Rumah merupakan sebuah tempat yang selalu dirindukan oleh jiwa dan raga yang lelah. Bertemu keluarga, berkeluh kesah, menceritakan hal-hal yang dihadapi seharian di luar, dan tempat untuk saling berbagi pandangan antara ayah, ibu, anak—kakak dan adik.
Namun, rumah menjadi berbeda saat saya mulai membuka obrolan dengan kawan-kawan seusia saya, yakni para Gen Z. Banyak kawan saya yang merasa rumah layaknya kos; hanya tempat untuk membuang lelah fisik, tetapi bukan lelah jiwa dan lelah pikir. Banyak dari generasi saya yang lebih memilih kawan se-circle atau setongkrongan—yang notabenenya bukan keluarga asli mereka—untuk menjadi tempat berkeluh kesah tentang kehidupan. Padahal, yang dekat dengan kita sedari orok semestinya adalah keluarga asli, utamanya orangtua.
Muncul pertanyaan besar, mengapa banyak Gen Z tidak merasa keluarga asli sebagai rumah yang hangat untuk mengistirahatkan segalanya? Mengapa Gen Z sulit percaya kepada keluarga asli sebagai rumah yang ramah bagi persoalan lelah jiwa mereka?
Baca juga:
Kesenjangan Generasi
Banyaknya Gen Z yang merasa berjarak dengan keluarga inti ini merupakan sebuah fakta yang tak dapat kita nafikan. Fakta ini menjadi perbincangan yang tak hanya hangat di bibir, tetapi juga berisik di linimasa media sosial. Di berbagai platform, Gen Z sering curhat tentang hubungan mereka dengan keluarga inti yang tak seindah hubungan keluarga yang diperlihatkan di iklan-iklan televisi. Curhatan Gen Z itu relevan dengan lirik lagu berjudul Diary Depresiku yang dibawakan oleh grup musik Last Child, “…wajar bila saat ini ‘ku iri pada kalian, yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah.”
Agaknya, ada tembok psikis yang sangat besar di hampir setiap rumah yang membatasi hubungan antara anak dan orangtua. Kesenjangan generasi terasa nyata adanya dan menjadi hal penting untuk didiskusikan agar jurang kesenjangan antara anak dan orangtua itu tak semakin menganga. Sebab, jika jurang itu semakin lebar, luka yang ditorehkan juga semakin membesar.
Kesenjangan generasi antara anak dan orangtua ini terjadi karena perbedaan usia yang menyiratkan adanya perbedaan aturan dan norma yang berlaku. Perlu kita ketahui, mayoritas orangtua Gen Z merupakan didikan Orde Baru yang otoriter, banal, dan terbiasa membungkam. Sedangkan Gen Z merupakan anak kandung Reformasi yang kawin dengan digitalisasi. Alhasil, ketika dua generasi itu dipertemukan dalam suatu forum, yang terdengar hanyalah adu nasib; “Masih mending zamanmu, Nak! Zamanku dulu mau ngapain aja harus bla-bla-bla.”
Merebut Masa Kini dan Masa Depan
Selain kesenjangan generasi, tembok besar yang memisahkan keharmonisan hubungan anak dan orangtua adalah penguasaan diri dan masa depan terhadap anak. Kahlil Gibran pernah menulis dalam bukunya, Almustafa, yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono (2017):
“…anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri… Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu. Sebab mereka memiliki pikiran sendiri… Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka. Sebab jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu…”
Bagaimana kenyataannya? Banyak anak yang dipaksa menempuh lorong panjang yang terbuat dari pikiran orangtuanya. Padahal, bisa jadi pikiran orangtua itu tidak relevan dengan apa yang kelak ditemui oleh anak di sepanjang perjalanan hidupnya. Kita semua meyakini bahwa tak ada orangtua yang menginginkan hal buruk terjadi pada anaknya. Namun, hal yang dianggap baik oleh orangtua kadang kala justru mengundang terjadinya hal buruk bagi anak.
Baca juga Jangan Paksa Anak-Anak Menikah!
Itulah yang terjadi pada kawan saya. Orangtuanya ingin ia menjadi seorang hakim. Oleh orangtuanya, kawan saya dikuliahkan di fakultas hukum sebuah kampus ternama yang biayanya tidak murah. Padahal, kawan saya tak memiliki sedikitpun keinginan untuk berkarier di bidang hukum seperti kemauan kedua orangtuanya. Sejak dahulu, ia lebih suka berwirausaha dan berbisnis. Sayangnya, kesukaan kawan saya ini tak pernah dianggap oleh orangtuanya.
Nasib selalu punya cara sendiri untuk bercerita. Kawan saya tak pernah menyelesaikan kuliahnya. Lantas, apa yang ia lakukan selama ini? Ia ternyata sukses dengan caranya sendiri, yaitu berbisnis. Ia sukses di bidang yang dengan sadar ia pilih sesuai keterampilan dan hobi yang telah dipeliharanya sejak lama.
Lagi-lagi, pengalaman kawan saya ini menjadikan kita semakin mengamini apa yang dikatakan oleh Kahlil Gibran. Sebagai anak yang terus bertumbuh dan terus berjalan bersamaan waktu yang terus berlari, kita harus memiliki masa kini dan masa depan kita sendiri. Orangtua pun harus memahami bahwa seorang anak memiliki jalan, zaman, dan tantangannya sendiri.
Menghancurkan Tembok
Marcus Aurelius pernah mengatakan bahwa semua yang kamu dengar adalah opini dan semua yang kamu lihat adalah perspektif, bukan kebenaran itu sendiri. Ini menjadi pengingat bahwa tak semua hal yang oleh orangtua dianggap baik bisa jadi petaka bagi anak—bisa juga sebaliknya. Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk menghancurkan tembok besar antara anak dan orangtua?
Pertama dan yang paling utama adalah membangun komunikasi. Ketika komunikasi di rumah sudah terbangun dengan baik, maka hal-hal lain dapat didiskusikan dengan hangat dan mesra.
Kedua, jangan mengadu nasib dan merasa sebagai orang yang sudah lebih lama hidup di dunia. Banyak orangtua yang merasa senior dalam menjalani kehidupan dan merasa nasibnya lebih menderita daripada si anak. Padahal, sudah jelas bahwa setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda-beda.
Ketiga, berhenti membandingkan anak dengan anak lain. Membanding-bandingkan anak seperti ini membuat tembok kesenjangan itu semakin tinggi. Bahkan, membandingkan anak pertama dengan anak kedua saja bisa fatal dampaknya. Sama halnya dengan ketika anak membandingkan orangtuanya dengan orangtua lain. Jangan pernah ada niatan untuk membanding-bandingkan sejak dalam pikiran.
Baca juga:
Bagaimanapun, peran orangtua sangat penting bagi masa depan anak. Memutus hubungan orangtua dan anak tentu bukan sikap yang bijak dan punya manfaat jangka panjang. Jika kita tak menyadari hal tersebut, mau sampai kapan kita terus membangun tembok pemisah antara anak dan orangtua? Mau sampai tembok besar itu meninggi dan menebal di setiap generasi hingga ke generasi-generasi di masa yang akan datang?
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Tembok Besar di Rumah Sendiri”