Diskon Bukan Alternatif Penghematan Biaya

Angga Pratama

3 min read

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terkadang seseorang punya kecenderungan memilih komoditi yang harganya relatif ekonomis. Harga ekonomis menjadi salah satu daya tarik bagi konsumen. Selain itu, konsumen juga memilih produk berdasarkan kualitas. Produsen menawarkan berbagai macam kualitas sehingga setiap kelompok masyarakat dapat menyesuaikan apa yang mereka butuhkan dengan daya beli mereka.

Untuk meningkatkan penjualan suatu komoditi, tidak jarang produsen atau ritel melakukan pemotongan harga berdasarkan persentase tertentu untuk menarik minat pelanggan. Harga biasa suatu komoditi menjadi lebih rendah ketika mendapatkan diskon. Konsumen yang memiliki kecenderungan mencari komoditi dengan harga murah akan senantiasa berburu diskon.

Tidak jarang produsen atau ritel akan memberikan diskon berkisar dari 10-50% atas suatu komoditi. Namun, perlu diperhatikan bahwa diskon cenderung membuat seseorang membeli komoditi secara berlebih hingga melakukan penimbunan. Diskon dari produsen atau ritel biasanya hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan sesuai dengan ketentuan yang sudah mereka buat. Hal ini akan menstimulus seseorang untuk segera mendapatkan komiditi yang mereka inginkan.

Rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan Rp1.260.000 per bulan untuk konsumsi. Tidak menutup kemungkinan, seseorang yang sangat konsumtif akan melampaui nilai rata-rata tersebut. Selain itu, budget yang sudah mereka tentukan untuk konsumsi bulanan bisa terganggu akibat pengeluaran yang cukup besar pada satu waktu. Akibatnya, kebutuhan dasar lainnya yang mendukung aktivitas akan terganggu. Tidak jarang, akibat perilaku konsumerisme, seseorang akan terlibat kredit agar ia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

Setiap keluarga atau individu memiliki batas minimal konsumsi per bulan. Batas ini berdasarkan tingkat perekonomian. Tidak jarang kebutuhan keluarga atau individu di suatu daerah akan sangat berbeda dengan daerah lainnya. Semakin tinggi kebutuhan dasar keluarga atau individu, maka kita akan menemukan berbagai macam tingkat diskon yang diberikan oleh produsen atau ritel.

Komoditi yang bersifat komplementer dan substitusi cenderung meningkatkan konsumsi dasar. Hal ini terjadi akibat adanya ketidakcocokan harga atau ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Akibatnya, orang tersebut memilih untuk mendapatkan produk substitusi secara berlebih agar terpuaskan. Produk substitusi ini biasanya memiliki harga yang berbeda dengan produk utama dan tidak jarang produk tersebut memiliki kualitas yang sama. Hasilnya, barang substitusi ini pada kondisi tertentu bertransformasi menjadi barang bebas yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Ketidakpuasan dan Perilaku Konsumtif

Tindakan konsumerisme terkadang dibayangi oleh ketidakpuasan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan produk yang mereka inginkan. Inilah yang melatarbelakangi produk substitusi banyak diminati oleh individu hingga terjadi penimbunan. Namun, apakah ketidakpuasan ini terus terjadi selama produk banyak beredar di pasar? Jawabannya: iya. Produk yang melimpah dan tingkat diskon yang semakin tinggi dapat menimbulkan ketidakpuasan apabila mereka melewatkan suatu produk yang sedang diskon.

Kekecewaan ini tidak hanya sebatas pada periode diskon yang terlewat, tetapi juga pada perbedaan biaya yang dianggarkan untuk konsumsi. Ini menjadi salah satu permasalahan besar masyarakat modern.

Baca juga:

Perilaku konsumsi agresif dapat menimbulkan masalah bagi kondisi keuangan seseorang. Tidak jarang, ketika kita mendapatkan tawaran diskon di suatu ritel, kita akan dihadapkan dengan syarat minimal belanja agar mendapatkan diskon tersebut. Sekilas memang terlihat menguntungkan untuk dilakukan, tetapi kita perlu menyadari adanya bahaya laten dari diskon dan ketentuannya.

Seseorang akan terus dipacu untuk melakukan konsumsi selama periode diskon tersebut belum selesai. Periode diskon yang singkat semakin mempengaruhi seseorang untuk melakukan konsumsi berlebih dan melibatkan dirinya pada siklus keuangan yang tidak konsisten.

Kebutuhan dasar yang tadinya berfungsi murni sebagai “kebutuhan”, seketika berubah menjadi “keinginan” yang tidak dapat dikendalikan. Ini terjadi akibat seseorang tidak lagi mempertimbangkan manfaat produk, tetapi hanya memperhatikan tingkat harga yang ditawarkan oleh produsen atau ritel.

Psikologi Diskon yang Destruktif

“Diskon berlaku untuk minimal pembelian Rp 250.000”, “diskon untuk pembelian pada periode 10 s/d 15 Januari”, “beli 5 gratis 1”, “kupon belanja senilai Rp100.000 untuk minimal pembelian Rp. 500.000”

Beberapa kalimat tersebut sering kita jumpai di pusat perbelanjaan. Tidak jarang banyak orang akan berusaha untuk memenuhi ketentuan yang berlaku agar mendapatkan diskon dan keuntungan lainnya. Pertimbangan yang dilakukan biasanya hanya berdasarkan kepentingan harga. Proses berpikir seseorang sengaja dikacaukan dengan metode reward yang akan diberikan ketika dapat memenuhi ketentuan yang berlaku. Akibatnya, seseorang jadi tidak dapat berpikir dengan baik untuk mempertimbangkan manfaat yang akan diperoleh dari membeli suatu barang.

Dorongan ini akhirnya merusak cara seseorang dalam memandang kebutuhan dasar yang harus mereka penuhi untuk kelangsungan hidupnya. Kondisi psikologis yang sudah terbentuk dari sugesti diskon akan membawa seseorang pada siklus perilaku konsumtif yang berulang.

Seseorang yang sudah terjebak pada sugesti diskon tersebut hanya akan mementingkan keuntungan yang mereka peroleh dari segi harga dan tidak jarang mengabaikan manfaat barang yang mereka beli dalam jumlah besar. Barang dalam jumlah besar tersebut akhirnya tertimbun dan tidak dapat memberikan dampak efektif pada standar konsumsi yang dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan dan siklus hidup manusia.

Misalnya, ketika kita membeli baju kemeja dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan diskon. Untuk waktu tertentu, baju tersebut akan digunakan sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Sekilas baju kemeja dalam jumlah yang banyak tersebut dapat dirasakan secara efektif manfaatnya. Namun, seiring dengan perkembangan fashion, bentuk tubuh, usia dan budaya, seseorang akan cenderung mengalami perubahan cara berpakaian. Hal ini tentu membuat jumlah baju kemeja yang sudah dibeli menjadi tidak efektif lagi dan hanya tersimpan sia-sia. Perilaku ini juga berlaku untuk jenis komoditi lainnya.

Segala sesuatu yang dibeli secara berlebihan hanya untuk mengejar ketentuan diskon dapat menimbulkan efek buruk dari segi psikologis dan efektifitasnya. Apabila diskon tidak disikapi dengan baik, ia akan membawa seseorang pada siklus konsumerisme yang dapat menyebabkan permasalah sosial lainnya.

Referensi:

Fromm, Erich. 2019. Mempunyai atau Mengada?. Yogyakarta: IRCiSoD;

Marx, Karl. 1991. Kapital III. Yogyakarta: Hasta Mitra – Ultimus – Institute for Global Justice;

Marx, Karl. 1992. Capital II. Yogyakarta: Hasta Mitra – Penguin Classics and New Left Review;

Smith, Adam. 2005. The Wealth of Nations. Penguin Classics: Pennsylvania;

Dihni, Vika Azkiya. 2022. “Berapa Rata-rata Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Tiap Bulan?”. Katadata.

Angga Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email