Konflik agraria yang mempersengketakan tanah masyarakat dan pihak penguasa merupakan imbas dari birahi pembangunan di Indonesia. Hal tersebut terkesan melucuti semangat kemerdekaan dan hak daulat atas tanah yang sejatinya menjadi ruang penghidupan sejak negara ini berdiri. Peristiwa konflik agraria dan perebutan atas tanah memang selalu menjadi potret dinamika pembangunan di negeri ini.
Tercatat telah terjadi sekitar 115 konflik agraria yang disebabkan oleh Proyek Strategis Nasional. Era Presiden Joko Widodo menjadi masa gelap penegakan semangat pembangunan yang meninggalkan 2939 kasus konflik agraria. Angka tersebut merupakan jumlah tertinggi yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konflik yang signifikan, terutama dalam ketegangan dalam proses pembangunan.
Kekerasan sebagai Motor Pembangunan
Data yang signifikan tersebut tentunya bukan hanya angka statistik yang lantas dijawab dengan sikap permisif negara. Sikap abai pemerintah kerap kali dipertegas dengan upaya-upaya pemaksaan yang tak jarang menimbulkan konflik berkepanjangan. Pola dan skema kekerasan kerap menjadi alat dalam melancarkan kehendak pembangunan. Celakanya fenomena ini tidak hanya berlangsung satu atau dua kali, bukan juga sekadar insiden yang terjadi begitu saja. Fenomena ini terus bergulir hingga menimbulan dugaan bahwa ini merupakan agenda terstruktur dan sistematis dalam proses pembangunan hari ini.
Baca juga:
Watak negara dalam memperlancar pembangunan menggambarkan bagaimana kemajuan itu bersifat ganda: membangun sekaligus merampas, menawarkan harapan bersamaan dengan kekecewaan, menyayangi secara hipokrit dengan menyakiti. Hal tersebut mengajak kita sebagai warga negara untuk berefleksi tentang peran negara dan tujuan pembangunan hari ini. Apakah narasi tentang pembangunan yang membawa harapan untuk kemajuan hanyalah anggapan retoris yang sama sekali tidak mencerminkan semangat kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat?
Rangkaian konflik yang tengah menghiasi dinamika pembangunan di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Seperti adanya kekeliruan dalam paradigma pembangunan hingga konflik kepentingan yang lebih memenangkan segelintir orang. Artinya, ada misorientasi dalam tujuan pembangunan nasional yang melihat dan mendudukkan tanah sebagai objek komoditas yang bernilai ekonomis belaka, yang kemudian menafikan nilai-nilai yang melekat pada tanah, seperti nilai sosial yang mengikat dan jauh lebih mahal.
Maraknya konflik yang terus bergulir akibat proses pembangunan yang berlangsung, tentunya menimbulkan pertanyaan kritis tentang mengapa peristiwa ini terus eksis, seolah-olah konflik dan peristiwa kekerasan menjadi kebiasaan dalam proses berjalannya pembangunan di negeri ini, yang menunjukkan bahwa kebiasaan ini tidak hadir begitu saja, bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan ini hadir secara struktural, digerakkan, dan diilhami oleh cara pandang atau ideologi pembangunan yang dominan.
Hari ini Indonesia telah memperkenalkan konsep pembangunan nasional yang menjadi agenda pokok dalam seluruh kebijakan politik pemajuan dengan target-target ekonomi yang deterministik. Pembangunan yang dimulai dari sektor ekonomi terus digalakkan dan diperkenalkan dengan istilah developmentalism, pembangunan ala kapitalisme yang berkembang dalam wacana ekonomi politik neo-liberal kontemporer. Konsep tersebut hendak memandu negara-negara terbelakang pasca Perang Dunia untuk maju secara ekonomis dan menggapai ilusi kesejahteraan yang ‘semu’.
Baca juga:
Developmentalism bertujuan untuk melibatkan pasar dalam proyek pembangunan negara-negara dunia ketiga dengan sokongan finansial dan jebakan ketergantungan melalui prioritas pokok kemajuan ekonomi. Artinya, doktrin dan logika utama cara pandang ini mengedepankan kepentingan ekonomi sebagai faktor yang paling determinan untuk menuju kesejahteraan dan kemakmuran ala negara-negara industri maju Barat, yang konsekuensinya memperdalam intervensi pasar untuk mengambil peran secara signifikan. Akibatnya, negara kerap meninggalkan perlindungannya terhadap masyarakat yang telah terdampak proyek pembangunan, bahkan tidak jarang ikut menjelma menjadi pelaku kekerasan untuk memuluskan pembangunan itu sendiri.
Dilansir dari Konsorsium Pembaharuan Agraria, pelaku kekerasan dalam konflik agraria di Indonesia mayoritas dilakukan oleh korporasi dengan persentasi (36%), Pemerintah (29%), serta individu penguasa lokal yang kuat (15%). Jejak ini menampakkan ketimpangan yang ironis dalam semangat pembangunan yang terus digelorakan sebagai agenda nasional. Rezim pembangunan negara dan korporasi telah menjadi pionir utama dalam pembangunan melalui skema investasi longgar dan memanjakan, dengan orientasi kemajuan infrastruktur dan agenda kepentingan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut lantas memicu praktik kesewenangan dengan segala cara untuk meraup keuntungani, seperti melalui kekerasan, eksploitasi yang menimbulkan krisis sosio-ekologis, perampasan ruang hidup, serta pelanggaran HAM.
Menilik Pembangunan yang Berkeadilan
Hingga kini, semangat pembangunan sistematis terus digalakkan melalui kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Semangat pembangunan infrastruktur menjadi penopang dalam setiap sektor, seperti industri energi, pangan, dan sebagainya.
Baca juga:
Rezim pembangunan yang berbagi peran dengan pasar beberapa kali mempertontonkan peristiwa tragis dalam dinamika pembangunan. Mata kita tersorot ke situasi di mana pembangunan dan perampasan berjalan beriringan. Kebutuhan ruang yang sangat besar untuk kepentingan pembangunan terus berlangsung dan semakin menunjukkan paradoks kesejahteraan yang kerap kali dibungkus dengan narasi-narasi pemajuan. Akibatnya, sbagian kita menaruh kecurigaan dalam legitimasi rezim yang berkuasa. Kecurigaan yang membuat sebagian dari kita skeptis bahwa model pembangunan ekonomi mampu menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Dinamika pembangunan yang berjalan sedemikan rupa pada akhirnya berpotensi menggeser cara pandang ataupun asumsi masyarakat dalam memaknai pembangunan saat ini. Proyek pembangunan dianggap sebagai yang bisa memiskinkan mereka di masa yang akan datang. Selain itu pendekatan konfliktual pembangunan juga berakibat pada hancurnya legitimasi pembangunan yang dinarasikan sebagai proyek pemajuan Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menyongsong kemajuan Indonesia diperlukan perhatian pada dampak skala mikro untuk menghindari jejak kekerasan yang kian akrab. Kemudian, upaya untuk menaruh perhatian pada pengakuan atas tanah-tanah adat diharapkan dapat diakomodasi agar terhindar dari kepemilikan yang tumpang-tindih. Hal tersebut dapat diupayakan bersamaan dengan regulasi invetasi yang ketat serta berpihak pada pertimbangan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kecil dan keberlangsungan lingkungan hidup.
Editor: Prihandini N