Menjumpai anak-anak bermain bersama dan membaca buku adalah peristiwa tak lazim. Apa sebabnya? Tak lain adalah teknologi yang telah melipat jarak dan waktu yang mengurungkan banyak pihak, termasuk anak-anak, mendayagunakan waktu dan kesempatan. Bacaan anak terasa hambar tanpa perhatian dan perbincangan yang mendalam tentangnya.
Padahal, kalau kita menilik sejarah, ada dua hal mendasar yang membentuk masa pencerahan umat manusia, yakni mesin cetak dan ensiklopedia. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh seorang matematikawan, Iwan Pranoto, dua hal itu turut serta dalam membentuk proses berpikir generasi pada masanya sampai akhirnya banyak orang menganggap bacaan cetak sebagai hal yang usang dan tak perlu.
Baca juga:
Konon, revolusi teknologi yang kian kompleks adalah pemecah sendi-sendi kehidupan. Bagi para optimis, keberadaan internet dianggap sebagai sarana yang lengkap dan sempurna untuk mencukupi kebutuhan akan informasi dan pengetahuan. Sebaliknya, di mata para pesimis, ada hal yang terus disesalkan dari percepatan teknologi digital, yakni andil teknologi dalam merekonstruksi segala hal sampai-sampai menimbulkan sederet permasalahan.
Di satu sisi, teknologi digital berkembang sebagai buah dari kemampuan bernalar manusia. Di sisi lain, teknologi digital justru menciptakan situasi “ketakbernalaran” yang dengan mudah memengaruhi para penggunanya. Sebagai pengguna teknologi digital, anak-anak rentan terjerumus dalam “ketakbernalaran” ini, terlebih jika mereka tak akrab dengan buku-buku bacaan. Anak-anak perlu didekatkan kepada buku!
Penulisan Buku Anak
Ririn K. Sarumpaet pernah menulis buku berjudul Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke Hakekat, Sifat dan Corak Bacaan Anak-anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (1976). Di situ, ia menjelaskan fungsi buku menggerakkan anak melalui identifikasi dan fantasi untuk menemukan nilai di masa tumbuh-kembang mereka.
Kendati demikian, sekadar menyediakan buku bacaan anak saja ternyata belum cukup. Ada pekerjaan rumah besar dalam penyediaan buku bacaan anak, yakni bagaimana menulis buku anak yang tidak bersifat menggurui. Selain itu, ada baiknya untuk tidak menggunakan istilah-istilah moralis ketika menulis buku anak.
Buku anak yang berambisi menggurui seperti itu, menurut Ratna, terbelenggu dalam pakem buku anak di era Orde Baru. Proyek penerbitan buku besar-besaran pada zaman itu diarahkan untuk membentuk masyarakat yang tunduk pada stabilitas nasional, pengarusutamaan moral dan sopan santun, hingga visi nasionalisme.
Masa lalu buku anak tak terlepas dari kepentingan ideologi. Di sanalah titik penting kehadiran bacaan. Bacaan menjadi sarana mujarab dalam membentuk seorang manusia; perlahan, tetapi pasti.
Tantangan Era Digital
Negara, pemerintah, hingga pejabat menaruh anak-anak dalam halaman demi halaman kiprahnya. Dalam kunjungan kerja di berbagai daerah, Presiden Joko Widodo kerap menemui rombongan anak. Ia terlihat iseng, kendati kemudian menjadi bahasa politiknya. Selanjutnya, ia akan mulai memanggil beberapa anak untuk naik podium, memberi pertanyaan, dan memberi hadiah seperti sepeda.
Presiden Jokowi belum tentu menjadi referensi penduduk Indonesia dalam urusan bacaan, pun juga para pejabat dan tokoh politik di sekililingnya. Ini adalah salah satu penghambat para keluarga di Indonesia dalam memperhatikan urusan bacaan di lingkungan sosial terkecil.
Akademisi Idi Subandy Ibrahim dalam esainya, Buku dan Budaya Baca (2022), mengungkapkan analisisnya tentang budaya buku yang tak terlepas dari selera budaya di kalangan terdidik, pemerintah atau politisi, hingga masyarakat umum. Budaya yang berkembang dalam dua dekade terakhir adalah budaya visual berupa televisi dan budaya digital dengan adanya internet. Membaca, menurut Idi Subandy, masih menjadi budaya individual; belum kolektif.
Kita berpikir bahwa mustahil memperingati hari anak sebagai hari tentang bacaan anak; baik itu perkembangan minat baca, corak bacaan, dan kemasan bacaan sesuai zaman. Masyarakat kita mungkin lebih bahagia ketika anak-anak bisa menggunakan teknologi digital dengan yang memungkinkan akses tanpa batas ke berbagai hal ketimbang menggenggam sebuah buku.
Namun, tak menutup kemungkinan buku kembali menjadi budaya ketika kerinduan terhadapnya muncul di era ini. Kerinduan tersebut bisa terjadi di keluarga, politik, dan pemerintah. Beberapa bahkan sudah ada, misalnya saja dengan foto diri sedang membaca buku untuk membentuk citra tertentu di dunia digital. Dalihnya, tentu saja, perhatian atau minat pada bacaan. Kenyataannya? Tidak ada yang tahu.
Baca juga:
Sejatinya, telah ada inisiatif-inisiatif untuk membuat gerakan literasi yang lebih mutakhir di era digital. Namun, inisiatif-inisiatif itu tidak semuanya tepat guna. Pada banyak kasus, sejalan dengan kerisauan Neil Postman yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Selamatkan Anak-Anak (2009), inisiatif tersebut justru memberi ruang bagi, “…penyiksa anak-anak sekarang ini banyak orang dewasa yang memiliki konsep yang berbeda tentang makhluk seperti apakah anak-anak tersebut.”
Editor: Emma Amelia