Beberapa bulan lalu, penulis bertemu dengan Khariq Anhar, seorang mahasiswa Universitas Riau (UNRI) yang dipidanakan oleh rektornya sendiri. Khariq yang waktu itu di Jakarta bercerita dirinya dilaporkan Rektor Sri Indarti akibat sebuah video kritik terhadap penetapan biaya masuk yang begitu tinggi di UNRI.
Khariq dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik Sri Indarti. Ia pun sempat dipanggil kepolisian beberapa kali, sebelum rektor mencabut laporannya akibat tekanan publik.
Kejadian yang mirip terjadi sekitar sebulan yang lalu, penulis mendapatkan laporan adanya skorsing terhadap 31 mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Salah satu korbannya merupakan anggota dari organisasi yang sama dengan penulis. Dari informasi yang didapat, mereka diskorsing akibat melanggar aturan demonstrasi yang ditandatangani rektor pada 25 Juli 2024.
Aturan tersebut dibakukan dalam Surat Edaran 2591 Tahun 2024. Ketentuannya antara lain mengatur mahasiswa bila ingin demonstrasi harus mengajukan surat izin ke Rektorat paling tidak tiga hari sebelum dilaksanakan.
Kemunculan surat tersebut tentunya menyulut api kemarahan mahasiswa. Secara berturut-turut mereka melakukan aksi demonstrasi pada 31 Juli, 1, 2, dan 5 Agustus, meski begitu Rektorat tidak menggubris kemauan mereka. Malahan 31 massa aksi diskorsing satu semester akibat melanggar edaran 2591.
Kedua kasus tersebut merupakan sinyal bahaya bagi budaya akademik di kampus. Ironisnya, kedua peristiwa itu dilakukan oleh orang-orang yang menyandang gelar “Guru Besar” perguruan tinggi. Artinya secara definitif kita menilai rektor paham akan hakikat kebebasan akademik.
Fathul Wahid–Rektor Universitas Islam Indonesia–pada Koran Kompas edisi 23 September 2024 menyentil kompas moral perguruan tinggi yang telah soak akibat sikap diam akan kerusakan demokrasi di tingkat negara. Ia juga menyentil intelektual kampus yang masa bodoh dengan urusan-urusan politik yang terjadi.
Penulis sepenuhnya setuju dengan Fathul Wahid, kampus tidak ubahnya menjadi kaki tangan pemerintahan yang ada. Intelektual kampus menjadi pembungkam demokrasi di tanahnya sendiri. Sikap pengecut mereka tujukan kepada penyelenggara negara, tapi sikap ugal-ugalan mereka perlihatkan kepada mahasiswanya sendiri.
Cacat Pikir Petinggi Kampus
“Cetek wawasannya, jago kandang, cepat puas diri, tanpa alasan yang benar.”
Begitulah Benedict Anderson mendefinisikan “Katak dalam tempurung” dalam memoar Hidup Diluar Tempurung. Tentu tidak semua akademisi kampus demikian. Namun paling tidak tamsil tersebut cukup untuk para petinggi kampus yang alergi kritik.
Tentu bukan kebiasaan akademisi untuk menyalahkan individu per individu. Setiap masalah pasti ada tarikan sistemiknya. Begitupun dengan ketidakbebasan akademik, paling tidak kita bisa melihatnya dari perspektif mikro dan makro.
Pertama, secara mikro, macetnya budaya akademik yang demokratis di dalam kampus. Harus kita pahami ketidakbebasan akademik merupakan imbas dari budaya akademik yang mandek.
Kesalahan terbesar kita adalah menganggap kebudayaan akademik sama halnya dengan adanya Tridarma Perguruan Tinggi. Tridarma tidak salah, secara garis besar tujuan perguruan tinggi memang itu. Definisi operasionalnya saja yang sempit.
Kampus hanya melihat Tridarma sebagai tujuan kuantitatif yang dapat diukur. Sebagai contoh, mahasiswa diminta membuat jurnal, berprestasi, hingga ikut program magang.
Tuntutan tersebut membuat mahasiswa menjadi tidak bergairah dalam berpengetahuan di kampus. Ruang-ruang diskusi menjadi minim, mahasiswa hanya sibuk dengan urusan tugasnya sendiri. Atau bahasa lainnya, overwhelmed!.
Kebudayaan akademik yang tidak demokratis juga dapat dari interaksi dosen dan mahasiswa sehari-hari. Relasi itu tersebut tidak hanya bersifat mana yang sopan dan mana yang tidak. Terkadang kita tenggelam dalam perdebatan budaya yang tidak produktif. Relasi yang setara tetap bisa menjunjung kehormatan satu sama lain. Mahasiswa tidak perlu merasa dosen maha benar, di sisi lain dosen pun tidak boleh menganggap dirinya memiliki kekuasaan hierarkis lebih tinggi sampai harus disembah dan dijamu.
Perguruan tinggi adalah pusat produksi pengetahuan, bukan transmisi. Dalam produksi, tentu dialektika harus terjadi. Seperti seorang anak yang mewarisi DNA ayah dan ibunya. Mahasiswa yang lahir dari perguruan tinggi ialah hasil dialektika antara pendidikan dan pengalamannya.
Kalau mahasiswa lahir dari budaya yang feodal, besar kemungkinan dirinya akan menjadi pewaris budaya tersebut secara mentah-mentah, tanpa ada inovasi dan perubahan progresif. Alangkah baiknya kita mengingat apa yang dikatakan Paulo Freire, “pendidikan yang tidak membebaskan hanya akan menciptakan penindas-penindas baru”. Paling tidak itulah yang terjadi pada beberapa tokoh gerakan 98 hari ini–jadi penindas baru.
Baca juga:
- Pergerakan Mahasiswa Harus Lebih dari Sekadar Turun ke Jalan
- Kita Butuh Gerakan Sosial yang Lebih Mutakhir
- Aktivis Pascareformasi: Menantang atau Terserap Oligarki?
Bila melihat analisis yang lebih makro, budaya akademik yang feodal merupakan hasil dari berbagai kebijakan ugal-ugalan dari pemerintah pusat. Katakan saja kampus merdeka, PTN BH, intervensi penguasa ke rektor, gaji dosen rendah, tuntutan riset dan lain sebagainya.
Feodalisme petinggi kampus kepada penguasa tentu bisa dilihat dalam aturan dimana pemerintah mendapatkan 35% hak suara dalam pemilihan rektor. Ironisnya, pemerintah memberikan otonomi kepada kampus secara bebas namun di sisi lain rektor-rektor juga terpenjara akan timbal balik politik.
Harus berani!
Penulis teringat seorang rektor perempuan pertama di Indonesia, Conny Semiawan. Ia memimpin Universitas Negeri Jakarta, pada masa Soeharto (1984 – 1992), kala itu jamak terjadi represi aparat kepada mahasiswa. Namun, Rektor Conny sama sekali tidak gentar melindungi mahasiswanya. Aparat yang mengancam akan menyerbu kampus ia halau, “Aparat jangan masuk kampus! Saya akan jamin mahasiswa tidak melampaui batas! Berikan kebebasan berekspresi! Kampus punya kebebasan akademik!” ujarnya.
Conny bukan seorang yang vokal mengkritik Soeharto di zaman itu, tapi paling tidak mahasiswa mengenalnya sebagai pelindung kebebasan akademik. Ia tidak mengembik, tidak pula feodal.
Sosok seperti itulah yang didambakan mahasiswa, kalau tidak bisa mengkritik secara terbuka, seminimal mungkin harus independen di hadapan penguasa. Jangan menjadi pengecut di hadapan mereka sekaligus penindas di tempat sendiri.
Perguruan tinggi yang hilang arah wajib dikoreksi. Mahasiswa jangan hanya berani di hadapan DPR dan Presiden tapi malah menciut di hadapan petinggi kampus. Konsekuensi skorsing atau drop out memang lebih menyakitkan dibanding pukulan polisi. Tapi satu hal yang penulis sadari setelah berkuliah, tanggung jawab seorang intelektual adalah mengatakan salah bila hal tersebut memang salah.
“Ilmu ujungnya mencari kebenaran dan membela kebenaran,” ucap Mohammad Hatta dalam Pidato Tanggung Jawab Moril Kaum Inteligensia (11 Juni 1957, Universitas Indonesia).
Apa guna gelar guru besar bila menjadi penindas di kampus sendiri? Apa guna kuliah kalau hanya mengembik pada penguasa? Lebih baik gelar dan ijazahmu dibuang saja. (*)
Editor: Kukuh Basuki