Adu Ide di Panggung Dangdut

Fena Basafiana

3 min read

Saya terangsang menulis esai ini setelah membaca buku C*bul: Perbincangan Serius tentang Seksualitas Kontemporer terbitan Marjin Kiri. Hendri Yulius, penulis buku itu, adalah seorang laki-laki yang mampu menyelami kompleksitas seks dan jajarannya secara serius.

Ketika saya disuguhkan bab Foreplay, saya terkesan dengan salah satu esainya yang berjudul Seks, Dangdut, dan Feminitas. Hendri Yulius secara singkat sempat memaparkan perlawanan terhadap sistem patriarki dalam beberapa lagu dangdut yang dibawakan oleh penyanyi dangdut perempuan ternama. Tak bisa tidak timbul pertanyaan dalam benak saya, bagaimana dengan penyanyi dangdut laki-laki? Sebab, saya menemukan bentrok ide antara penyanyi dangdut perempuan dan penyanyi dangdut laki-laki.

Menurut Andrew Bressler dalam buku teorinya yang berjudul Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menjunjung hak istimewa laki-laki serta menuntut subordinasi perempuan. Di ranah publik, laki-laki hampir selalu memiliki peluang lebih banyak ketimbang perempuan dalam berkarier. Sistem patriarki mendiskriminasi dan membatasi pergerakan perempuan. Maka itu, banyak orang, terutama perempuan, berusaha menggulingkan patriarki dengan berbagai cara. Musik dangdut yang dijuluki sebagai wajah Indonesia adalah alternatif cara yang menarik untuk menyuarakan perlawanan terhadap sistem patriarki.

Baca juga:

Sejarah dan Wahana Dangdut

Andrew Weintraub—seorang profesor Etnomusikologi dari Universitas Pittsburgh, dalam bukunya yang berjudul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia, menceritakan awal mula dan perkembangan dangdut. Musik dangdut lahir dari orkes Melayu yang muncul pada 1970-an. Subgenre dangdut seperti dangdut pop dan dangdut rock menyusul muncul belakangan. Seiring perkembangan zaman, dangdut mengalami perubahan, baik dari segi aransemen musik, lirik, tampilan, hingga goyangan.

Goyangan dangdut yang paling dikenal di awal transformasi adalah goyang ngebor yang diprakarsai oleh Inul Daratista. Goyangan erotis dan musik yang dibawakan Inul sempat menjadi kontroversi karena dianggap menyalahi norma. Musik dangdut yang dibawakan Inul ini pun akhirnya menjadi subgenre tersendiri, yakni dangdut koplo yang juga sering diidentikkan dengan joget bebas. Tidak lama setelah itu, muncul berbagai goyangan seperti goyang ngecor milik Uut Permatasari, goyang patah-patah milik Annisa Bahar, goyang gergaji milik Dewi Persik, goyang kayang milik Putri Vinata, goyang itik milik Zaskia Gotik, dan seterusnya.

Dalam sejarahnya, Hendri Yulius merincikan beragam wahana dangdut. Pada 1970-an dan 1980an, dangdut mengusung nilai-nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari yang ditampilkan oleh Rhoma Irama.

Di saat bersamaan, dangdut disematkan dalam kampanye politik untuk mendapat dukungan dan suara dari masyarakat kalangan menengah bawah atau masyarakat non urban. Konser-konser dangdut sering digelar di pinggiran kota. Dangdut pun memiliki hubungan erat dengan rakyat karena merepresentasikan aspirasi dan keinginan rakyat. Seiring waktu berjalan, penyanyi dangdut perempuan seperti Inul dan Jupe hadir mewarnai industri musik dangdut dengan penampilan sensual, seolah memberontak terhadap konstruksi sosial yang ada di masyarakat.

Menggoyang Patriarki

Hendri Yulius menyebutkan beberapa penyanyi dangdut perempuan Indonesia yang lagu-lagunya membawa misi perlawanan terhadap sistem patriarki. Dua di antaranya adalah Julia Perez (Jupe) dan Riana Oces (Rice). Jupe dalam lagu Goyang Kamasutra memanggul misi relasi kuasa yang tidak setara saat berhubungan intim bersama pasangan. Ia dengan tegas mengajak pasangan lelakinya untuk mengenakan kondom.

Goyang sih goyang

Jangan sampai kepeleset, Bang

Kalau jatuh pasti sakit, Bang

Makanya pakai Sutra-nya, dong

Sutra dalam lirik tersebut adalah salah satu merek kondom. Di situ Jupe menggambarkan perempuan yang memiliki posisi tawar kepada pasangannya untuk terlibat dalam menentukan sesuatu, khususnya dalam seks.

Rice, melalui lagu Janda Bodong-nya, memanggul misi kontra poligami.

Suamiku tergila-gila janda muda beranak dua

Minta izin berpoligami

Aku tak sudi gara-gara tak mau dimadu

Mereka pergi meninggalkanku

Lirik lagu Janda Bodong menggambarkan perempuan yang secara terang-terangan menolak dipoligami suaminya. Ia menyadari bahwa ia adalah korban dari poligami yang akan mendatangkan ketidakadilan dalam pernikahannya hingga akhirnya perempuan itu lebih memilih menjadi janda. Kedua penyanyi dangdut perempuan ini secara asertif dan sensual menunjukkan suara perlawanan terhadap konstruksi sosial yang amat bias gender.

Sayangnya, perlawanan feminis yang diusahakan oleh para penyanyi dangdut perempuan justru dipangkas oleh penyanyi dangdut laki-laki. Saya menemukan dua penyanyi dangdut laki-laki yang meromantisasi perilaku patriarkis. Salah satunya adalah penyanyi dangdut lawas Caca Handika dalam lagu Cincin Putih. Katanya, “Cincin putih sayang, tak menyesalkah engkau menduakan hatimu, menduakan cintamu padaku seorang lelaki yang telah beristri?” Lagu tersebut secara simbolik mengutarakan potensinya untuk memiliki pasangan lebih dari satu alias berpoligami.

Hal serupa juga dilakukan penyanyi dangdut masa kini, Danang Banyuwangi. Setelah terlibat dalam ajang pencarian bakat Dangdut Academy 2 di Indosiar, Danang merilis lagu berjudul Di Sana Menanti Di Sini Menunggu. Liriknya, “Kalau kupilih di sini, apa kata di sana? Kalau kupilih di sana, di sini akan terluka. Perlukah aku pilih keduanya? Bahagia kasih seadil-adilnya.” Sama halnya dengan lagu Caca Handika, lirik itu menggambarkan bahwa lelaki tidak perlu bimbang dalam memilih pasangan karena mereka dapat memilih semuanya. Meskipun begitu, pada akhirnya, tokoh lelaki tersebut hanya memilih satu karena satu kekasih lainnya mengundurkan diri dari jeratan hubungan segitiga tersebut.

Penyanyi dangdut laki-laki cenderung menyetujui dan menyenangi patriarki, biasanya dengan dalih norma agama ketika menyoal fenomena poligami. Kondisi tersebut makin diperkeruh oleh pernyataan Raja Dangdut Rhoma Irama. Dalam wawancaranya, Rhoma Irama mengemukakan bahwa poligami bukan cacat moral dan poligami dilakukan secara situasional. Pernyataan tersebut ia lontarkan ketika sebagian masyarakat mempertanyakan gaya hidup poligaminya.

Baca juga:

Sosialisasi peran gender, terutama melalui budaya pop seperti dangdut, kian menguatkan perasaan bersalah dan rundungan masyarakat pada perempuan yang tidak fit dalam bayangan akal bulus para patriark. Saya merasa putus asa. Agaknya, manusia tidak akan bisa lepas seutuhnya dari sistem patriarki yang telah begitu mendarah daging dalam lingkaran budaya kita.

Meskipun demikian, alangkah bijaknya jika kita tetap berusaha melemahkan patriarki; usaha ini akan lebih ringan bila laki-laki turut terlibat. Industri musik dangdut merupakan salah satu wahana paling potensial untuk menyukseskan usaha ini.

Hendri Yulius mengutarakan bahwa dangdut bukan sekadar hiburan. Di dalamnya ada bentuk kreativitas dan perlawanan. Namun, jika penyanyi dangdut laki-laki terus melahirkan karya yang mengintimidasi perempuan, ide-ide patriarkis akan terus mengalir deras dan mengancam kita semua. Para musisi dangdut dan orang-orang di belakangnya perlu menentukan jalan: lebih pilih menjadikan dangdut sebagai wahana kesetaraan atau penindasan?

 

Editor: Emma Amelia

Fena Basafiana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email