Pengkampanye isu lingkungan hidup di salah satu NGO lingkungan tertua

Yang Muda yang Dibajak Suaranya

Wahyu Eka Styawan

3 min read

Forum Y20 merupakan salah satu sesi dalam gelaran G20 yang merangkul perwakilan anak muda dari berbagai negara untuk menyuarakan aspirasi mereka. Segelintir anak muda, yang entah dari mana dan siapa, tiba-tiba muncul menjadi representasi dari jutaan anak muda di negeri ini. Mereka tampil necis dengan gaya bicara gado-gado ala menengah atas menyuarakan segudang ide teknokratis yang selalu diklaim sebagai solusi dan mewakili banyak orang.

Saya sangat heran, seperti apa mekanisme pemilihan mereka hingga akhirnya menjadi representasi anak muda? Apakah melalui voting, musyawarah, atau apa? Bahkan, Forum Y20 pun menurut saya sangat elitis. Apakah pernah Joni si pengamen lampu merah, Darsono penjual cilok, dan Roni barista kopi kekinian tahu soal ini? Saya kira tidak. Mereka tidak benar-benar tahu itu forum apa, apa yang dibahas di sana, lalu, terpenting, siapa para anak muda yang “mewakili” mereka di sana? Tukang bakso atau orang yang memuji-muji dirinya sendiri dalam sebuah paper yang ditulisnya sendiri?

Baca juga:

Klaim anak muda tengah menjadi tren. Berbagai lembaga, tak terkecuali negara, menggaungkan partisipasi anak muda, menyediakan forum, dan memberikan porsi partisipasi yang lebih banyak bagi mereka. Tentu hal ini sangat bagus. Paling tidak, keterbukaan dan keterlibatan benar-benar sedang coba dilakukan. Tetapi, lagi-lagi, anak muda yang dilibatkan atau terlibat selalu tidak mewakili suara banyak orang. Mereka hanya mewakili hasrat mereka sendiri dan kepentingan kekuasaan.

Di Indonesia, tabuh genderang soal anak muda ini tak lain adalah konsekuensi dari jumlah mereka. Temuan sensus penduduk yang diadakan oleh Badan Pusat Statistik di tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelahiran 1997–2012 sebesar 74,93 juta atau 27,94% dari jumlah total penduduk Indonesia. Mereka inilah yang dilabeli sebagai generasi Z. Sementara itu, penduduk kelahiran 1981–1996 (generasi milenial) berjumlah 69,38 juta atau 25,87% dari total penduduk Indonesia. Artinya, penduduk usia muda populasinya lebih besar daripada penduduk usia tua.

Pada gelaran Pemilu 2024 nanti, jumlah pemilih pemula dan pemilih usia muda akan mendominasi. Maka dari itu, tak mengherankan kalau orang politik melihat hal tersebut sebagai komoditas. Mengapa komoditas? Sebab, populasi yang besar ini harapannya dapat diarahkan untuk menjadi pemberi suara.

Sejalan dengan itu, pemerintah membentuk badan entah fungsinya apa; namanya Staf Khusus Milenial. Badan tersebut entah diisi oleh siapa, saya tidak kenal. Cuma ada satu-dua orang yang saya tahu, satunya dahulu adalah ketua umum sebuah organisasi mahasiswa besar, satunya anak pengusaha besar, juga bagian dari jejaring oligarki

Tidak hanya itu, program-program pemerintah pun menggunakan kata milenial, lalu disambut latah oleh pejabat sampai politisi yang sering menggunakan kata milenial tanpa tahu maknanya. Celakanya, ini diimitasi oleh anak-anak muda di kampus. Organisasi mahasiswa memakai kata milenial, padahal mereka generasi Z. Fenomena ini mirip penggunaan istilah 4.0 dan 5.0 yang saya pikir aneh dan tidak kontekstual. Sebab, KTP elektronik saja masih perlu difotokopi, bikin formulir Survey Monkey belum bisa, menulis bareng pakai Google Docs juga tidak familiar.

Para politisi bahkan mencoba merangkul para anak muda ini untuk jadi bagian dari partai. Namun, lagi-lagi, anak muda yang ada di kepengurusan partai, kalau bukan anaknya politisi, ya, pengusaha. Di luar itu paling hanya sedikit.

Kembali ke Forum Y20 sebagai forum elit yang jauh dari anak-anak muda di kampung kota, desa, serta anak-anak muda pekerja kerah biru. Seperti fenomena-fenomena penggunaan anak muda secara serampangan yang telah disebutkan sebelumnya, Forum Y20 jugalah ajang pembajakan suara anak muda untuk melegitimasi kuasa.

Anak-anak muda dalam forum itu tak ubahnya corong generasi X dan pada boomer kolot yang haus kekuasaan dan kekayaan. Kalau tidak mau dibilang begitu, ya, silahkan cek angka korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa. Berdasarkan data ICW tahun 2021, terdapat 553 kasus yang melibatkan 1.173 tersangka dengan potensi kerugian negara sebesar Rp29,438 triliun. Ini belum termasuk kasus korupsi yang terungkap dan diakumulasikan dari tahun sebelumnya.

Dengan begitu, tidak keliru untuk mengatakan bahwa wajah-wajah muda dalam Forum Y20 cuma pajangan yang seolah-olah menyuarakan suara generasi muda, tetapi tetap saja boomer dan generasi X yang mendikte di balik mereka. Ibarat sebuah iklan, itu adalah siasat untuk tampak pro dan mencoba merangkul anak muda tanpa benar-benar melakukan sesuatu untuk menciptakan masa kini dan masa depan yang lebih baik bagi mereka.

Tulisan ini hanya sebuah komentar panjang terhadap fenomena yang tengah menjamur, kayak jamur di kasur kostan generasi muda menengah ke bawah yang setiap hari berjibaku dengan kerasnya hidup. Mereka inilah yang paling terdampak kebijakan yang tamak. Sebagian besar dari mereka merupakan korban perampasan ruang; tersisih dari desa dan kampung, tercabik-cabik kerasnya kota. Kerentanan yang mereka alami adalah imbas dari tersumbatnya ruang partisipasi, tidak adanya keterbukaan informasi, serta kerakusan segelintir manusia.

Baca juga:

Sebagai penutup, catatan ini tidak hanya berlaku bagi yang berkuasa, tetapi bagi gerakan sosial juga. Jangan hanya mengkritik situasi tersumbatnya partisipasi anak muda, khususnya ide dan keterlibatan mereka yang tidak terakomodir, tetapi praktiknya masih sama, sama-sama hanya untuk memuaskan ide dan pikiran segelintir orang.

Gerakan sosial harus menjadi antitesis dari tesis normatif yang kini berkuasa. Anak muda bukan komoditas, tetapi anak muda adalah masa depan sebuah ruang hidup yang tengah mereka tempati sekarang. Mereka yang paling terdampak dan mengemban tugas berat untuk menghambat terjadinya kiamat ekologis.

Jadi, suara anak muda adalah suaranya sendiri, bukan suara orang lain, bukan suara pemerintah, juga bukan suara aktivis senior. Sebab, anak muda sedang tidak memperjuangkan orang lain, tapi memperjuangkan diri mereka sendiri yang saling terhubung dengan yang lainnya.

 

Editor: Emma Amelia

Wahyu Eka Styawan
Wahyu Eka Styawan Pengkampanye isu lingkungan hidup di salah satu NGO lingkungan tertua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email