Sudah 8 semester saya menjadi mahasiswa jurusan Studi Agama atau Perbandingan Agama. Saat pertama kali menaruh minat pada jurusan ini, saya merasa percaya diri. Saya yakin bisa mengikuti perkuliahan sekali pun tidak punya bekal sama sekali terkait kajian dari berbagai agama. Saya cuma punya bekal dari satu agama, dan itu agama yang saya imani. Itu pun saya belum memahami secara penuh dan komprehensif.
Menjadi mahasiswa Studi Perbandingan Agama merupakan sebuah tantangan bagi saya yang berlatar belakang alumni pondok pesantren. Di jurusan ini saya harus belajar banyak agama. Tidak hanya itu, saya harus menelan mentah-mentah asumsi negatif masyarakat yang mengatakan, “Buat apa belajar perbandingan agama? Agama kok dibanding-bandingkan? Atau yang paling menyakitkan ketika ada orang terdekat saya mengatakan, “Enggak yakin ya sama agamamu sekarang? Sampai kamu harus belajar banyak agama dan mencari di antara agama itu mana yang terbaik?”. Padahal, sebenarnya jurusan Studi Agama atau Perbandingan Agama tidak seperti itu.
Kali ini saya akan menjalaskan apa sebenarnya esensi jurusan Studi Agama-Agama (SAA)—atau mungkin di sebagian orang mengenalnya dengan Ilmu Perbandingan Agama (IPA)—agar masyarakat yang masih memandang negatif SAA secepatnya bisa memahami dan tidak lagi melontarkan asumsi-asumsi negatif.
Jurusan yang Tidak Banyak Dikenal
Sebelum lanjut mengenalkan apa itu jurusan Studi Agama, saya mencoba menjelaskan eksistensi jurusan SAA. Alih-alih menjadi jurusan favorit, memang realitanya jurusan ini jarang dikenal oleh banyak orang. Bahkan saya pernah ditanya sama teman mahasiswa satu kampus tentang jurusan saya dan ketika saya menjawab, “Studi Agama-Agama (SAA),” mereka malah plonga-plongo tidak mengetahuinya, bahkan ada yang mengira jurusan SAA adalah nama lain dari jurusan Sosiologi Agama. Padahal jelas-jelas jumlah ‘A’-nya beda.
Baca juga:
Gejala unik semacam itu sebenarnya tidak terjadi baru-baru ini. Ketidaktahuan dan ketidakminatan akan jurusan Studi Agama sudah terjadi sejak dua dekade akhir. Dikutip dari laman ASAI (Asosiasi Studi Agama Indonesia), jurusan Studi Agama atau Perbandingan Agama mengalami penurunan calon mahasiswa baru walaupun sebelumnya sudah sedikit. Rupanya penurunan populasi calon mahasiswa Studi Agama ini terjadi secara merata di jurusan Studi Agama di perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan ada beberapa yang berganti nama dan bahkan ditutup karena tidak adanya calon mahasiswa baru yang mendaftar.
Sejatinya Indonesia adalah negara heterogen. Realita semacam ini seharusnya dijadikan pendukung bahwa jurusan Studi Agama relevan untuk dipelajari di sini. Tapi nyatanya apa? Banyak yang tidak mengenalnya. Sekali pun ada, cuma setengah-setengah. Ini membuktikan bahwa kebanyakan masyarakat kita belum sadar akan esensi keragaman di negara kita.
Mengenal Studi Agama-Agama atau Ilmu Perbandingan Agama
Memang dari segi nama jurusan “Perbandingan Agama” agak kontroversial di telinga, sebab istilah ‘perbandingan atau ‘comparative’ sering mengacu pada mana hal yang baik, lebih baik, dan terbaik atau mana yang buruk, lebih buruk, dan paling buruk. Maka tak heran jika dikaitkan dengan isu agama, orang awam akan berpikir seolah “agama mana yang paling baik dan paling buruk?” Namun, benarkah seperti itu maksud dari istilah perbandingan agama?
Dengan senang hati, saya jawab tentu saja tidak begitu. Sebelum menaruh prasangka pada apa yang kita tidak tahu, kita harus cari tahu dulu asal muasal dari mana Ilmu Perbandingan Agama dan peristilahannya muncul. Istilah SAA muncul melalui proses panjang yang dipelopori oleh Max Muller, Bapak studi agama, yakni: Religionswissenschaft [re.li.gi.on.swi.sen.khaf]. Istilah Ilmu Agama (Religionswissenschaft) yang hadir pada abad ke-19 tidak sama dengan kajian teologi atau filsafat agama.
Baca juga:
Singkatnya seperti ini, agama itu adalah aspek cair yang mampu menembus banyak dimensi, bisa politik, budaya, media, sosial, gaya hidup, psikologi dan perorangan sebagai manusia. Lalu apa pengertian agama dari sudut pandang Studi Agama?
Nah, di sini masalahnya. Sebab tidak ada definisi tunggal yang komprehensif tentang agama itu apa (Elisabeth Nottingham), maka Studi Agama atau Perbandingan Agama hanya mendeskripsikan fenomena agama dengan beragam pendekatan. Jadi secara keilmuan, Studi Agama tak mampu berdiri sendiri. Ilmu humaniora lain pun kami pelajari, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, fenomenologi, kajian budaya, filsafat, sejarah. Hampir semua yang menyangkut dengan agama kita kaji di bangku kuliah.
Jadi, makna perbandingan yang diasumsikan orang-orang tentu keliru. Pada intinya, Ilmu Perbandingan Agama semata-mata mencoba memahami lebih dalam agama-agama serta fenomena-fenomenanya secara saintifik, serta mensintesis hasil pemahaman itu pada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Mengkaji agama apa adanya, bukan bagaimana agama seharusnya.
Saya berharap semoga tidak ada lagi yang mengansumsikan bahwa jurusan Studi Agama atau Perbandingan Agama berfungsi untuk membanding-bandingkan agama mana yang paling benar. Karena itu tidak benar.
Editor: Prihandini N