Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Fast Beauty: Racun Perlombaan Produk Kecantikan

Nabilla Anasty Fahzaria

2 min read

A smile is the best makeup any girl can wear

Begitulah kira-kira kutipan Marilyn Monroe yang sepertinya sudah tidak berlaku lagi saat ini. Tersenyum saja tidak cukup untuk membuat para perempuan terlihat cantik. Produk kosmetik dan kesehatan kulit bermain peran mendongkrak kepercayaan diri mereka. Tren kecantikan masa kini berputar begitu cepat. Para perempuan tak jarang kewalahan memilih produk kecantikan dengan berbagai varian. Akhirnya, timbul satu pertanyaan: apakah kemunculan produk-produk tersebut benar-benar dibutuhkan?

Sebagai penggemar kosmetik dan skincare, akhir-akhir ini saya dibuat resah dengan kebangkitan industri kecantikan lokal yang gila-gilaan. Rasanya, tiap hari selalu ada saja iklan, perkenalan brand kecantikan baru, atau peluncuran varian produk baru yang berseliweran di Instagram. Awal mulanya, saya luar biasa gembira karena akhirnya banyak brand kecantikan lokal mulai meningkatkan kualitas dan berinovasi. Namun, kemunculan produk-produk yang begitu cepat rasanya semakin sulit ditoleransi.

Dalam satu bulan saja, sebuah brand kecantikan ternama bisa meluncurkan varian produk baru. Saya sering menjumpai komentar-komentar netizen mengeluh kira-kira seperti ini, “Ya ampun, brand X ini sudah meluncurkan produk baru lagi? Padahal produk sebelumnya belum sempat terbeli!”

Perlombaan Industri

Konsep fast beauty sendiri merujuk pada proses produksi produk yang sangat cepat dan dalam jumlah banyak. Biasanya, ketika sebuah brand mengeluarkan suatu varian produk baru, brand kompetitor juga akan mengeluarkan varian versinya sendiri. Mereka berlomba-lomba mengikuti tren. Dan begitulah seterusnya hingga timbul banyak varian produk dengan cepat di pasaran.

Konsep fast beauty yang terjadi dalam industri kecantikan lokal ini membuat para konsumen kebingungan. Apakah kemunculan produk yang tiada henti ini merupakan upaya perusahaan kecantikan memperluas pilihan-pilihan konsumen, atau hanya sebagai strategi pemasaran semata?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) di kuartal I-2020 melihat pertumbuhan produksi produk kecantikan dan kesahatan kulit termasuk kosmetik tumbuh 5,59%. Angka ini diproyeksikan akan terus naik dari tahun ke tahun. Pendapatan perusahaan kosmetik raksasa pun bisa mencapai miliaran per bulan dengan produksi massal yang jor-joran.

Baca juga:

Pendorong Fast Beauty

Kehadiran media sosial dan e-commerce memungkinkan sebuah brand kecantikan melakukan promosi gila-gilaan. Konsumen dibuat memilih dari begitu banyaknya pilihan. Jika tidak bisa mengendalikan diri, isi dompet bisa terkuras. Hal ini juga juga menimbulkan sifat konsumerisme ketimbang mengutamakan pemenuhan kebutuhan.

Dengan jaminan produk yang dikirim adalah produk asli dari toko resmi, e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia menjadi platform pilihan utama untuk berbelanja. Di luar toko resmi mereka, perusahaan-perusahaan kecantikan juga membuka jaringan reseller untuk memperlebar pasar. Beberapa platform digital yang menjual bermacam-macam produk kecantikan dari berbagai brand pun ikut menjadi besar, sebab mereka menawarkan produk yang beragam dalam sekali pembelian. Hal ini membuat jaringan penjualan produk kecantikan di Indonesia semakin luas. Sayangnya, fast beauty yang menimbulkan masalah pun tak bisa dihindari.

Racun Fast Beauty

Dalam promosi produk, sering kali perusahaan kecantikan melibatkan para beauty influencer di media sosial. Namun, selama ini beauty influencer hanya fokus menebar “racun” skincare dan kosmetik kepada konsumen agar membeli. Biasanya mereka mempromosikan kandungan-kandungan kimia yang bermanfaat dan klaim-klaim lainnya, serta tutorial pengaplikasian produk. Sayangnya, mereka masih mengabaikan racun lain yang dapat timbul dari penggunaan produk kecantikan tersebut.

Perusahaan dan beauty influencer lupa bahwa penggunaan produk kecantikan memiliki dampak bagi lingkungan. Produk kecantikan menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia. Kemasan produk yang sebagian besar menggunakan kemasan plastik dan kaca, membutuhkan penanganan lebih lanjut supaya lebih mudah terurai.

Sudah seharusnya perusahaan kecantikan memikirkan konsep green beauty yang tidak hanya fokus memberi dampak positif bagi para penggunanya, namun juga memikirkan upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga bumi.

Selain itu, belakangan ini ada banyak sekali perusahaan kecantikan yang menggaet artis Korea sebagai brand ambassador mereka. Meski beberapa penelitian menunjukkan bahwa peran artis Korea ini mampu mendobrak minat beli dan loyalitas konsumen, representasi mereka justru dapat membentuk standar kecantikan khusus. Artis Korea berkulit putih, berbeda dengan kulit orang Indonesia yang begitu beragam. Ini bisa menimbulkan pola pikir beracun dengan menilai bahwa standar cantik adalah kulit yang putih dan bersinar.

Jika hendak memaknai istilah fast beauty ini, tanyakan pada diri sendiri, apakah eye shadow pallete-mu yang berwarna-warni itu sudah sering dipakai? Apakah lipstik-lipstik yang jumlahnya lebih dari lima itu sudah dipakai setiap hari? Apakah skincare-mu cocok di kulit wajahmu? Apakah produk-produk kecantikanmu benar-benar memberikan dampak yang baik untuk wajahmu? Dan lagi, apakah kamu sudah menggunakan produk-produk itu hingga habis tak bersisa? Jika belum, sepertinya kita harus memaknai ulang kecantikan dan mulai berpikir ulang untuk memberikan yang terbaik bagi kesejahteraan isi dompet dan lingkungan.

 

Editor: Prihandini N

Nabilla Anasty Fahzaria
Nabilla Anasty Fahzaria Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email