“Hari ini kita mau pergi kemana?”
“Terserah.”
“Mau makan, belanja, atau jalan-jalan?”
“Terserah, aku ngikut aja.”
Kita mungkin sudah tidak asing mendengar percakapan semacam itu atau, jangan-jangan, kita juga sering melakukannya? Sekilas, menjawab pertanyaan dengan terserah terkesan sepele. Tapi, pernahkah kalian merasa penasaran mengapa teman, pacar, atau bahkan kakak dan adik kita sendiri sering melakukan hal ini?
Awalnya, saya tidak tertarik memikirkan hal ini sampai akhirnya salah satu dosen pengampu mata kuliah yang saya ambil bercerita tentang mahasiswa-mahasiswa yang ketika ditanyai olehnya hanya menjawab terserah. Beliau menjelaskan bahwa ketika para mahasiswa itu dihadapkan pada pilihan-pilihan dan harus memilih, mereka malah menjawab terserah.
Baca juga:
Di balik fenomena menjawab terserah ini, sangat mungkin ada penyebab yang tidak kita sadari sebelumnya. Yang awalnya sekadar ceplas-ceplos karena terbiasa menjawab seperti itu atau memang hanya jawaban formalitas saja yang harapannya bisa diterima oleh setiap orang sehingga pemberi jawaban lantas bisa bersikap masa bodoh atau tidak mau terikat apa pun. Yang jelas, ada banyak sekali faktor yang memengaruhi orang-orang untuk menggunakan kata terserah dalam kehidupan sehari-hari.
Saya menduga, salah satu faktor itu adalah pola asuh atau parenting yang kita dapatkan dan yang orangtua kita berikan dalam mendidik kita.
Pola Asuh
Semakin ke sini pola pikir masyarakat menjadi lebih terbuka terhadap bagaimana pola asuh yang suportif terhadap perkembangan anak dan yang tidak. Kemudian, tren terkini juga membuat orang lebih kritis terhadap dampak yang dihasilkan dari pola asuh orangtua terhadap proses perkembangan anak-anak nantinya.
Pola asuh berkaitan dengan pembentukan kepribadian. Tentu, akan beda hasilnya antara anak yang didik dengan pola asuh demokratis dan pola asuh otoriter.
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memberi ruang dan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan dirinya sehingga tidak perlu selalu bergantung pada peran orangtua. Pola asuh ini menaruh percaya pada anak bahwa ia dapat memilih jalan terbaik dalam proses pengembangan diri. Anak menjadi terlatih untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Pada saat yang sama, pola asuh ini membuat orangtua senantiasa berusaha untuk mendengarkan pendapat anak-anaknya dan saling berbagi pandangan tentang masa depan si anak.
Pola asuh demokratis tidak menonjolkan sisi pengambilan keputusan sepihak oleh orangtua. Anak juga tidak bisa semena-mena memilih apa yang dianggapnya baik. Keduanya mesti berkolaborasi dengan mempertimbangkan kepentingan anak untuk tujuan yang baik baginya.
Sementara itu, pada pola asuh otoriter, orangtua cenderung mengambil segala keputusan secara sepihak tanpa adanya diskusi dengan anak. Anak pun harus patuh terhadap keputusan tersebut. Pola asuh otoriter ini memberi orangtua kontrol yang kuat terhadap anak. Anak tidak memiliki kebebasan memilih dan berpendapat. Pola asuh ini cenderung diskriminatif dalam menyikapi pengambilan keputusan yang melibatkan orangtua dan anak. Selanjutnya, anak mencontoh pola asuh yang sama seperti yang ia dapatkan sehingga pola asuh otoriter ini berlangsung turun-temurun.
Pola asuh otoriter membuat kemampuan anak dalam hal mengambil sikap atau keputusan tidak berkembang secara maksimal. Anak yang selalu diarahkan dan menelan mentah-mentah apa yang sudah disiapkan oleh orangtua sebelum bertanya apa yang menjadi kebutuhan utama akan kehilangan kemandirian dalam memiliki keinginan dan memilih. Tidak menutup kemungkinan, pada jangka panjang, si anak akan menjadi malas untuk memilih karena pendapat dan keinginannya selalu tidak didengarkan dan dihargai.
Baca juga:
Saya kembali teringat perkataan dosen saya dalam sebuah sesi perkuliahan studi kasus kelompok. Beliau mengatakan bahwa manusia itu tidak ingin dipaksa ataupun ditekan karena hal ini dapat melukai harga dirinya. Nah, apakah Anda memiliki pandangan yang sama terkait hal ini?
Editor: Emma Amelia