Kalau kalian memiliki waktu senggang, silahkan cari partai politik arus utama apa saja yang berada di wilayahmu, baik itu tingkat provinsi, kota atau kabupaten. Setelah itu, selidiki anggota partai mereka yang sekarang menjabat secara struktural. Kemudian sisihkan yang terkategori kalangan tua, dan cermatilah kader muda, lalu periksa latar belakang mereka. Sudah dapat? Saya yakin mayoritas hasil penyelidikan kalian menunjukkan para kader milenial itu memiliki kerabat, saudara, orang tua, atau kakek dan neneknya yang menjadi kader partai yang sama atau pernah terjun dalam dunia politik.
Lalu apa yang salah? Memangnya dengan memiliki sanak famili di lingkaran oligarki partai menunjukkan itikad tidak baik? Mungkin betul, kita tidak boleh menggeneralisir beberapa kasus untuk memperoleh satu kesimpulan yang dapat memukul rata semua hal. Namun, satu yang perlu kita pahami, dominasi kerabat dalam satu lingkar partai sangatlah berpotensi melahirkan apa yang banyak pakar dalam ilmu sosial-politik sebut sebagai: konflik kepentingan. Potensi ini bahkan menjadi-jadi di kala seorang itu memangku jabatan di lingkaran kekuasaan.
Dalam ranah gagasan pun demikian. Sampai saat ini belum terdengar satu gagasan revolusioner yang datang dari para politikus muda.
Baca juga: Politisi Boomer hingga Milenial: Semua untuk 2024
Apabila ada gagasan yang keluar, itu lebih mirip dengan pernyataan normatif yang sudah diformat sedemikian rupa demi kepentingan kelompok, dan bukan untuk masyarakat. Justru dalam beberapa kesempatan, terdengar berbagai argumen yang tidak berbobot cekak secara akademis maupun logika, dari para politisi muda. Meski tubuh masih muda, namun pikiran tetap mengikuti logika yang sudah mengakar kuat di tubuh partainya.
Bukan berarti generasi tua dan gagasan yang diwarisi dari generasi sebelumnya adalah hal yang buruk. Tetapi fakta menunjukkan, bagaimana politisi-politisi senior masih didominasi orang-orang berpikiran kolot, feodal, korup, miskin kreativitas. Politisi-politisi senior itu terus menghegemoni hegemoni, berkuasa atas dunia politik yang mulai dimasuki oleh anak-anak muda. Mereka juga menganggap para politikus muda itu kurang berpengalaman dalam dunia politik, memungkinkan kekuasaan secara halus mengurung para anak baru itu menunjukkan taji mereka.
Bonus atau Bencana Demografi?
Dari ilustrasi soal politisi muda itu, sekarang kita beranjak membicarakan soal “bonus demografi”. Lonjakan angkatan berusia produktif (16-64 tahun) di antara tahun 2030-2040 menjadi satu hal yang diidamkan dari sebuah negeri dengan populasi yang terlampau besar. Demi mempersiapkan bonus tersebut agar tidak menjelma menjadi bencana, pemerintah menggunakan berbagai macam cara, mulai dari menyiapkan landasan legal-formal yang berwujud undang-undang, kebijakan jangka panjang, sampai urusan membentuk pola pikir dan kebiasaan. Semua itu pada hakikatnya bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Bonus demografi memberi keyakinan kalau Indonesia ke depan akan semakin baik. Rumusnya sederhana: Makin banyak kalangan usia produktif, semakin baik pulalah negeri ini sebab nantinya mereka mengisi berbagai sektor pekerjaan yang ada. Dengan jumlah, semangat dan kreativitas, mereka siap sedia memberi kontribusi terbaik untuk Ibu Pertiwi. Benarkah demikian?
Alih-alih memikirkan aroma lezat dari bonus demografi apalagi termakan jargon semata, mungkin kita perlu memberi ruang sejenak untuk memikirkan kembali hakikat dari bonus demografi dan kemudian menggunakan refleksi berdasarkan situasi riil hari ini untuk memperkirakan kondisi ke depan seperti apa nantinya.
Baca juga: Ledakan Pengangguran dan Lahirnya Generasi Sia-Sia
Kondisi dan kualitas politisi muda hari ini bisa memberi gambaran bagaimana pemuda yang terlibat di sektor vital ternyata tidak bisa memberi harapan apalagi membawa perubahan.
Sekarang, mari membayangkan negeri ini menghasilkan manusia yang produktif, gesit dan aktif menghadapi tantangan. Tapi, di sisi lain, mereka memiliki pemerintah yang diisi orang-orang yang punya cara pandang, kinerja, dan tabiat mirip dengan pendahulu mereka yang berpuluh-puluh tahun lalu.
Mari juga membayangkan kasus serupa, akan tetapi pemerintah kita diisi oleh mereka yang memiliki gagasan revolusioner nan inovatif, mencintai sains, melunakkan diskriminasi dan intoleransi, atau semua hal yang selama ini terasa asing sebagai gambaran pemerintah. Dan semua hal tadi, semata-mata demi kepentingan rakyat.
Para pemuda yang mulai terjun ke politik harus memperhatikan betul tantangan ini. Politisi muda harus memiliki pandangan ke depan, bagaimana Indonesia 10-20 tahun lagi, ketika jumlah usia produktif dominan dalam populasi. Sekadar menduplikasi dan melanjutkan cara pandang dan pikiran generasi tua jelas hanya akan membuat bonus demografi menjadi bencana demografi.