Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Sobat Ambyar Sepeninggal Didi Kempot

Kukuh Basuki

3 min read

Wafatnya maestro musik campursari, Didi Kempot, pada pertengahan tahun 2020 merupakan kehilangan yang sangat nyata bagi blantika musik nasional, terkhusus bagi penggemar mudanya yang biasa dikenal sebagai Sobat Ambyar. Kepergian penyanyi dan pencipta musik yang dijuluki The Godfather of Broken Heart ini mengguratkan kesedihan yang amat mendalam. Masyarakat musik Indonesia kehilangan tokoh yang dapat menghidupkan pertunjukan musik penuh sukacita dalam merayakan tangis kesedihan karena patah hati.

Saya sendiri, yang—karena pengaruh nenek saya—menyukai musik campursari sejak remaja, mengalami hal yang serupa. Ada harapan yang sejak lama terpendam akhirnya terwujud namun mendadak sirna, yaitu menyanyikan lagu-lagu campursari bersama teman seusia dengan khidmat tanpa terlihat absurd atau pun memalukan.

Pada era saya remaja, peristiwa sing along dengan lagu campursari sangatlah jarang terjadi. Ada beberapa kesempatan, tetapi itu pun dengan satu atau dua teman saja secara sporadis. Kami menyanyikan satu lagu campursari saat jam istirahat dan diakhiri dengan menertawakan diri kami sendiri karena menjadi pemandangan aneh bagi teman-teman di sekolah.

Perasaan bangga bercampur malu membuat saya harus mencari momen-momen tertentu untuk melakukan itu lagi. Hal itu berlangsung sampai saya memasuki masa kuliah. Pergaulan mahasiswa yang serba nge-pop dan nge-rock membuat ruang menyanyikan lagu campursari tidaklah tersedia luas.

Pertunjukan live campursari biasanya hanya ada pada saat hajatan pernikahan atau acara budaya yang pastinya akan bersaing ketat dengan panggung dangdut. Akibatnya, campursari belum tentu selalu ada. Kalau pun ada, bisa dipastikan penonton setianya adalah masyarakat paruh baya yang gemar mendengarkan musik campursari. Pada era sekarang, pemuda melihat konser campursari boleh dibilang sebagai outlier karena sangat sedikit jumlahnya.

Pada tahun 2000-an, Didi Kempot bukanlah satu-satunya yang saya sukai. Beberapa musisi campursari lainnya yang saya suka adalah Manthous, Sony Josz, dan Cak Diqin. Mereka masing-masing pernah mempunyai lagu hits seperti “Mbah Dukun”, “Sri”, “Slenco” dan banyak lainnya. Namun, tidak bisa ditampik bahwa lagu-lagu Didi Kempot masih menjadi lagu yang paling banyak saya hafal. Sebut saja yang paling memorable antara lain “Stasiun Balapan”, “Sekonyong-Konyong Koder”, “Tanjung Mas Ninggal Janji”, “Parangtritis” dan “Tirtonadi”. Lagu-lagu itu seolah menjadi soundtrack hidup saya yang lumayan sering mengalami patah hati juga.

Tidak banyak individu yang bisa saya ajak ngobrol tentang musik campursari. Jika pun ada, itu hanya beberapa saudara saya dan beberapa teman yang memang aktif di musik tradisional. Ketika menyetel musik campursari pun juga tidak terlalu leluasa. Tak jarang cibiran iseng mampir di telinga sampai-sampai membuat saya jengkel sekaligus bangga.

Baca juga:

Lahirnya Sobat Ambyar

Hingga kemudian lahirlah gelombang baru penggemar muda Didi Kempot yang menamakan dirinya Sobat Ambyar di pertengahan dekade 2010-an. Sombat Ambyar mengubah peta percampursarian. Didi Kempot berhasil melebarkan sayap campursari hingga ke kalangan anak muda dengan fenomena konsernya yang sering kali membuat penontonnya ambyar, menangis sesenggukan menghayati patah hatinya sambil bernyanyi bersama penonton lain.

Kemunculan beberapa platform video seperti YouTube dan semakin meluasnya pengguna media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter membuat fenomena itu cepat menyebar. Konser demi konser Lord Didi Kempot selalu menarik animo penonton muda yang ingin merasakan sensasi ambyar tersebut.

Didi Kempot berhasil mendekonstruksi tontonan campusari. Tontonan campursari kini tidak lagi didominasi generasi tua. Kini penonton generasi tua sering kali kalah jumlah dibandingkan generasi muda, sebab generasi muda lebih cepat mendapatkan informasi konser Didi Kempot dan sangat antusias untuk datang langsung. Ini adalah fenomena yang tak terpikirkan siapa pun hingga kurun waktu sepuluh tahun yang lalu.

Semakin membesarnya massa Sobat Ambyar dan viralnya potongan video konser Didi Kempot yang dipenuhi anak-anak muda membuat musik campursari bukan lagi menjadi hal aneh jika dinyanyikan generasi muda. Lagu Didi Kempot semakin banyak diputar di tempat-tempat yang dulunya tidak mungkin dijangkau campursari, seperti di mal, bandara, dan kafe-kafe generasi milenial. Didi kempot berhasil menjadikan campursari bagian dari subkultur anak muda yang sejajar dengan pop, metal, jazz, rock dan musik-musik impor lainnya. Sebuah pencapaian yang belum pernah diraih oleh musisi campursari pada era-era sebelumnya.

Baca juga:

Perayaan Patah Hati

Budaya patriarki yang ada di Indonesia membawa konsekuensi tabu bagi laki-laki yang menangis. Laki-laki dewasa yang menangis dianggap lemah, tidak gagah, dan kekanakan. Selebihnya mereka bakal dilabeli sebagai pribadi yang cengeng ketika ketahuan lebih dari sekali menangis. Hal itu membuat laki-laki di Indonesia selalu merasa malu atau takut untuk menangis. Tidak banyak ruang aman yang diberikan kepada laki-laki Indonesia untuk menangis.

Hal itu berubah ketika mereka menyaksikan konser Didi Kempot. Sebagai penulis lagu campursari, beberapa lagu Didi kempot bertemakan cerita tentang patah hati. Didi Kempot mempunyai perpaduan yang pas antara kreativitas meramu cerita dalam sebuah lirik lagu dan sensitivitas musikal yang membuat cerita dalam lirik lagunya mudah dipahami sekaligus meninggalkan kesan yang mendalam bagi pendengar musiknya.

Banyak penonton konsernya merasa kisah cintanya (yang tragis) terwakili oleh lagu Sang Maestro. Karena itulah mereka tidak sungkan untuk menitikkan air mata di tengah-tengah lautan massa yang menyanyikan bersama lagu-lagu hits Didi Kempot seperti “Cidro”, “Pamer Bojo”, dan “Banyu Langit”.

Wahana ruang aman untuk menangis ini menjadi daya tarik baik bagi laki-laki maupun perempuan muda untuk merayakan kesedihan. Panggung konser Didi Kempot seolah katarsis untuk meluruhkan rasa kecewa dan perih karena kisah cinta yang ambyar karena tidak sesuai harapan. Bisa dibayangkan betapa leganya menangis sambil menyanyi mengikuti alunan musik campursari yang hampir selalu membuat joget. Mereka bersedih sekaligus gembira dan lega. Sampai detik ini, saya kira hanya Didi Kempot-lah yang mampu menyediakan wahana langka Sobat Ambyar itu.

Pasca Didi Kempot

Banyak sakali pertanyaan-pertanyaan spekulatif yang muncul pasca meninggalnya maestro campursari itu. Beberapa yang terbesit dalam benak saya adalah apakah campursari akan terus stabil di jalan yang sudah dibuka oleh Didi Kempot dan semakin maju? Atau malah sebaliknya, campursari akan kembali ke cerita lama, yaitu asing di telinga anak-anak muda?

Jika melihat perkembangan campursari akhir-akhir ini, sikap optimis saya masih ada. Beberapa grup dan tokoh musik campursari generasi muda terus bermunculan. Sebut saja Kukuh Prasetyo (Kudamai), Ndarboy Genk, Guyon Waton, dan Abah Lala yang lagu-lagunya viral dan digemari generasi muda. Mereka adalah ujung tombak musik campursari dalam menembus barikade selera musik generasi muda yang semakin techno dan terdigitalisasi.

Pertanyaan kedua adalah, apakah Sobat Ambyar akan tetap eksis? Atau sebaliknya, perlahan mereka terdisrupsi sehingga parade merayakan tangis kesedihan karena cinta di konser campursari akan tinggal cerita? Ini pertanyaan yang agak sulit dijawab.

Hingga pertengahan tahun 2022 ini, belum ada yang bisa menggantikan kharisma Lord Didi Kempot yang membuat anak muda percaya jika untuk menangis di konser-konser campursari adalah hal yang aman dan sudah sewajarnya. Atau memang hanya Didi Kempot seorang yang bisa menyediakan wahana untuk itu? Entahlah. Tapi jika pun jawabannya iya, semoga apa yang sudah diawali Didi Kepot menginspirasi generasi muda untuk setia kepada musik campursari, kapan dan di mana pun mereka berada, dalam keadaan sukacita maupun ketika ambyar karena cinta.

 

Editor: Prihandini N

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email