Imajinasi soal pemuda Indonesia yang ideal selalu ada dan berubah menyesuaikan pemimpin negeri. Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah Indonesia. Para pemuda menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme yang sudah mengakar di Hindia Belanda. Semangat Sumpah Pemuda terus ada hingga pergantian rezim-rezim berikutnya. Selain menjadi simbol perlawanan, bagaimana rezim-rezim negeri ini memaknai eksistensi pemuda?
Keith Foulcher, dalam buku yang berjudul Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia, mencoba menbedah peristiwa Sumpah Pemuda melalui perspektif linguistik dan historis.
Terbentuknya Semangat Nasionalisme
Semenjak kolonialisme pertama kali masuk ke Nusantara, wilayah yang semulanya dapat diisi beragam ras lambat laun pudar diganti dengan wilayah administrasi rasialis. Masyarakat dikotak-kotakkan ke dalam wilayah khusus sesuai rasnya, contohnya permukiman Eropa, pecinan, dan kampoeng (diisi orang lokal).
Permukiman Eropa dirancang berada di daerah paling strategis. Segala fasilitas dibangun dekat dengan permukiman Eropa, seperti pusat pemerintahan, pasar, dan akses transportasi. Salah satu contoh tempatnya yaitu Meester Cornelis—yang sekarang kita kenal dengan Jatinegara.
Permukiman untuk orang-orang kelas dua berada di wilayah pecinan. Wilayah ini berada di sekitar pusat pemerintahan dan permukiman Eropa. Wilayah pecinan diisi orang-orang etnis Tionghoa atau Arab yang dipakai jasanya untuk keperluan dagang dan sebagai budak pemerintahan kolonial. Pemerintah memanfaatkan orang-orang ini untuk dieksploitasi tenaga dan kemampuannya.
Letak wilayah kampoeng dibuat jauh dari kedua permukiman tersebut. Posisinya yang sangat jauh dari pusat pemerintahan membuat kampoeng tidak terurus dan sulit dikontrol. Kondisi geografis yang tak menguntungkan ini membuat masyarakatnya rentan terjangkit penyakit dan tidak sejahtera.
Bukan hanya perihal wilayah, sistem administrasi seperti pekerjaan dan pendidikan juga turut dikontrol pemerintah kolonial lewat penyesuaian ras. Penerapan peraturan ini menempatkan para penduduk lokal di posisi yang tidak menguntungkan.
Kemunculan Bibit Nasionalisme
Diskriminasi rasial berlangsung secara kontinu hingga arah angin mulai berbalik. Memasuki abad ke-20, kesadaran masyarakat lokal atas penjajahan membuat dinamika politik semakin cair. Para intelektual dari golongan pribumi yang sudah terdidik lewat program pendidikan pemerintah—kebanyakan berstatus priyayi—merespons dengan menyebarkan bibit-bibit radikal soal nasionalisme. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang “bunuh diri kelas” alih-alih menghamba untuk jadi kaki tangan pemerintah kolonialisme.
Golongan intelektual pada saat itu mulai berupaya merumuskan sebuah bangsa yang merdeka. Para intelektual ini meramu pemahaman mereka untuk membangun sebuah bangsa yang tidak pernah ada sebelumnya (komunitas imajiner) bernama “Indonesia”.
Golongan intelektual dari beragam latar belakang kedaerahan berkumpul untuk mewujudkan terbentuknya sebuah bangsa yang bebas dari kolonialisme. Mereka merumuskan tiga falsafah, yaitu kelahiran, kebangsaan, dan berbahasa satu dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Sumpah itu menjadi penanda awal mula terbentuknya nasionalisme bangsa Indonesia.
Baca juga:
Pemaknaan Sumpah Pemuda
Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 berubah menjadi “ajian” yang digunakan untuk mendirikan sebuah bangsa baru bernama “Indonesia”. Dengan segala upaya dan “keberuntungan”, Indonesia akhirnya bisa merdeka.
Foulcher melihat bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa bersejarah dalam pergerakan di Indonesia, melainkan juga legasi yang dieksploitasi demi keuntungan setiap rezim. Selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Foulcher membagi beberapa periode soal “pengeksploitasian” Sumpah Pemuda ini.
Saat masa kemerdekaan, Sumpah Pemuda dijadikan semboyan untuk menyatukan semangat nasionalisme dalam mempertahankan bangsa yang baru seumur jagung. Pemuda dianggap sebagai bagian penting dalam gerakan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan—mencontoh cara yang dilakukan pada masa Pendudukan Jepang.
Maka dari itu, para tokoh, baik dari politikus maupun militer, memanfaatkan energi dan gejolak muda mereka untuk “mengisi” kemerdekaan Indonesia. Para pemuda—juga pemudi—diorganisir untuk melawan pengaruh Belanda yang ingin merebut kembali tanah jajahannya. Alhasil, banyak pemuda yang turun di medan laga membantu militer. Kebanyakan dari mereka tergabung ke dalam laskar yang organisasinya lebih cair ketimbang militer.
Pada masa Orde Lama, Sumpah Pemuda dikonstruksi ulang sesuai dengan semangat revolusioner ala Soekarno. Pada masa revolusi (1945-1950) pemuda ideal adalah mereka yang dicitrakan memiliki semangat turut andil dalam setiap pergerakan.
Akhirnya banyak tokoh-tokoh politik yang bermunculan di permukaan. Nama-nama mereka mulai dikenal sebagai wakil-wakil partai atau organisasi yang ingin mendengarkan aspirasi masyarakat. kehidupan politik pemuda saat itu begitu dinamis dengan adanya kebebasan demokrasi.
Atas nama revolusi, aktivitas para pemuda pun turut dibatasi. Contohnya yang terjadi pada industri musik Barat. Saat itu Soekarno membuat larangan untuk mendengarkan musik Barat karena dianggap tidak mencirikan budaya Indonesia. Musik barat juga dianggap akan melemahkan semangat revolusioner. Bahkan Soekarno pun sempat meledeknya dengan sebutan musik “ngak ngik ngok”.
Ketika Soeharto menjadi presiden, ia memanfaatkan Sumpah Pemuda sebagai pengendali masyarakat, terutama para pemuda agar berperilaku sesuai dengan Pancasila ala Orde Baru. Pembantaian oleh militer sepanjang 1965-1967 menjadi ancaman awal Soeharto kepada warga negaranya sendiri agar tidak bertindak macam-macam.
Alih-alih mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi wajib negara, Pancasila malah dijadikan alat ampuh pemerintah dalam menindas. Para pemuda yang melenceng atau punya pemikiran berbeda sedikit saja harus siap-siap terkena represi.
Pasa masa-masa razia rambut gondrong dan celana jin ketat semasa Orde Baru, banyak pemuda terkena getahnya. Dari sikap diktatoris inilah mulai muncul upaya perlawanan. Namun, tragedi-tragedi berdarah sebagai jawaban atas perlawanan terhadap pemerintah pun akhirnya tidak dapat terhindarkan sepanjang pemerintahan Soeharto .
Sebagai pengisi masa transisi selepas 32 tahun Soeharto berkuasa, Habibie hanya menjabat sebentar saja. Dirinya memaknai Sumpah Pemuda dengan berpidato pada tanggal 28 Oktober. Isi pidatonya mengajak para pemuda untuk membawa semangat reformasi dalam membangun Indonesia yang baru. Ia mengajak para pemuda menjadi bagian pertama dalam menjalankan Indonesia dalam versi terbarunya.
Tahun 1999 menjadi batasan waktu yang dikaji Foulcher mengenai pemanfaatan Sumpah Pemuda. Setiap rezim nyatanya punya kepentingan dan kekhasan dalam menciptakan imajinasi soal pemuda ideal.
Mereka menyadari jika pemuda adalah bagian yang paling penting dan punya pengaruh terhadap jalannya negara ini. Alhasil, ketika Sumpah Pemuda dirayakan pada 28 Oktober, setiap rezim selalu menyiraminya agar tetap subur dan menjadi alat pembentuk keidealan pemuda.