Sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, komitmen menjalankan agenda reforma agraria (land reform) masih minim. Secara yuridis, UUPA nomor 5 tahun 1960 menjamin bahwa agenda reforma agraria dijalankan secara konsekuen. Artinya, ada pengakuan bahwa negara wajib untuk menjalankan agenda reforma agraria. Namun dalam praktiknya, agenda tersebut kurang mendapat perhatian serius oleh pemangku kepentingan.
Kalau kita kembali pada peristiwa pasca putusan UUPA nomor 5 tahun 1960, terdapat banyak gejolak di masyarakat. Gejolak itu muncul dalam dua bentuk. Pertama, dari para tuan tanah di perdesaan yang menolak adanya UUPA, yang berarti menolak distribusi tanah bagi buruh tani dan masyarakat yang tidak bertanah. Kedua, di kalangan petani di perdesaan, UUPA memberikan jaminan sekaligus kapastian hidup bagi mereka, terutama dalam memproduksi pangan.
Baca juga:
Di tengah gejolak itu, pemerintahan Orde Baru Soeharto lahir melalui serangkaian peristiwa 1965. Nyaris di bawah pemerintahan Soeharto, yang banyak dikenal sebagai bapak pembangunan vis a vis otoriter, agenda reforma agraria dimatikan. Ada banyak dugaan bahwa Orde Baru sengaja mematikan kebijakan reforma agraria demi melindungi kepentingan kapitalis. Di tangan pemerintahan Orde Baru, investasi korporasi asing di sektor pertambangan, perkebunan, pertanian, properti, minyak, dan gas memberikan pemasukan bagi negara.
Sayangnya, apa yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi dalam kacamata negara justru membawa dan menghasilkan berbagai masalah lebih lanjut, khususnya terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di perdesaan. Berbagai upaya demi melancarkan agenda investasi dalam negeri justru menghasilkan masalah agraria di kalangan petani. Menurut Richard Robison, lahan dan tanah yang dirampas demi mengejar pertumbuhan ekonomi justru menciptakan ketimpangan dan kesenjangan yang makin meluas dan melebar di masyarakat.
Selepas lengsernya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia memasuki gelanggang baru pemerintahan demokratis. Di bawah pemerintahan yang digerakan oleh semangat reformasi, sekali lagi agenda reforma agraria masih sunyi senyap. Pemerintahan pada masa ini masih belum konsisten berpikir jauh soal bagaimana menjalankan reforma agraria. Kondisi itulah yang justru memantik lebih banyak masalah di sektor agraria di perdesaan sampai hari ini.
Pembangunan dan Problem Agraria
Di tangan pemerintahan Jokowi, pembangunan infrastruktur di berbagai daerah makin digencarkan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, waduk, dan bendungan memberikan kemudahan akses ekonomi bagi masyarakat. Namun, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur itu, berbagai problem agraria bermunculan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa sepanjang 9 tahun terakhir, lebih tepatnya selama kepemimpinan Presiden Jokowi, sebanyak 2.710 konflik agraria telah terjadi. Konflik agraria ini telah berdampak terhadap 5,8 juta hektare tanah dan 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia menjadi korban terdampak.
Fakta dari KPA ini menunjukkan bagaimana pembangunan infrastruktur berdampak pada masalah agraria. Berbagai perampasan tanah di perdesaan, baik yang melibatkan negara secara langsung maupun korporasi, menjadi bukti bahwa masalah agraria semakin genting sehingga perlu dipikirkan jalan keluar dan solusi bersama demi mencegah konflik yang lebih besar.
Dalam kenyataan relasi sosial-ekonomi-budaya masyarakat, tanah dan ruang hidup merupakan entitas yang sangat penting dalam proses penghidupan mereka. Tanah dan ruang hidup tidak saja dimengerti sebagai sumber ekonomi, tetapi juga harus dimaknai sebagai entitas yang di dalamnya masyarakat meyakini bahwa tanah melekat secara inheren dalam keseluruhan hidup mereka.
Baca juga:
Namun, kapitalisme neoliberal yang hadir lewat komodifikasi tanah dan pembangunan kapitalistik menggeser jauh sekali makna tanah dan ruang hidup sebagai entitas budaya masyarakat setempat. Menurut Arianto Sangdji, dalam kapitalisme neoliberal tanah justru dimaknai dan dijadikan sebagai sumber komodifikasi yang menguntungkan secara ekonomi bagi kepentingan akumulasi kapital.
Logika pasar seperti demikianlah yang akhirnya menciptakan konflik agraria. Berbagai penyerobotan tanah dan lahan warga seperti yang terjadi di Wadas; Poco Leok, Kabupaten Manggarai; Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat; Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan; Mataloko, Kabupaten Ngada, dan beberapa tempat lain di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua, Jawa menjadi bukti mengapa kapitalisme neoliberal berkedok komodifikasi tanah harus dihentikan.
Komitmen Capres
Pemilihan presiden pada 14 Februari 2024 nanti harus menjadi parameter kita untuk memilih capres dan cawapres yang memiliki komitmen mengenai masalah agraria dan menjalankan reforma agraria. Menurut saya, kita bisa melihat komitmen dan sikap serius mereka dari debat yang nanti akan dilangsungkan. Debat itu memberikan kita parameter sejauh mana capres berani berpikir soal masalah agraria dan menjalankan reforma agraria.
Reforma agraria bukan soal membagi-bagikan sertifikat tanah kepada petani dan masyarakat di perdesaan. Kebijakan seperti itu justru tidak menciptakan keadilan agraria bagi para buruh tani dan masyarakat yang tidak memiliki akses tanah dan ruang hidup. Sejatinya, mendorong agenda reforma agraria, sebagaimana yang kerap disuarakan oleh Gunawan Wiradi, adalah mendistribusikan dan membagi-bagikan tanah kepada masyarakat yang tidak punya tanah.
Capres dan cawapes harus memiliki komitmen pada persoalan agraria dan mendorong agar reforma agraria betul-betul dijalankan. Tentunya komitmen ini diharapkan bukan sekadar lip service, melainkan janji serius demi memperbaiki kehidupan masyarakat di perdesaan yang tidak punya tanah.
Editor: Prihandini N