“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.” – Siti Nurbaya Bakar
Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, berkicau di Twitter pada suatu siang di tanggal 3 November 2021. Kicauan ini dikutip oleh banyak orang dengan nada kekecewaan―lebih tepatnya kemarahan. Seorang menteri, yang bekerja dan digaji dengan uang rakyat untuk memihak kepentingan lingkungan hidup, malah memihak agenda pembangunan? Seorang warganet berkomentar: sudah terbalikkah Indonesia?
Baca Editorial: Jokowi Govt Justifies Forest Destruction for Development, But What Development?
Namun, saya tidak ingin ikut-ikutan marah. Saya ingin tahu landasan berpikir Bu Menteri. Maka tanpa buang waktu, saya menelusuri kicauan di Twitter itu dan mendapatkan fragmen utuhnya. Bagi Bu Menteri, “Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.”
Bu Menteri percaya bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikelola menurut kaidah-kaidah berkelanjutan dan prinsip-prinsip keadilan. Namun di saat yang sama ia juga menolak istilah deforestasi yang menurutnya tidak sesuai dengan konteks Indonesia. Ia memberi contoh: “Di Eropa, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk ke dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Itu tentu beda dengan Indonesia.”
Menurutnya, memaksa Indonesia untuk mencapai zero deforestation di tahun 2030 (sesuai amanat COP26) tidaklah adil sama sekali. Di Indonesia, ia melanjutkan kicauan, ada amanat Undang-undang Dasar untuk melindungi rakyat. Contoh yang diajukan adalah Kalimantan dan Sumatera yang infrastruktur transportasinya terbatas karena terhalang hutan, sementara di dalam dan di sekitar hutan terdapat puluhan ribu desa yang aksesnya terbatas.
“Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” tandasnya. Siti Nurbaya percaya amanat COP26 bukanlah untuk menghentikan deforestasi secara total, melainkan untuk menjaga alam tetap seimbang dan lestari. Dengan kata lain, mengelola hutan dengan manajemen-berkelanjutan.
Untuk sejenak, saya memuji pemikiran Bu Menteri. Ia tampak seperti benar-benar tahu cara mempermainkan persepsi pembaca. Seluruh argumen Bu Menteri terlihat berkaitan satu sama lain. Orang-orang yang berkumpul di COP26 tampak seperti tidak tahu apa-apa tentang konteks lingkungan hidup Indonesia. Seolah, mereka tidak punya riwayat konteks yang sama, yakni eksploitasi lingkungan hidup atas nama pertumbuhan ekonomi.
Orang luar diam saja, seolah begitulah hendak dikata.
Anehnya, sembari terus membaca argumen Bu Menteri, saya tidak lantas merasa lega dan memaklumi agenda pembangunan besar-besaran yang digadang-gadang oleh pemerintah selama ini. Dalam setiap gincu retoris Bu Menteri, mata saya perlahan menemukan jejak-jejak cacat nalar.
Bu Menteri keliru atau sengaja memilih-milih memberi contoh pembangunan yang besar-besaran. Ia berbicara tentang infrastruktur yang membantu rakyat mengakses fasilitas publik. Ia tidak berbicara tentang industri yang menebang hutan untuk sawit, memapas gunung untuk emas serta mengeruk tanah untuk batu bara. Ia tidak berbicara tentang industri yang menghasilkan polutan dan mengganggu kualitas udara, tanah dan air. Bu Menteri memilih menutup mata.
Bu Menteri juga tidak berbicara tentang untuk siapakah pembangunan besar-besaran itu sesungguhnya? Infrastruktur transportasi untuk menembus ke wilayah-wilayah terpencil itu, selain akan digunakan oleh rakyat, siapakah yang akan memanfaatkannya? Hutan begitu rentan bergeser bentuk secara perlahan menjadi komplek perumahan, vila, wahana bermain atau kawasan perkantoran hanya karena di sana diletakkan jalan. Siapa yang mengubah lanskap itu? Pemilik modal. Bu Menteri tidak mengungkitnya.
Bu Menteri bersikukuh semua itu hanya untuk menolong rakyat. Bu Menteri mengingatkan keberadaan Undang-undang Dasar yang mengamanatkan negara meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan sosial. Perekonomian dan kesejahteraan sosial milik siapa? Mengapa Bu Menteri tidak berbicara tentang UUD 1945 pasal 28H ayat 1, tentang hak setiap warga untuk bertempat tinggal di dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat?
Mestinya Bu Menteri berkicau di lokasi-lokasi yang terdampak deforestasi. Ya, di tengah korban langsung (mereka yang kehilangan tanah, hutan dan kearifan lokal karena diusir oleh preman, militer dan alat-alat berat yang mengeruk lahan tanpa permisi) maupun korban tak langsung (mereka yang semakin kerap mengalami bencana alam atau penurunan kualitas tanah, air, hasil pertanian dan hasil tangkapan ikan). Mestinya ia berkantor di sana.
Sehari setelah kicauan Bu Menteri, Kabupaten Malang dan Kota Batu mengalami musibah banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sungai di belakang kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyoklat dan membah. Jembatan beton yang biasa kami lalui sampai hancur dibuatnya. Kota Batu kena banjir bandang. Banyak rumah warga dan area persawahan rusak. Kota Malang memang berlangganan banjir, tapi Kab. Malang dan Kota Batu tidak pernah mengalami banjir yang sedemikian rupa.
Kota Malang pernah punya riwayat menghapus dua hutan kota miliknya untuk disulap menjadi perumahan dan mal yang paling prestisius, yaitu perumahan Dieng dan mal Matos. Demonstrasi besar-besaran menyambut rencana itu, melibatkan bukan hanya mahasiswa, tapi juga akademisi, aktivis LSM dan warga kota. Tapi demonstrasi dipukul habis oleh tentara dan preman. Tahun-tahun selanjutnya, Pemkot bahkan ingin menggusur hutan kota Malabar.
Akibatnya? Suhu Kota Malang berubah cepat menjadi lebih hangat. Banjir lebih sering terjadi di beberapa titik, terutama di daerah Sulfat-Belimbing. Lantas, mengapa Kota Batu yang tidak memiliki riwayat yang sama juga mengalami banjir besar? Salah satu bisnis paling laku di Kota Malang dan Kota Batu adalah bisnis perumahan. Belasan komplek properti muncul setiap tahun. Kawasan perkebunan dan hutanlah yang harus dipapas habis, meski dengan perizinan yang selalu bermasalah.
Apa yang Bu Menteri tahu tentang kecenderungan pada keserakahan? Sekali pertumbuhan ekonomi menjadi kiblat satu-satunya sebuah pemerintahan, bukan hanya negara yang akan tampil menjadi pelaku eksploitasi, melainkan gurita modal di belakangnya. Seringai tamak dan air liur yang tidak tertahankan karena mengetahui potensi uang di suatu tempat. Bu Menteri tahu apa tentang ini? Rakyat selalu melihat negara lalai menjalankan tugas.
Rakyat butuh negara dengan blue print tata kelola lingkungan hidup yang mengutamakan keseimbangan, blue print tata kota yang berkelanjutan, blue print rencana pertumbuhan ekonomi yang ramah kearifan lokal. Tapi di atas segalanya, rakyat membutuhkan hukum yang tegas. Kita sangat lemah pada yang terakhir. Bu Menteri kekeuh bahwa yang dibutuhkan rakyat Indonesia adalah pembangunan. Persetan dengan emisi karbon.
Tapi Bu Menteri tahu apa, sih?
One Reply to “Pembangunan vs Deforestasi: Bu Menteri Tahu Apa?”