Fenomena anak-anak remaja Citayam yang mengokupasi kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, menjadi lokasi peragaan busana banyak mendapat perhatian masyarakat pengguna media sosial. Mereka hadir dengan pakaian merek lokal yang kebanyakan didapatkan dari pasar loak. Berdandan eksentrik tanpa make up, mereka berjalan bergantian bak peragawati atau peragawan. Sejatinya anak-anak remaja suburban ini tidak memberi label atas aktivitas peragaan busana jalanan ini. Hingga pada akhirnya, secara spontan media arus utama menyebut fenomena aktivitas remaja Citayam ini sebagai Citayam Fashion Week (CFW). Dari aktivitas peragaan busana jalanan ini, perlahan nama Jeje, Bonge, dan Roy kemudian terkenal karena dianggap sebagai influencer utama tren Citayam Fashion Week.
Adapun Citayam merupakan wilayah yang letaknya di pinggiran Kota Depok, Jawa Barat. Seperti umumnya kawasan suburban, masyarakat Citayam bekerja di perkotaan atau wilayah pusat. Harga makanan yang terjangkau dan biaya tempat tinggal yang relatif murah menjadi salah satu alasan utama kawasan suburban seperti Citayam atau wilayah pinggiran di Kota Depok dan Bogor semakin ramai dihuni oleh penduduk khususnya para pendatang yang bekerja di Jakarta dalam beberapa dekade terakhir.
Intensitas penduduk pinggiran Kota Depok untuk beraktivitas ke Jakarta pun relatif mudah dijangkau. Selain waktu tempuhnya yang hanya memakan waktu satu jam, ongkos menggunakan transportasi kereta api dari Stasiun Citayem ke Stasiun Dukuh Atas hanya tiga ribu rupiah.
Filsuf eksistensialis Jerman, Martin Heidegger, menulis buku berjudul Being and Time. Pada salah satu bab ia menjelaskan soal peran teknologi sebagai sebuah transmisi yang mampu menjadi alat penyampaian informasi dengan sumber daya seadanya. Meksipun secara keseluruhan Heidegger lebih banyak melakukan kritik terhadap teknologi, pada satu titik Heidegger menyadari teknologi akan mempermudah segala sesuatu bila dilakukan secara kolektif, baik komunikasi maupun informasi yang pada akhirnya mampu melampaui ruang dan waktu.
Ketakutan utama Heidegger soal teknologi adalah media pada akhirnya hanya akan menjadi obroloan kosong yang tidak memberi manfaat untuk masyarakat karena potensinya menghilangkan makna otentik.
Namun, Heidegger tidak hidup pada era Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, atau TikTtok yang dapat diakses secara mudah sehingga anak-anak remaja suburban kelas menengah bawah dari wilayah pinggiran Kota Depok dan Bogor ini bisa dengan mudah mengeskplorasi kehidupan mode di pelbagai belahan dunia secara gratis melalui aplikasi di gawai mereka. Baik itu aktivitas peragaan busana kelas atas dengan merek terkenal pada Paris Fashion Show di Prancis, atau Milan Fashion Show di Italia, atau yang paling sahih mungkin peragaan busana di sepanjang Jalan Harajuku, Shibuya, Jepang. Bedanya tren Harajuku banyak dipengaruhi oleh musik dan influencer tekenal di tahun 1980-an di Jepang, sementara Citayam Fashion Week lebih otentik karena berangkat dari bawah melalui anak-anak remaja suburban perkotaan.
Ruang Publik dan Ide Kreatif
Kehadiran Citayam Fashion Week menghadirkan dua pertanyaan penting bagi saya: pertama, apakah tren Citayam Fashion Week termasuk gerakan sosial berbasis seni untuk menggugat kemapanan dunia mode? Kedua, bagaimana cara agar Citayam Fashion Week dapat terus bertahan di tengah mindset bahwa fesyen hanya dapat diakses kalangan kelas atas dan identik dengan merek-merek busana terkenal?
Tentu sangat terburu-buru menjawab dua pertanyaan ini sekarang karena jawabannya membutuhkan observasi panjang. Mulai dari memaknai kerangka sosiologis kehidupan remaja masyarakat suburban, tren mode pernah muncul di banyak wilayah sebagai rujukan, hingga sejarah panjang kebertahanan industri fesyen.
Akan tetapi, satu hal penting yang bisa kita tangkap dari fenomena Citayam Fashion Week adalah informasi keberadaan ruang kreativitas anak remaja suburban di pinggiran kota yang sangat dibutuhkan untuk mengaktualisasi diri. Selain itu juga rasa percaya diri mereka untuk menampilkan diri secara kolektif di kawasan elite Jakarta.
Mungkin jika mereka tidak hadir di Dukuh Atas atau kawasan elite lainnya di Jakarta, keberadaan anak remaja suburban ini tidak akan pernah termonitor karena tidak tersedianya ruang publik untuk mengekspresikan diri. Apalagi dunia mode yang jamak kita pahami adalah aktivitas yang hanya bisa diakses segelintir orang dari kelas atas. Dampaknya amat sulit bagi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk bisa terlibat langsung atau minimal mengikuti tren dunia fesyen.
Selain harga yang ditawarkan untuk busana bermerek sangat mahal, industri mode sejak awal telah membangun garis demarkasi produsen dan konsumen. Akibatnya tidak semua masyarakat merasa dapat mengaksesnya. Akan tetapi, lewat Citayam Fashion Week, anak remaja suburban Citayam menawarkan sebuah ide kreatif yang membedakan mereka dengan yang lainnya.
Baca juga:
Sebagai sebuah subkultur, secara tidak langsung fenomena Citayam Fashion Week adalah cara masyarakat kelas menengah bawah menciptakan ruang mereka sendiri. Mereka menggugat kemapanan bahwa fesyen bukan hanya untuk kelas atas dan orang-orang yang dianggap good looking dari kacamata mainstream, melainkan untuk semua orang tanpa kelas dan tanpa batasan.
Kapitalisasi Elite
Di tengah gempuran tren mode yang sangat kapitalistik, anak-anak remaja ini mulai “diusik” oleh oknum politisi, pemilik modal, hingga artis yang secara langsung ingin mengkapitalisasi Citayam Fashion Week untuk pelbagai kepentingan.
Misalnya anak remaja bernama Roy yang secara terbuka menolak tawaran beasiswa Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, untuk belajar tentang pariwisata agar bisa meningkatkan potensi dan menyuarakan pariwisata di Indonesia. Selain itu, semakin banyaknya publik figure yang mulai tampil eksis di Citayam Fashion Week dengan busana brand terkenal. Yang terbaru, artis Baim Wong melalui perusahaan miliknya, PT Tiger Wong Entertainment, secara sepihak mendaftarkan merek Citayam Fashion Week ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kemenhumkam RI.
Tindakan tersebut jelas telah merusak nilai otentik dari Citayam Fashion Week yang sejak awal berusaha keluar dari paradigma arus utama soal fesyen. Karena sejatinya, yang paling dibutuhkan remaja-remaja suburban ini adalah ruang berekspresi dengan cara dan standar mereka sendiri.
Mereka eksis bukan untuk dikapitalisasi dengan tawaran beasiswa demi kepentingan meningkatkan elektabilitas politik oknum politisi, bukan untuk mendapatkan pembelajaran cara berpakaian yang baik dari para publik figur yang biasa melenggak-lenggok di catwalk panggung fashion show, juga bukan untuk menyalurkan ide kreatif yang kemudian diklaim oleh artis yang memiliki akses terhadap modal dan pengetahuan terhadap kekayaan intelektual.
Disinilah tantangan Jeje, Roy, Bonge, dan kawan-kawan yang saat ini mulai mendapat tekanan karena mereka mulai dianggap sebagai sekumpulan remaja tanggung perusak tatanan struktur sosial dunia mode. Bahkan, aktivitas mereka Citayam Fashion Week mulai mendapat sorotan negatif karena banyak meninggalkan sampah di pinggir jalan. Bukannya untuk membenarkan soal sampah yang berserakan tersebut, akan tetapi masyarakat juga harus tahu bahwa industri fashion yang selama ini dinikmati oleh masyarakat kelas atas adalah penyumbang limbah kedua terbesar di dunia. Artinya setiap aktivitas yang melibatkan orang banyak layaknya Citayam Fashion Week selalu meninggalkan residu.
Sosiolog Jerman, Jurgen Habermas (1962), menjelaskan konsep public sphere (ruang publik) yang ideal haruslah netral dan tidak diskriminatif bagi setiap warga negara. Pun ruang publik yang ideal harus jauh dari kapitalisasi modal agar tidak dikendalikan oleh segelitir elite untuk pelbagai kepentingan bisnis pribadi atau kepentingan politik.
Di sini dibutuhkan peran pemerintah yang harus bisa menerjemahkan aktivitas kreatif tanpa meninggalkan originalitas idenya. Poinnya tentu saja adalah penyediaan ruang publik bagi anak-anak suburban dengan pengawasan norma yang berlaku di Indonesia. Misalnya pengawasan terhadap pelarangan aktivitas seks bebas atau penggunaan narkoba seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat oleh gerakan subkultur Hippie yang terkenal pada tahun 1960-an.
Citayam berasal dari kata ci yang berarti sungai dan ayam adalah sejenis hewan unggas. Ada pun sifat sungai, ia terus mengalir meski banyak rintangan yang menahan alirannya. Ia akan terus mencari jalan keluar sekecil apa pun. Serta sifat ayam, hewan itu penuh percaya diri dan tidak pernah menundukkan kepala. Seperti nama Citayam, saya percaya anak remaja suburban ini terus berkreasi untuk menemukan jati diri mereka sendiri dengan tidak pernah menundukkan kepala kepada siapa pun, baik terhadap pemilik modal atau elite politik.
Editor: Prihandini N