Di desa-desa di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, para perempuan setia menenun. Dari helai-helain benang yang disilangkan, para perempuan ini menghabiskan berhari-hari hingga berbulan-bulan untuk menghasilan sehelai kain tenun. Sebuah proses yang tak mudah dibandingkan menghasilkan kain dengan mesin-mesin. Ini salah satu alasan kenapa selembar tenun dihargai lebih tinggi daripada kain-kain pabrikan.
Namun, tingginya harga tenun tak serta merta berbanding lurus dengan penghasilan para pengrajin. Bahkan bisa jadi, para pengrajin semakin susah memasarkan produknya karena digempur habis-habisan oleh industri garmen. Belum lagi fakta bahwa sebagian besar penenun itu hanyalah buruh upahan, pemodal yang mendapat hasil langsung dari penjualan tenun.
Baca juga:
Bokah (78 tahun), warga desa Lenek Lauk, Lombok Timur, adalah salah satu perempuan penenun yang terus setia hingga usia senja. Selama ini, Bokah hanya mendapat upah dari pekerjaan menenun. Orang lain yang akan menyediakan bahan dan menjual hasil dari tenunan Bokah.
Dengan kondisi seperti itu, semakin jarang generasi muda yang mau menenun. Muslihatun (28 tahun) adalah satu-satunya penenun di desa Montong Betok. Keterampilan menenun sudah ia pelajari sejak SD. Berbeda dengan Bokah, Muslihatun menjual sendiri hasil tenunannya melalui kegiatan-kegiatan di balai desa atau ketika Lebaran. Kini, Muslihatun juga mulai belajar menjual hasil tenunnya secara online, termasuk dengan menjajaki kemungkinan masuk ke marketplace.
Pentingnya Modal
Bokah dan Muslihatun adalah potret dari nasib perempuan penenun. Mereka yang tak punya modal, hanya akan mengandalkan upah, sementara yang punya modal dan punya akses ke teknologi bisa mencari pasar untuk tenun-tenun yang diproduksinya.
Kesadaran tersebut yang mendorong Uni Eropa melalui program ACTION memberikan bantuan modal berupa peralatan dan material produksi, serta pendampingan intensif.
Baca juga:
Selama dua tahun, Uni Eropa telah memberikan bantuan senilai 2,5 juta euro (Rp 42 miliar) melalui proyek ACTION yang dilaksanakan oleh 6 LSM di Indonesia: Hivos, CISDI, PUPUK, Kapal Perempuan, Pamflet dan SAPDA. Ini bagian dari paket ‘Team Europe’ dengan total anggaran €200 juta (Rp 3,5 triliun) untuk membantu Indonesia menangani pandemi COVID-19 dan dampak ekonomi sosial yang muncul, khususnya bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan.
Bantuan tersebut juga ditujukan untuk memperkuat sistem kesehatan dan menanggulangi COVID-19 di Kabupaten Bogor, Kota Jakarta Timur, Kabupaten Lombok Timur, Kota Makassar, dan Kota Yogyakarta.
Proyek ini juga memberikan dukungan bagi kelompok rentan (termasuk minoritas seksual dan gender dan penyandang disabilitas) yang merasakan dampak sosial ekonomi pandemi.
Bagi Uni Eropa bantuan ini merupakan bukti nyata solidaritas ‘people to people’. Vincent Piket, Dubes EU untuk Indonesia dan Brunei Darussalam menyatakan, “Proyek ini telah meningkatkan mata pencaharian sekitar 15.000 masyarakat miskin perdesaan dan perkotaan melalui pertanian perkotaan yang berkelanjutan, pembinaan dan pengembangan usaha kecil dan menengah, dan pelatihan kejuruan untuk kaum muda.”
Tunggal Pawestri selaku representasi Hivos Asia Tenggara menambahkan bahwa tingkat resiliensi perempuan dan kelompok rentan dalam masa pandemi sangat tinggi. “Dengan segala keterbatasan, perempuan dan juga kelompok minoritas terbukti mampu bersiasat mengatasi kesulitan ekonomi, dan bagi kami, model solidaritas sosial inilah yang harus terus diperkuat.”
Dengan program-program seperti ini, semoga mimpi Muslihatun untuk punya art shop sendiri kelak bisa terwujud. Demikian juga mimpi-mimpi dari anak-anak muda lainnya di berbagai daerah.