Tak ada hidup yang lebih sengsara selain hidup di dalam buku sejarah. Terlebih buku sejarah yang salah. Mestinya aku tengah beristirahat menikmati alam barzah setelah kematian yang mengenaskan itu. Namun, narasi-narasi dalam buku sejarah ini menarikku untuk hidup kembali. Hidup dengan segala kesengsaraan lagi.
Memang, yang hidup dalam buku sejarah ini ada banyak. Bukan hanya aku seorang diri. Namun, mereka hidup dengan penuh kebahagiaan; leyeh-leyeh setiap hari dan orang-orang akan mengenang mereka sebagai pahlawan yang senantiasa diingat dan dihormati. Sedang aku, tak lebih dari cecunguk brengsek yang dianggap telah berkhianat dan pantas untuk dilenyapkan dari muka bumi.
Narasi-narasi dalam buku sejarah ini seperti belenggu yang senantiasa mengikatku. Di sini aku tak bisa berbuat apa-apa. Sekadar berkata saja tak bisa, apalagi menyampaikan kebenaran yang ada.
Ah, barangkali memang benar, bahwa sejarah bukan tempat yang enak untuk orang-orang yang kalah sepertiku.
Buku sejarah ini tersimpan rapi di sebuah rak perpustakaan kota. Perpustakaan yang tak pernah ramai dikunjungi. Maklum, angka minat baca di kota ini tak lebih tinggi daripada angka pernikahan dini, perceraian, dan pengangguran. Kalaupun ada pengunjung, biasanya adalah para siswa yang tengah mendapat tugas menulis laporan bacaan dari guru. Itu pun tak terlalu sering.
Namun, kali ini yang datang justru adalah seorang mahasiswa. Dari tampangnya, bisa aku perkirakan bahwa ia adalah mahasiswa semester tua yang sudah muak dengan pertanyaan “kapan wisuda?”.
Setelah berputar-putar menyambangi rak demi rak, tibalah ia di rak berisi buku-buku sejarah. Salah satu dari buku itu adalah tempatku berada. Aku menduga, pasti ia akan membaca buku ini. Buku sejarah yang di dalamnya berisi narasi-narasi tentangku. Narasi-narasi yang membuatku terbelenggu dan menderita, hingga aku tak bisa beristirahat dengan tenang.
Sang mahasiswa akhirnya mengambil buku ini dan membawanya ke sebuah bangku. Aku begitu benci dengan momen semacam ini. Sebab, setiap satu orang yang membaca buku ini, maka satu kebencian terhadapku akan tumbuh lagi.
Sang mahasiswa tidak langsung membaca. Terlebih dahulu, ia membuka laptopnya lalu mencari sebuah berkas dokumen. Setelah menemukannya, buku itu lantas ia buka. Benar memang dugaanku, ia sedang merampungkan kajian pustaka untuk tugas skripsinya.
Aku melihat sang mahasiswa mulai membaca buku ini. Dari halaman daftar isi, ia langsung menuju halaman ke-65, tepatnya pada bab yang berkisah tentang penangkapanku. Sialan. Baca buku sejarah kok tidak runtut dari awal!
Suasana perpustakaan yang tak ramai membuat sang mahasiswa begitu khusyuk membaca. Ia begitu menikmati narasi-narasi yang mengisahkan penangkapanku. Penangkapan seorang prajurit yang dianggap telah berkhianat dan terlibat dalam usaha menggulingkan pemerintahan yang sah.
Dalam bab ini, juga dijelaskan bahwa aku menganut ideologi yang salah. Berengsek sekali orang yang menulisnya. Jelas-jelas aku tak menganut ideologi apa pun. Sebagai seorang prajurit, yang bisa kulakukan tentu hanyalah melaksanakan perintah.
***
Semua bermula pada malam kelabu itu, Kolonel Ragnar membawaku pergi dari asrama bersama puluhan prajurit lainnya. Kami juga diinstruksikan untuk membawa senapan lengkap dengan puluhan butir peluru.
Ia seperti hendak membawa kami ke medan pertempuran. Tapi itu terbilang aneh, sebab aku tak mendengar berita bahwa negeri ini sedang diinvasi oleh musuh. Aku juga tak mendengar kabar adanya pemberontakan. Lalu, ke manakah Kolonel Ragnar hendak membawa kami?
Tentu, tidak ada dalam kamus seorang prajurit untuk membangkang terhadap perintah atasan. Maka, yang bisa kami lakukan malam itu hanyalah melaksanakan setiap perintah yang diinstruksikan Kolonel Ragnar. Tak tanggung-tanggung, tujuh peleton diberangkatkan dari asrama menggunakan truk.
Seluruh prajurit sudah siap siaga, bilamana musuh tiba-tiba muncul di depan mata. Namun, malam itu sungguh aneh. Bukan medan pertempuran yang menjadi tujuan kami. Kolonel Ragnar hanya memerintahkan kami untuk menjemput seorang jenderal agar dihadapkan kepada Presiden Oeratmangun.
Kami tentu tak habis pikir, mengapa untuk menjemput jenderal saja harus dengan pasukan sebanyak ini. Tapi, kami tak punya banyak waktu untuk menduga-duga perihal apa yang sebenarnya sedang dan akan terjadi.
Kami bersama rombongan peleton pertama tiba di kediaman Jenderal Pattynama. Kami diberi tugas sederhana; membawa jenderal itu ke istana.
Jika ia menolak, jangan sungkan untuk menyeretnya secara paksa. Ini tugas negara, tak seorang pun bisa membantahnya, begitu instruksi Kolonel Ragnar.
Maka tanpa berlama-lama, kami segera mengetuk pintu rumah sang jenderal. Ketukan pertama, kedua, dan ketiga, tak ada jawaban. Tak ada jalan lain selain mendobraknya secara paksa. Sebagian merangsek lewat pintu utama, sebagian lagi lewat pintu belakang.
Setelah sampai di ruang tengah, kami mendapati Jendral Pattynama berlari ke arah belakang. Kami memperkirakan bahwa ia hendak meloloskan diri dari kami dan membangkang terhadap perintah presiden. Maka dengan refleks yang sangat cepat, Sardi, sang pimpinan peleton menarik pelatuk dan mengarahkan senapan ke arah jenderal.
Namun, sepersekian detik sebelum peluru melesat, anak perempuan sang jenderal muncul dan peluru menembus kepalanya. Sang jenderal berhasil lolos lewat dinding belakang yang luput dari penjagaan.
Suara teriakan histeris terdengar dari arah kamar. Itu suara istri sang jenderal yang melihat putrinya meregang nyawa.
Aku sebetulnya merasa sangat iba melihat bocah yang tak tahu apa-apa itu mati secara mengenaskan. Namun, seruan Sardi yang memerintahkan kami untuk segera mengejar sang jenderal membuat aku tak kuasa menolongnya.
Lagi pula aku memang sedang melaksanakan tugas negara. Maka, segera kami mengejar sang jenderal dengan sepenuh daya. Namun sial, sang jenderal terlampau lihai meloloskan diri. Ia berhasil kabur dengan melompat pagar samping rumahnya. Kami gagal membawa sang jenderal ke istana.
Tak sampai hitungan bulan setelah kejadian itu, dalam sebuah operasi militer, Kolonel Ragnar ditangkap dengan tuduhan telah melakukan upaya penggulingan terhadap pemerintahan yang sah. Sialnya, aku dan para prajurit lainnya juga dianggap terlibat dalam aksi tersebut. Kami pun ikut ditangkap.
Kami lalu diasingkan di sebuah pulau terpencil. Pulau yang pada akhirnya membuat kami kehilangan martabat sebagai manusia.
Di pulau itu, kami diperlakukan layaknya binatang; diberi makan hanya dengan jagung yang disebar. Juga tak terhitung berapa kali kami mendapat tindak kekerasan. Lebih dari itu, kami juga mendapat gelar baru: Pengkhianat Negara.
Perlahan, kami pun digiring menuju kematian. Sebagian mati karena dieksekusi, sebagian lagi mati karena tak kuasa menanggung siksa di pulau terpencil itu. Kami mati tanpa pernah sekalipun diadili.
Kematianku begitu getir untuk dikisahkan. Aku mati lantaran memberontak sipir penjara di pulau itu.
Kejadian itu bermula, setelah beberapa hari kami hanya diberi makan jagung yang disebar. Brengsek. Mereka seperti tengah menganjingkan manusia. Dan manusia itu adalah kami.
Itu membuatku murka, tentu saja. Tapi, sepenuhnya aku menyadari bahwa sekalipun aku memberontak, itu sama saja dengan mempercepat jalanku menuju neraka. Tapi, kupikir lebih baik mati dengan penuh perlawanan daripada aku mati dalam nista penindasan. Tak sudi.
Maka, seperti yang sudah kuduga, peluru itu dengan cepat menembus dadaku beberapa saat setelah aku mencoba lari dari penjara biadab itu. Aku menyambut baik kematian itu, sebab kupikir, kematian akan membuatku tenang.
Dan, sebentar kemudian, aku menyadari bahwa anggapanku salah besar. Kematian sama sekali tak membuatku tenang. Terlebih, setelah seorang ahli sejarah yang ngawur tiba-tiba menyelundupkanku ke dalam buku sejarah ini.
***
Yang membuatku kesal, bagian sepenting ini justru tak ada dalam buku sejarah yang tengah dibaca oleh mahasiswa ini. Di dalam buku ini, hanya dijelaskan bahwa aku dan prajurit lainnya menganut paham yang salah. Aku ingin sekali mengubah kalimat-kalimat dalam buku sejarah ini sebagaimana kejadian yang sebenarnya. Tapi, aku hanyalah arwah gentayangan yang tak punya kuasa apa-apa. Aku juga ingin menemui penulis buku sejarah ini. Namun, sang penulis telah mati dan namanya kadung terkenang sebagai ahli sejarah nomor wahid di negeri ini.
Setelah membaca buku ini, sang mahasiswa akhirnya pergi dan tak pernah menyambangi lagi perpustakaan ini. Namun, sebulan berselang aku dikejutkan oleh suatu hal. Namaku tiba-tiba tercantum dalam sebuah laporan skripsi yang meneliti tentang sejarah pergolakan politik masa lampau negeri ini. Berengsek, rupanya sang mahasiswa yang telah seenak jidat menyelundupkanku ke dalam penelitian tugas akhirnya.
Tentu, aku sangat marah akan hal ini. Sebab dengan demikian, penderitaanku akan makin bertambah lagi. Hidup dalam buku sejarah saja sudah susah, apalagi hidup di dalam skripsi. Pasti aku akan disimpan begitu saja di rak perpustakaan kampus yang sepi.
Namun, ada yang lebih sial dari ini. Sang mahasiswa yang aku ketahui merupakan seorang penulis amatir itu, diam-diam juga menyelundupkanku ke dalam cerpennya. Aku tentu tak habis pikir, mengapa penulis amatir itu berani-beraninya memasukkanku ke dalam cerpennya. Apakah ia tidak tahu jika itu hanya akan membuat penderitaanku sebagai penduduk sejarah makin susah.
Tak sampai di situ, sang penulis amatir bahkan mengirimkan cerpen itu ke sebuah perlombaan cerpen tingkat nasional yang diadakan oleh sebuah universitas ternama ibu kota. Sialan.
Aku ingin sekali menemui penulis amatir yang namanya sama sekali tidak diperhitungkan di kancah kesusastraan nasional itu, lalu memarahinya, atau bahkan menamparnya seraya mengatakan bahwa tindakannya sangat keterlaluan. Tapi, betapa aku hanyalah arwah gentayangan yang tak punya kuasa apa-apa. Terlebih, penulis amatir itu sekarang benar-benar sangat sulit ditemui—entah karena apa. Dan ia mendiamkanku begitu saja di dalam cerpennya yang buruk itu. “Adakah di antara kalian yang melihat penulis amatir itu? Atau adakah di antara kalian yang pernah membaca cerpen itu?”
Purbalingga, 2023
***
Editor: Ghufroni An’ars