Pejalan kreatif

Bagaimana Sebaiknya Kita Menyikapi Angka Inflasi?

Pringadi Abdi Surya

4 min read

Kebangkrutan Sri Lanka akibat inflasi memicu pembahasan keadaan ekonomi dalam negeri. Kewaspadaan yang diucapkan pemerintah karena survei Bloomberg menyebut ada risiko 3% Indonesia terancam hal yang sama menjadi bahan hiperbola. Salah satu indikator yang disorot adalah angka inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi Indonesia pada bulan Juni (yoy) sebesar 4,35%. Berbagai pihak menginterpretasikan angka ini. Ada yang menganggapnya rendah dengan membandingkannya dengan angka inflasi negara lain seperti Amerika Serikat yang sudah di atas 9%. Ada pula yang menganggap angka ini “kerendahan” atau tidak percaya sebab kenaikan harga sudah masif terjadi. Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi angka inflasi?

Rasanya terlalu jauh jika harus membandingkan diri dengan orang lain karena karakteristik yang berbeda atau variabel yang tidak sama. Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah jujur menilai diri dengan menggunakan perbandingan terhadap standar yang sudah kita tetapkan. Dalam hal inflasi, ada sasaran inflasi yang juga menjadi salah satu asumsi makro dalam APBN. Sasaran inflasi Indonesia adalah 3 +/- 1%.

Sebenarnya, inflasi tidak melulu tentang hal yang buruk. Selama angka inflasi masih berada dalam sasaran inflasi, artinya inflasi masih terkendali. Inflasi yang terkendali ini bisa dianggap sebagai efek dari pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dihindari. Ketika angka inflasi sudah berada di luar sasaran inflasi, hal ini akan mengakibatkan perhitungan yang berubah terhadap APBN, yang berujung pada efektif atau tidak APBN tersebut sebagai instrumen fiskal.

Dari sini, pernyataan paling tepat untuk menggambarkan situasi inflasi saat ini adalah inflasi sudah 4,35%, bukan inflasi masih 4,35% untuk menunjukkan bahwa memang benar ada risiko yang membahayakan. Lantas, apakah angka ini sudah sedemikian berbahaya?

Obat Inflasi

Beberapa bulan lalu saya tes darah. Salah satu hasil tes tersebut menunjukkan angka kolesterol saya di angka 210 mg/dL. Batas aman kolesterol rendah adalah 200 mg/dL. Ini berarti kolesterol saya sudah tinggi, tetapi belum parah. Dengan angka ini, saya sudah boleh mengonsumsi obat untuk menurunkan angka kolesterol tersebut.

Sama halnya dengan angka inflasi, salah satu obatnya adalah melalui kebijakan moneter, yaitu menaikkan suku bunga. Kebijakan menaikan suku bunga ini sudah dilakukan oleh Amerika Serikat. Selama semester I, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali sebesar 150 basis poin (1,5%). Logika sederhananya, inflasi terjadi karena banyaknya uang beredar. Dengan naiknya suku bunga, uang yang berada di pasar akan kembali disimpan di bank sehingga uang yang beredar menurun. Uang beredar yang menurun ekuivalen dengan permintaan yang menurun. Hukum ekonomi mengatakan bila permintaan lebih kecil dari penawaran, harga-harga akan turun.

Bank Indonesia sejauh ini belum menaikkan suku bunga. Saat ini suku bunga masih setia di angka 3,5%. Namun, dirilisnya angka inflasi Juni pada awal Juli lalu menaikkan tekanan pasar untuk menaikkan suku bunga. Diprediksi dalam waktu dekat BI akan menaikkan suku bunga sebanyak 0,25% ke 3,75%. Dalam keterangannya bulan lalu, Gubernur BI merasa belum perlu menaikkan suku bunga karena angka inflasi inti masih belum tinggi.

Baca juga:

Komponen Inflasi

Sekarang kita lanjut tentang penjelasan mengenai komponen inflasi. Komponen inflasi sendiri terbagi menjadi 3, yaitu inflasi inti, harga yang diatur pemerintah (administered price), dan harga bergejolak (volatile food). Untuk inflasi inti (yoy), nilainya 2,63%; relatif rendah bila dibandingkan dengan administered price sebesar 5,33%; dan volatile food 10,07%. Inflasi inti ini adalah komponen yang dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti kurs mata uang terhadap dollar. Yang patut jadi catatan adalah bulan ini nilai tukar USD sempat menembus Rp15.000, di atas asumsi rata-rata Rp14.350 di dalam nota keuangan.

Dua komponen lainnya memang patut menjadi catatan karena angka sudah tinggi. Sebagaimana kita tahu, harga bahan bakar minyak, gas, dan listrik yang tidak bersubsidi sebagian besar sudah mengalami kenaikan. Pemerintah memilih untuk tidak menaikkan Pertalite dan mencoba menerapkan pembatasan yang kemudian dikritik karena caranya dianggap tidak efektif. Namun, niat pemerintah ini sebenarnya sangat penting karena yang “menahan” angka inflasi kita salah satunya adalah Pertalite bersubsidi. Hanya saja, masalahnya adalah perilaku masyarakat yang kemudian beralih dari Pertamax ke Pertalite. Bisa disaksikan di berbagai SPBU, antrean Pertalite makin mengular sementara antrean Pertamax sangat sepi.

Hal yang sama juga terjadi pada konsumsi gas. Naiknya harga gas nonsubsidi menyebabkan sebagian masyarakat beralih menggunakan gas 3 kg. Pemerintah tentu sadar terhadap hal ini dan mencoba untuk memecahkan persoalan itu. Jika tidak dibatasi, beban APBN untuk subsidi energi akan semakin besar dan mengancam ruang fiskal. Di sisi lain, jika berserah kepada harga pasar, efeknya terhadap perekonomian akan sangat besar.

Harga energi ini tentu juga menyumbang angka inflasi pada volatile food. Produksi dan distribusinya sangat tergantung pada harga energi. Hal ini belum ditambah sejumlah masalah lain seperti masalah kelangkaan. Untuk yang terakhir, di sini peran pemerintah sangat penting untuk mengawasi pasar. Kenaikan harga minyak goreng, kedelai, cabai, dan masih banyak barang lain yang mengalami kelangkaan harus benar-benar segera diatasi.

Kita masih diberi angin dengan angka inflasi inti yang relatif rendah tadi. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, inflasi inti negara tersebut sudah mencapai 6,5% pada Maret lalu, tetapi volatile food-nya tidak setinggi Indonesia, yakni 5,9%.

Kesiapan Menghadapi Inflasi

Kondisi ini sebenarnya menggambarkan secara fundamental bahwa Indonesia lebih baik dalam menghadapi ancaman inflasi. Namun, yang terjadi di lapangan, harga-harga kebutuhan terutama bahan makanan, sebenarnya sudah cukup mencekik. Kita bisa saksikan harga cabai merah keriting mencapai 120 ribu per kilogram sampai-sampai warung Padang kecil-kecil di dekat rumah tak lagi menyediakan sambal merah.

Beralihnya konsumen Pertamax menjadi konsumen Pertalite tadi sebenarnya menggambarkan ilusi kelas menengah. Konteks ini akan mengantarkan kita pada cara kedua menyikapi angka inflasi, yakni melihat pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:

Angka inflasi yang baik adalah yang berada di bawah angka laju pertumbuhan ekonomi. Sederhananya, tidak apa-apa harga naik, asal daya beli juga naik. Untuk sasaran inflasi 3 +/- 1%, asumsi pertumbuhan ekonomi kita adalah 5,2%. Artinya ada selisih antara 1,2-3,2%. Prediksi pertumbuhan ekonomi semester I ini adalah 4,9-5,2%. Kabar baiknya adalah angka ini masih di atas angka inflasi. Secara umum, efek inflasinya masih belum kentara. Secara khusus, tentu saja hal ini akan sangat dirasakan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah yang daya belinya tidak naik. Bahkan kelas menengah pun memiliki kerentanan terhadap hal ini karena sisi volatile food tadi nyatanya memang sudah mencapai angka 10%.

Dengan terjadinya kenaikan harga-harga, shrinkflation pun muncul. Sederhananya, shrinkflation adalah penyusutan ukuran produk sebagai upaya produsen untuk mengatasi inflasi yang membuat harga bahan baku, pengemasan, hingga tenaga kerja meningkat.

Kalau kita ingat krisis moneter tahun 1997, pada saat itu harga gorengan tidak naik. Kalau pun naik, kenaikan yang terjadi tidak banyak. Tukang gorengan mengerti kalau mereka menaikkan harga, masyarakat tidak mampu membelinya. Karena itu harganya tetap, tetapi ukurannya mengecil dan akan semakin kecil. Toko pempek di dekat rumah juga masih ada yang menjual dengan harga Rp1.000, tetapi ukurannya sudah mungil sekali.

Kira-kira begitulah kenyataan yang muncul dari angka inflasi Indonesia saat ini. Terlalu jauh apabila kita masih jumawa membandingkan diri dengan negara-negara lain untuk melakukan pembenaran, baik itu kita sudah berhasil atau gagal dalam mengatasi inflasi. Framing seperti itu bagi saya tidak jujur. Cara yang jujur adalah dengan membandingkan diri pada standar yang telah kita buat sendiri.

 

Editor: Prihandini N

 

Pringadi Abdi Surya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email