The Tipping Point adalah buku yang ditulis seorang sarjana sejarah University of Toronto yang sejak 1996, selepas dua belas tahun menyelami dunia kewartawanan di The Washington Post, menjadi salah satu penulis tetap di majalah The New Yorker: Malcolm Gladwell. Dari 2002, penerbitan pertama buku ini dalam terjemahan bahasa Indonesia, sampai Juni 2021 telah dicetak lima belas kali, dan jika terus menemukan pembacanya, 2022 ini akan terbit cetakan yang keenambelasnya. Sebuah pencapaian yang memukau untuk sebuah buku terjemahan.
Malcolm dalam bukunya ini mengungkap bagaimana cara hal-hal kecil sederhana bisa memicu epidemi gagasan, fesyen, atau tren produk baru tertentu, atau sebaliknya bagaimana sebuah epidemi (bukan dalam arti virus, penyakit) sesungguhnya dipicu momentum atau kerja kecil menurut pandangan umum. Untuk membuktikan gagasanya itu, Malcolm melakukan rihlah intelektual ke berbagai tempat dan bertemu banyak orang yang pernah menerapkan gagasannya itu: dari pengusaha, dokter, hingga polisi.
Georgia Sadler, seorang petugas kesehatan, memiliki impian agar orang-orang kulit hitam di San Diego memiliki pengetahuan dan kesadaran akan diabetes dan kanker payudara. Alhasil, ia melakukan seminar di gereja-gereja. Meskipun yang mendatangi gereja untuk kebaktian ratusan orang, hanya dua puluhan orang yang mengikuti seminar itu. Kebanyakan dari mereka tidak berminat. Impian Georgia jauh dari kata terwujud, sementara dana tersisa tipis. Akan tetapi, ia tidak mengalah.
Selanjutnya, Georgia menyadari mengapa orang-orang San Diego tidak mau mengikuti kegiatannya itu. Menurut pengamatannya, mereka menjadi letih setelah kebaktian dan ingin segera pulang, lalu rehat, di tambah lagi mereka “orang-orang sibuk”. Artinya, mereka punya hal lain yang perlu dikerjakan. Dari ini, Georgia membuat model pendekatan baru yang memungkinkan mereka duduk tenang dan mendengar berbagai hal tentang bahaya diabetes dan kanker payudara.
Yang dilakukan Georgia adalah memanggil para penata rias rambut salon-salon kecantikan. Mereka dilatih untuk menyampaikan segenap informasi diabetes dan kanker payudara melalui cerita-cerita yang berkesan. Ia memilih salon sebagai tempat kerjanya, sebab, pertama, para penata rias rambut memiliki kemampuan komunikasi baik dengan pelanggannya. Kedua, perempuan yang datang cenderung memiliki keakraban dengan penata rias di salon sehingga informasi yang disampaikan lewat cerita mudah diterima.
Benar, tak lama kemudian ketika diadakan tes diabetes dan mamografi untuk mengetahui seberapa berhasil pendekatan barunya itu. Ada banyak perempuan San Diego datang dan mau mengikuti tes. (hlm. 295-298) Dalam hal ini Georgia telah menerapkan tiga unsur yang menjadikan sesuatu mudah menular dari satu orang ke satu orang hingga mengepidemi. Malcolm mengistilahkan unsur yang pertama Hukum tentang yang Sedikit (Law of The Few), unsur kedua Faktor Kelekatan (Stickiness), dan unsur ketiga Kekuatan Konteks (Power of Context).
Law of The Few berbunyi bahwa agar membuat tren fesyen dengan produk tertentu bisa tiba-tiba populer di kalangan anak remaja di luar sana, misalnya, seseorang hanya perlu memfokuskan pada sebagian kecil orang saja. Tapi sebagian kecil orang itu, bukan sembarang. Mereka merupakan personal yang menjadi rujukan atau mudah mempengaruhi orang lain. Seperti yang dilakukan Georgia, dia memilih para penata rias yang cenderung mudah menjalin emosi dengan orang lain dan memiliki kemampuan komunikasi baik.
Baca juga:
Stickiness berbunyi bahwa sesuatu yang akan diinjeksikan harus mudah diterima dan melekat di benak. Karena itu para penata rias dilatih menyampaikan informasi diabetes dan kanker payudara lewat cerita. Georgia tidak membuat mereka menyampaikannya seperti dalam kelas atau seminar, yang biasanya kering dan susah melekat. Selanjutnya, Power of Context berbunyi bahwa sesuatu dapat menyebar luas karena berada pada kondisi lingkungan (sosial) yang tepat. Bisa dibayangkan jika Georgia tetap bersikukuh ingin melakukan kampanyenya di Gereja, di suatu kondisi yang sangat tidak memungkinkan, tentu impiannya itu akan nihil.
Hal lain selain tiga unsur itu, menurut Malcolm, yang juga penting adalah “mereka yang berhasil menciptakan epidemi sosial tidak hanya mengerjakan yang menurut mereka benar. Mereka sengaja menguji intuisi-intuisi mereka.” (hlm. 301) Jadi, seseorang harus sanggup untuk selalu mau mengevaluasi dan mencari-cari jalan keluar lainnya, jika terbukti pendekatan tertentu tidak efektif atau punya pengaruh tidak seberapa.
Uraian Malcolm dalam buku ini sangat enak dibaca. Kalimat-kalimatnya efektif dan presisi, meskipun kurang estetis. Mungkin Malcolm memang tidak mau disibukkan soal kekalimatan—yang mengambil proporsi banyak di benak pengarang-pengarang fiksi. Menyusun kata per kata membentuk kalimat seefektif mungkin merupakan target utamanya, kendati harus meninggalkan estetika. Karenanya, membaca buku ini yang sarat dengan teori-teori psikologi dan sosiologi dari halaman ke halamannya, pembaca tidak akan perlu mengerutkan dahi atau menggaruk-garuk kepala.
Secara umum selain memaparkan bagaimana hulu hilir bagaimana suatu epidemi sosial bisa terjadi, Malcolm hendak menyampaikan melalui buku ini bahwa “kita (manusia) sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar kita, oleh konteks langsung kita, dan oleh kepribadian-kepribadian di sekeliling kita.” (hlm. 302) Malcolm menampik, walau tidak sepenuhnya, teori impuls kepribadian yang sifatnya internal, sebagaimana dipaparkan dua arus besar psikologi: Psikoanalisis dan Humanistik. Dengan ini Malcolm mungkin dapat digolongkan sebagai seorang pengikut Behaviorisme.
Tapi, terlepas dari gagasan kepribadian Malcolm itu, buku ini sangat urgen dibaca bagi mereka para pengusaha, aktivis, atau siapa pun yang ingin memulai sebuah popularitas produk, epidemi gagasan, atau tren yang menjangkiti mayoritas orang.