Sebagai salah satu paru-paru dunia, Indonesia memiliki kekayaan hayati yang beranekaragam. Dilansir dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) dari World Wildlife Fund (WWF) jumlah kekayaan biodiversitas di Indonesia sangat tinggi dengan lebih dari 38.000 spesies tumbuhan dan menjadi rumah bagi lebih dari 300.000 spesies fauna.
Ironisnya keanekaragaman flora dan fauna yang ada di Indonesia saat ini sudah mulai terancam dengan laju pembangunan yang sangat pesat. Semakin bertambahnya populasi manusia akan beriringan dengan meningkatnya kebutuhan pangan dan secara langsung juga berdampak pada bertambahnya pembangunan industri, kawasan ekonomi, dan perluasan kawasan pemukiman penduduk.
Perlu diketahui alih fungsi hutan di Indonesia dewasa ini sudah berada di tahap yang sangat masif. Sebagai gambaran, di Pulau Sumatera menurut Global Forest Watch dari 2011 hingga 2021 sudah ada sekitar 2,5 juta hektar hutan primer yang hilang akibat alih fungsi hutan yang sebagian besar telah menjadi hutan sawit. Di Kalimantan per tahun 2011 hingga 2021 sudah ada 4 juta hektar lahan yang hilang akibat deforestasi, dan jumlah ini adalah yang palling besar di Indonesia. Sementara itu, di Papua alih fungsi hutan dalam 10 tahun terakhir sudah menyentuh angka 1,5 juta hektar. Angka-angka ini tentu tidak boleh diabaikan jika kita masih ingin ekosistem terjaga dengan lestari.
Pembangunan Destruktif
Pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi pondasi utama pemerintah dan stakeholder terkait dalam melaksanakan pembangunan. Deforestasi dengan tujuan apapun jika dilaksanakan dengan cara salah akan membawa bencana yang besar. Bukan hanya kerusakan ekosistem saja yang terjadi, lebih jauh lagi jika berbicara mengenai deforestasi hutan maka dampak yang bisa terjadi lebih merusak dari yang bisa kita bayangkan.
Sebagai contoh, kerusakan hutan Amazon di Brazil dilaporkan telah melepaskan jutaan ton karbon ke atmosfer yang semakin memperparah pemanasan global dan mempercepat perubahan iklim yang turut berdampak pada peningkatan bencana alam. Di Indonesia dampak langsung dari deforestasi yang dirasakan ialah erosi tanah dan perubahan siklus hidrologi sehingga banyak daerah yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor akibat gundulnya hutan sehingga membuat suatu kawasan kehilangan daerah resapan.
Kerusakan lingkungan akibat pembangunan yang dilakukan secara asal-asalan tidak hanya turut disumbang oleh aktivitas industri saja, dalam hal ini Pemerintah Indonesia selaku pembuat dan pelaksana kebijakan juga mengambil peran yang cukup vital dalam menambah kerusakan alam. Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan kelonggaran izin lingkungan bagi perusahaan dan mempermudah perusahaan dalam membuka lahan untuk industri menjadi bukti bahwa pemerintah belum serius dalam mengelola hutan dan melestarikan ekosistem. Ini juga menjadi gambaran jelas seringkali kebijakan ekonomi berbenturan dengan konservasi alam. Maka patut menjadi catatan bagi legislator dan lembaga pembuat kebijakan lainnya untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dengan upaya konservasi alam sehingga pembangunan akan dirasakan sebagai sebuah kebijakan yang baik tanpa meninggalkan konflik di masyarakat.
Hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat tidak boleh luput dari perhatian. Deforestasi yang terjadi di berbagai wilayah seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat adat akibat penyerobotan kawasan hutan adat yang dialih fungsikan. Hutan adat di berbagai wilayah telah menjadi lahan untuk bertahan hidup masyarakat adat dan telah mereka jaga ratusan tahun.
Baca juga:
- Suku Kajang, Penjaga Kelestarian Hutan Bulukumba
- Hutan Dibabat, Pangan Terancam
- Humanisme Semu di Balik Eksploitasi Lingkungan
Gambaran jelas konflik hutan adat ini banyak terjadi di Papua dan Kalimantan yang menyebabkan mereka kehilangan mata pencarian dan lahan untuk mencari bahan makanan. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan mendekati kawasan tempat tinggal masyarakat adat seringkali membuat mereka harus mengalah dengan memindahkan tempat tinggal mereka ke kawasan baru. Perlindungan terhadap masyarakat adat dan tanah adat yang diatur dalam instrumen peraturan perundang-undangan pertanahan harus ditegakkan.
Ambisi dalam menggenjot pembangunan yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara ugal-ugalan terutama untuk kepentingan ekspansi kelapa sawit, area pertambangan, dan infrastruktur secara nyata telah merusak hutan primer yang selama ini menjadi rumah bagi ratusan ribu jenis flora dan fauna di Indonesia. Hutan yang sejatinya ada sebagai penyeimbang iklim dihancurkan tanpa perencanaan yang matang dan pertimbangan jangka panjang.
Di Papua dan Sumatera, alih fungsi hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, ataupun perluasan pemukiman telah membuat kerusakan pada habitat satwa langka seperti Harimau, Badak, hingga Orangutan. Papua yang sebelumnya menjadi benteng terakhir hutan tropis Indonesia kini mengalami tekanan serupa dengan pembukaan lahan untuk perkebunan dan proyek infrastruktur besar. Akibatnya, selain rusak dan punahnya keanekaragaman hayati, kerusakan hutan primer yang terjadi juga menyebabkan berbagai bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, dan mempercepat laju perubahan iklim.
Strategi Pelestarian
Deforestasi akibat pembangunan menjadi ancaman serius bagi lingkungan, terutama hutan. Pemerintah selaku pembuat dan pengawas kebijakan harus melaksanakan setiap kewajibannya. Perusahaan sebagai pelaksana pembangunan juga harus memperhatikan setiap instrumen dalam pembangunan infrastruktur tanpa merusak lingkungan. Masyarakat juga memiliki kewajiban dalam mengawasi setiap aktivitas pembangunan yang dilakukan. Aktivitas ekonomi seharusnya dapat berjalan beriringan dengan upaya konservasi alam agar tak ada yang dirugikan. Regulasi yang telah dibuat dalam rangka mempertahankan kelestarian alam harus dipatuhi oleh setiap pelaksana pembangunan sehingga pembangunan yang dilakukan dapat dipastikan tidak merusak ekosistem hutan.
Kerusakan hutan yang selama ini terjadi pada dasarnya juga akibat pengawasan yang tidak benar. Pengawasan terhadap proyek pembangunan seharusnnya dilakukan dengan betul oleh semua pihak, termasuk oleh masyarakat. Pemerintah tidak boleh abai denga kritik yang diberikan oleh masyarakat, dan perusahaan juga harus mau mendengarkan pendapat masyarakat mengenai pembangunan sarana dan prasarana yang bersentuhan langsung dengan lingkungan alami.
Upaya-upaya pelestarian ini juga harus diimbangi dengan usaha pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang pro-konservasi sehingga setiap pelaksanaan proyek pembangunan yang dilakukan dapat selaras dengan upaya menjaga kelestarian alam. Komitmen pemerintah dalam menjaga bumi dari perubahan iklim, peningkatan emisi karbon, dan perusakan lingkungan akibat pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan harus dilakukan dengan benar dan diawasi dengan serius.
Sebagai negara yang dikenal dengan kekayaan alamnya, Indonesia seharusnya menjadikan perlindungan lingkungan sebagai prioritas utama dalam setiap perencanaan pembangunan yang dilakukan. Kerusakan hutan primer yang terjadi akibat pembangunan yang tidak terkendali telah merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan hidup manusia secara global.
Hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, serta bencana alam yang semakin sering terjadi adalah bukti nyata bahwa deforestasi hutan dan pembangunan yang ugal-ugalan telah merusak tatanan lingkungan hidup. Sudah saatnya pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat bekerja sama dalam menciptakan model pembangunan yang berkelanjutan, dengan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan. (*)
Editor: Kukuh Basuki