruktur yang diperebutkan.

Wacana pembangunan jembatan semacam ini mengingatkan saya pada kasus viral yang terjadi beberapa bulan lalu di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kasus ini terjadi bermula dari aksi seorang YouTuber asal Denmark yang berinisiasi memperbaiki jembatan untuk warga Bajo. Aksi itu membuat netizen memberinya pujian dan mengkritik pemerintah yang lalai.

Namun, terlepas dari bagaimana kelanjutan perseteruan itu, kasus ini menggelitik saya merenungkan tentang pertanyaan yang bagi saya sangat mendasar: Mengapa Orang Bajo atau orang di kepulauan seperti di Sulawesi Tenggara harus memakai jembatan? atau bagaimana jembatan atau kata “jembatan” menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang berkebudayaan maritim itu?

Baca juga:

Kata Jembatan

Dalam bahasa Indonesia, kata “jembatan” berarti jalan yang direntangkan di atas sungai; titian besar atau berarti perantara atau penghubung. Dalam kamus bahasa Inggris Merriam Webster, kata “jembatan” atau “bridge” juga memiliki definisi yang hampir serupa, yaitu a structure carrying a pathway or roadway over a depression or obstacle (such as a river). Jembatan yang dimaksud berasosiasi pada bangunan (a structure) melintang yang membentuk jalan atau jalur yang merentang di atas penurunan atau fenomena alam seperti sungai. Dalam perkembangannya, jembatan juga mampu didirikan di atas teluk dan bahkan selat.

Berkaitan dengan ini, menarik membaca apa yang dicatutkan dalam Merriam Webster sebagai contoh kalimat: “a bridge connecting the island to the mainland” (sebuah jembatan menghubungkan sebuah pulau dengan daratan utama).

Kalimat itu mengandung penekanan. Ada konsep diferensiasi antara island (pulau) dan mainland (daratan utama). Dan, persis di sanalah jawaban dari pertanyaan di atas terbayang.

Memahami Jembatan di Daerah Kepulauan

Di waktu remaja, sebelum merantau ke kota, pemaknaan pada kata “jembatan” ini bagi saya merujuk pada apa yang kami sebut dalam bahasa pulo dialek Pulau Tomia sebagai jambata. Mulanya saya kira ia mengalami semacam perubahan pelafalan mengikuti karakteristik masyarakat pulau. Namun, dugaan itu keliru. Kata jambata memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, yakni pelabuhan atau bisa jadi dermaga yang merupakan tempat berlabuh kapal atau transportasi laut lainnya.

Keduanya, baik jambata maupun jembatan sebenarnya sama-sama membawa makna penghubung. Namun, konsekuensi kebudayaan yang membentuknya sangat berbeda. Jambata atau pelabuhan berkaitan dengan aktivitas bahari. Masyarakat Wakatobi, dalam menjangkau pulau satu dengan yang lainnya, tak menggunakan jembatan, mereka akan lewat jambata dan kemudian menggunakan perahu. Mereka mendayung, melakukan pelayaran di permukaan laut. Dari sana terbentuk corak kebudayaan maritim itu.

Namun, kebudayaan maritim adalah frasa politis di era ini. Ia hanya dipakai sebagai sebuah gagasan dalam memenangkan pertarungan kursi kekuasaan. Setelahnya, alih-alih dijadikan laku hidup, ia hanya dipamerkan sebagai objek eksotis di hadapan ekonomi kapital.

Baca juga:

Tulisan Arif Satria dalam buku Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir membuktikan bahwa dalam politik pembangunan negeri ini, orang pesisir dan nelayan senantiasa dimarjinalisasi. Negara lebih mementingkan daratan luas atau disebut Arif sebagai pembangunan pro-darat.

Jembatan dan Kosakata Daratan

Kata jembatan, bagi saya, adalah kosakata orang daratan. Lebih tepatnya, ia adalah diksi orang daratan utama (mainland). Tersembunyi hasrat kekuasaan di dalamnya.

Seperti penyebutan Liwuto Pasi untuk Wakatobi di mata Kesultanan Buton. Seperti Kepulauan Tukang Besi yang digaungkan Orang Belanda. Seperti pariwisata bawah laut nan prioritas di buku ekonomi masa depan pemerintah Indonesia yang mainland sentris.

Sejak lama, pulau-pulau semacam ini disorot dari daratan besar, ditatap dari tempat kekuasaan bernaung. Dan daratan besar itu adalah kawasan di mana jembatan-jembatan didirikan seperti jaring laba-laba yang mencengkeram pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Bagaimana Bahasa Kekuasaan itu Langgeng?

Studi Wianti bertajuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo menerangkan bahwa pembangunan ekonomi kapital menyebabkan ruang orang-orang pulau terkapitalisasi sedemikian rupa. Mereka lalu dilarang melaut hingga didiskriminasi. Orang pulau, Orang Bajo didaratkan. Mereka mulai jarang melaut apalagi berlayar. Mereka lalu tinggal di darat, mereka membuat jalan darat yang melintang di tepi laut. Sesungguhnya mereka tak menyebut itu “jembatan”, mereka menyebut itu jalan. Hanya saja orang-orang daratan besar datang dan menyebut itu sebagai jembatan.

Media massa yang menjadi alat kekuasaan memperlancar suplai dan pengaruh kata-kata itu. Hingga ia menghegemoni. Lalu, degradasi bahasa yang seturut diikuti dengan laku bahari orang-orang pulau itu tak terelakkan lagi.

 

 

Editor: Prihandini N

Febriansyah
Febriansyah Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Halu Oleo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email