Saat anak-anak usia sekolah berlomba-lomba menghafal rumus, memahami soal seleksi kampus, hingga mencermati kiat sukses beasiswa, pemuda Citayam bernama Roy justru menolak mentah-mentah beasiswa yang ditawarkan Sandiaga Uno untuknya.
Dalam sebuah wawancara, Roy mengatakan:
“Bakal kerja aja sih paling. Kalau sekolah percuma, zaman sekarang juga sekolah tinggi cuma jadi OB paling gampang. Zaman sekarang tuh nyari kerja susah. Makanya cari yang udah ada aja. Kalau cari yang baru-baru kan kita ninggalin yang lama demi yang baru, pasti yang baru juga sementara doang.”
Pernyataan itu seperti tamparan keras pada wajah pendidikan kita. Selama ini, sekolah dikenal sebagai gerbang utama menuju dunia kerja dan kesuksesan. Padahal, kalau kita bicara data dan fakta, wacana tersebut tidak selalu benar.
Wajah Ganda Sekolah
Kalau diamati lebih dalam, ada wajah ganda pada diri sekolah. Di satu sisi, pihak sekolah selalu mengeklaim kesuksesan anak didiknya, tetapi di sisi lainnya ia tak jarang lepas tangan saat banyak lulusannya yang kurang kompeten dan menganggur. Inilah paradoks terbesar dalam tubuh sekolah: klaim kebaikan dan acuh atas keburukan.
Wajah ganda pendidikan itu nyata. Sudah seharusnya pendidikan lewat sekolah lebih mendalami masalah stratifikasi sosial. Latar belakang siswa wajib diketahui terlebih dahulu dengan jelas dan pasti sebelum membicarakan input-output pembelajaran dan klaim hasil.
Roy berasal dari keluarga miskin pinggiran. Biaya sekolah tidak mampu terpenuhi. Itu alasan dasar dia berhenti sekolah. Di poin inilah sekolah gagal menyikapi suatu fenomena sosiologi. Hal pertama yang jelas perlu dipenuhi orang dari kelas sosial seperti Roy adalah materi. Dia akan memilih jalan terdekat yang dapat menyelesaikan masalahnya. Lewat konten buatannya, setidaknya Roy menemukan jalan keluar. Inilah alasan mendasar mengapa Roy kurang butuh ilmu yang diajarkan di sekolah.
Jelas akan beda cerita jika Roy adalah anak dari keluarga yang ekonominya baik. Kalangan yang ekonominya baik cenderung menjadikan pendidikan sebagai suatu keharusan. Mereka punya motivasi untuk datang ke sekolah. Mereka datang dengan niat untuk mengambil ilmu. Konsep mendasar tentang motivasi bisa kita lihat dengan jelas pada teori Maslow.
Menurut Maslow, tingkatan kebutuhan manusia sejalan dengan skala prioritas. Jika kebutuhan dasar terpenuhi, seseorang dengan sendirinya akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan berikutnya. Pada poin inilah pendidikan kita gagap dan tidak kunjung memiliki solusi.
Kelas Sosial dan Pendidikan
Pendidikan kita masih mempertahankan hegemoni dengan menyebut bahwa seseorang akan punya hidup lebih baik dengan bersekolah. Padahal, korelasi tersebut tidak selalu linier. Faktor eksternal tidak pernah dimasukkan secara serius dan menyeluruh. Berapa banyak keluarga yang menghabiskan banyak uang untuk pendidikan anaknya tetapi setelah lulus kehidupan keluarganya tak kunjung membaik? Berapa banyak lulusan SMK yang justru tidak paham materi dasar kompetensinya? Berapa banyak siswa SMA yang begitu lulus tidak tahu harus ke mana? Berapa banyak sarjana yang bawa map merah antri di gerbang pabrik?
Tentu saja itu pertanyaan sederhana yang tidak mungkin bisa dijawab oleh sekolah. Mentok-mentok sekolah akan memberi jawaban: sekolah itu tentang ilmu, tidak ada hubungannya dengan kerja.
Bila sekolah beserta segala atributnya terus berdalil tentang ketidaksesuaian ilmu dan dunia kerja, seharusnya sekolah tidak berhak mengeklaim dirinya sebagai gerbang utama kesuksesan. Sederhananya, orang sukses adalah produk sekolah, sedangkan orang gagal itu bukan produk sekolah. Padahal, keduanya duduk dalam ruang kelas dan biaya yang sama. Inilah kelicikan wajah ganda pendidikan kita.
Bagi orang pinggiran yang biaya sekolahnya hasil utang sana-sini, orientasi pendidikan jelas bukanlah ilmu, melainkan langsung bisa bekerja setelah lulus. Namun, bagi orang yang datang ke sekolah naik mobil atau diantar sopir, jelas mereka akan fokus mencari ilmu dan patuh pada karir akademik.
Ini adalah hal fundamental. Jadi jangan heran bila kita selalu bertepuk tangan ketika ada anak tukang becak yang mampu bersekolah sampai tinggi. Karena alam bawah sadar masyarakat kita paham bahwa anak dari golongan bawah cukup sulit bersaing dan berprestasi. Sekali berprestasi, itu merupakan hal yang luar biasa bagi kita.
Baca juga:
Mengakhiri Narasi Besar Sekolah
Roy pemuda Citayam menjadi saksi bahwa narasi besar tentang sekolah sudah saatnya diakhiri. Dia dengan tegas tidak ingin ilmu dari sekolah. Karena baginya, ilmu di sekolah tidak mampu mendukungnya menjadi content creator apalagi mencukupi materi keluarganya.
Tentu itu bukan perasaan Roy semata. Anak lain mungkin merasakan apa yang Roy rasakan, tetapi mereka tidak mungkin mengucapkan perlawanan atau pikiran alternatif. Hal ini disebabkan hegemoni sekolah kita sangat kuat membius pikiran hingga ke alam bawah sadar.
Klaim bahwa sekolah akan membuatnya sukses jelas “kebohongan” bagi Roy. Ia menyadari bahwa sekolah memiliki wajah ganda. Roy tidak ingin melaluinya. Ia memilih jalan sesuai kebutuhan dan latar belakangnya sebagai content creator ketimbang menghafal rumus dan ujian teks di sekolah.
Fenomena semacam inilah yang seharusnya mendapat tepuk tangan dan apresiasi. Roy mengajak kita untuk memahami kebutuhan dan tujuan dalam diri masing-masing. Inilah hakikat dalam merdeka belajar, bahwa murid atau siapapun berhak dengan sadar menentukan tujuan hidupnya. Belajar itu adalah bentuk kesadaran, bukan hegemoni tuntutan. Roy mengatakan secara tersirat bahwa gerbang kesuksesan bukan hanya sekolah. Ada jalan lain di luar sekolah. Di sinilah narasi besar tentang sekolah didobrak dan dirobohkan.
Memang, tidak selamanya jadi content creator enak, mudah, dan menjamin hidup. Namun, pekerjaan lainnya lewat jalan sekolah pun juga demikian, tidak ada jaminan adem ayem juga. Semua akan menemukan lika-likunya sendiri. Karena kehidupan tidak pernah menjamin apa pun secara linear. Baik lewat jalur sekolah atau lainnya, semua berpotensi untuk bermasalah. Jadi, sangat tidak relevan mengomentari atau menjustifikasi pilihan Roy dengan negatif dan pesimis, seakan-akan dia belum sadar realita kehidupan, nanti dia menyesal, nanti tidak viral akan jadi gelandangan, dsb.
Justifikasi negatif terhadap Roy adalah bukti bahwa masyarakat kita belum siap dengan pikiran baru dan jalan alternatif. Masyarakat kita masih ada di tahap berpikir yang biner, pokok, dan sentral. Akibatnya, jalan alternatif akan selalu dianggap minor dan buruk. Namun sayangnya, semua itu diproduksi terang-terangan oleh lembaga pendidikan.
Dengan hadirnya sosok seperti Roy dan pemuda Citayam lainnya, narasi besar tentang pendidikan sekolah agaknya akan mulai goyah dan runtuh. Terlebih lagi, kehadiran media sosial memberikan ruang besar untuk dijajaki menuju kesuksesan. Bayangkan saja, bila Roy mampu mengumpulkan ratusan ribu pengikut, rasanya akan jelas siapa yang pada akhirnya sukses dan berhasil.
Satu yang perlu diingat bersama, sukses dan keberhasilan bisa datang lewat mana saja. Sekolah bukan jalan utama dan satu-satunya. Paradigma kehidupan sudah bergeser terlalu jauh. Dulunya terpusat, sekarang berserakan dari arah mana saja. Pendidikan lewat sekolah harus memahami hal dasar yang fundamental ini. Bila jalan ke Roma itu banyak, kita berhak memilih jalan mana yang baik, cocok, dan tepat secara mandiri dan merdeka.
Editor: Prihandini N