Bahaya Tren Fast Fashion dan Validasi di Media Sosial

Giofanny Sasmita

3 min read

Kita tak bisa menutup mata dari fakta bahwa media sosial punya andil dalam glamorisasi tren fast fashion. Tanpa disadari, sebagai pengguna media sosial kita mungkin termasuk orang yang mengikuti tren tersebut. Kita terbawa arus fast fashion yang sebenarnya berbahaya bagi sesama manusia juga lingkungan.

Hubungan fast fashion dan validasi di media sosial bisa dilihat dari teori Abraham Maslow. Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan dasar fisiologis, salah satunya adalah pakaian. Pada tingkat keempat, manusia membutuhkan penghargaan atau pengakuan dari diri sendiri dan sekitar. Media sosial menunjang kebutuhan tersebut. Buktinya, kita banyak menemukan manusia yang pamer brand fast fashion terkenal demi mengekspresikan diri, menunjukkan status sosial, dan tidak mau terlihat ketinggalan zaman di media sosial.

Memang betul pakaian menjadi kebutuhan dasar dan merupakan barang yang paling banyak dan sering dibeli. Namun, lama-kelamaan fungsi pakaian berkembang menjadi alat aktualisasi diri. Hobi belanja, akses toko online yang semakin mudah, dan pilihan mode yang semakin beragam menjadi beberapa faktor penyebab hal ini terjadi.

Sudahkah Kita Menyadari Bahaya Fast Fashion?

Memang sah-sah saja ikut tren fast fashion selama kita mampu beli, tetapi apa kita sudah sadar dan bijak mengikuti tren tersebut? Atau kita hanya sekadar ikut-ikutan tanpa tahu bahwa selama ini kita turut melanggengkan praktik fast fashion?

Fast fashion adalah istilah untuk menggambarkan industri mode yang memproduksi secara massal dengan menekan biaya produksi demi meraup omset sebanyak mungkin. Biasanya industri mode memproduksi tren terbaru sekitar 6-8 minggu sekali.

Dampak mematikan fast fashion mencakup aspek lingkungan dan sosial. Menurut Global Labor Justice, ada banyak merek fast fashion yang dalam proses produksinya mengeksploitasi buruh dengan membayar rendah. Mereka menggunakan buruh dari negara berpendapatan rendah seperti Sri Lanka, India, Indonesia, Bangladesh, Kamboja, dsb. Hal ini untuk menekan biaya produksi sehingga harga jual pakaian lebih murah.

Kualitas hidup buruh sangat memprihatinkan. Banyak buruh perempuan mengalami pelecehan, para pekerja harus lembur setiap harinya. Investigasi The Guardian yang disponsori oleh UNICEF juga menunjukkan bahwa industri fast fashion mengeksploitasi sekitar 170 juta anak untuk dijadikan buruh demi memuaskan permintaan konsumen di Eropa, Amerika Serikat, dan lainnya.

Itu baru dampak sosialnya. Belum lagi dampak lingkungan. Dilansir dari United Nations, industri fast fashion bertanggung jawab sekitar 8-10% emisi gas rumah kaca. Di tengah banyaknya perjanjian internasional untuk menghadapi perubahan iklim, industri garmen dan tekstil masih menjadi penghasil polusi terbesar kedua di bumi setelah industri minyak.

Baca juga:

Untuk menekan biaya produksi, berbagai macam merek fast fashion menggunakan bahan poliester dari plastik dan minyak yang membutuhkan sekitar 342 juta barel setiap tahunnya. Dana Thomas dalam bukunya yang berjudul Fashionopolis, The Price of Fast Fashion and The Future of Clothes menulis bahwa industri mode juga bertanggung jawab atas 20% polusi air setiap tahunnya, sebab satu kaus membutuhkan sekitar 2.700 liter air atau sebanding dengan 5.400 botol, dan satu celana jins membutuhkan 10.000 liter air atau 20.000 botol. Semua dihitung dari ukuran 1 botol sama dengan 500 ml air.

Ada berapa banyak orang yang sadar dan bersimpati terhadap isu lingkungan? Segala yang melekat di tubuh berpotensi untuk mencemari lingkungan ketika tidak digunakan dengan bijak. Kita sebagai manusia semestinya bisa berpikir, bersikap, dan bertindak berdasarkan kebijaksanaan dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, tetapi jangan sampai melupakan kepuasan diri.

Di sini saya ingin memberi penekanan kepada mereka yang berganti gaya hanya demi validasi orang lain dan enggan memakai pakaian yang ketinggalan tren dengan alasan sudah tidak layak pakai: tindakan kalian sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan keberlangsungan hidup manusia. Betul, dampaknya memang sebesar itu. Tidak berlebihan sama sekali jika saya mengatakan keberlangsungan hidup manusia di muka bumi ini bergantung pada bagaimana kita hidup setiap harinya.

Ego Manusia Menyebabkan Krisis

Rasanya kepedulian kita sebagai manusia masih sangat kurang sekali terhadap isu lingkungan, padahal sudah sangat jelas di depan mata dampak yang sudah atau bisa terjadi. Ego manusia menyebabkan krisis terjadi.

Meskipun industri pakaian bukan satu-satunya penyebab kiris, perilaku konsumtif demi menuruti gaya dan sebagai ajang pamer tidak akan ada habisnya. Selain itu, kecanduan mengikuti tren fashion juga mengakibatkan sakit mental dan fisik. Banyak orang ingin terlihat keren dan menarik dengan berbagai macam model dan rupa bentuk pakaian. Namun, tidak bisakah mereka berpikir bahwa untuk menjadi manusia yang keren dan menarik tidak melulu harus bergonta-ganti tren setiap hari?

Baca juga:

Pikiran saya mengatakan, sebagai manusia yang hidup di era krisis seperti saat ini, kita sekurang-kurangnya perlu belajar menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama dan lingkungan sehingga bisa hidup tanpa bayangan kecemasan akan nasib. Rasa peduli itu bisa dilatih dengan menguatkan pikiran dan indra terhadap sekitar. Kebutuhan dan hasrat kita sebagai manusia begitu beragam. Bagaimana cara kita mengelola itu semua sangatlah penting.

Keluar dari lingkaran setan krisis lingkungan harus dimulai dari diri sendiri. Menurut saya, percuma saja negara berunding dan mencapai kesepakatan untuk mengatasi krisis bila sumber daya masyarakatnya tidak turut berpartisipasi.

Membeli pakaian berkualitas tinggi sehingga bisa digunakan dalam jangka waktu yang lama, membeli pakaian lebih sedikit jika tidak terlalu dibutuhkan, menyewa pakaian untuk acara-acara tertentu, serta menggunakan ulang pakaian lama merupakan beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi candu fast fashion.

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan tren thrifting atau membeli pakaian bekas dengan harga yang jauh lebih murah. Thrift bisa menjadi solusi juga. Selama pakaian bekas layak dipakai, maka pakaian tersebut masih memiliki daya tarik dan daya jual. Dari pakaian bekas kita bisa menciptakan tren baru.

Mengubah pola bisnis dan perdagangan mode memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, sebagai konsumen, kita memiliki andil besar dalam gerakan pengubahan. Bisnis pastinya bergantung pada pembeli, dan pembeli memiliki kekuatan serta pilihan untuk memulai.

Mengutip dari Dana Thomas: “Kita akan melihat pakaian kita tidak hanya sebagai sesuatu yang kita pakai, tetapi juga sebagai keseluruhan ekosistem itu.”

Sudah seharusnya kita mulai berpikir kritis dan tidak lagi impulsif saat belanja. Kita perlu mempertimbangkan dan merefleksikan bagaimana barang diproduksi dan apa yang terjadi di dalam prosesnya. Itu semua menjadi langkah untuk memperlihatkan tanda kasih sayang kita terhadap bumi dan sesama manusia.

 

Editor: Prihandini N

Giofanny Sasmita

One Reply to “Bahaya Tren Fast Fashion dan Validasi di Media Sosial”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email