Saat melihat dan mendengar kabar segenap menteri Kabinet Merah Putih menjalani retret di Akademi Militer Magelang, saya tak henti-hentinya membayangkan betapa kikuknya para politisi dan orang-orang profesional itu harus berseragam dan berperilaku layaknya tentara. Mungkin sebelumnya tak pernah terbesit di fikiran mereka, bahwa telah tiba masanya mereka harus terpaksa menyesuaikan model pendidikan kedisiplinan khas Prabowo—yang instruktif dan hierarkis. Seperti mahasiswa baru di kampus-kampus, para menteri-menteri itu menyiapkan diri untuk rela serela-relannya menjalani ospek. Serta menerima dengan lapang dada sebuah pendidikan kepemimpinan yang terobsesi pada patriotisme semu dan kegenitan militeristik.
Di luar itu, foto kabinet dengan formasi lengkap dalam format monokrom yang diunggah di akun Twitter (X) resmi Prabowo—dengan loreng khas ABRI—justru memunculkan perasaan ngeri yang tak terjelaskan dalam diri saya. Foto itu, dengan nuansa yang begitu dingin dan seragam, seolah memanggil-manggil kepingan sejarah yang belum selesai dibicarakan. Foto-foto monokrom itu pula yang mendorong-dorong saya untuk mengingat masa lalu juga peristiwa-peristiwa tragis yang pernah terjadi di bangsa ini. Polarisasi, kebencian, pembantaian dan peran ganda (dwifungsi) yang diberikan kepada aparat militer dalam politik dan pemerintahan, adalah sedikit dari banyak betapa membahayakannya jika kekuasaan dipegang dengan cara yang totaliter.
Sekitar seminggu yang lalu, saya baru saja selesai membaca buku “Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950-1965” yang ditulis Keith Foulcher. Sebuah bacaan yang representatif dan cukup objektif dalam menggambarkan sejarah yang selama ini samar dan kerap dipenuhi bias. Terutama tragedi kekerasan genosida 65.
Meski buku ini berfokus pada isu-isu kebudayaan dan kesusasteraan, namun tetap jelas dan mampu dengan jeli mengurai keterkaitan pembantaian di masa lalu yang disponsori negara melalui intervensi dan komando militer. Buku tersebut mengingatkan kita bahwa sejarah kelam tak seharusnya ditinggalkan begitu saja; ia harus dikaji agar masyarakat kita tidak mengulang kesalahan dan terjebak pada lubang yang sama. Siapa yang tidak belajar dari sejarah, makai ia akan dikutuk untuk mengulanginya lagi, ungkap nasihat lama.
Maka jika tak dianggap berlebihan, saya kadang membayangkan Indonesia lima tahun ke depan seperti membayangkan imajinasi dan gambaran dunia yang diungkapkan oleh George Orwell dalam novelnya 1984. Dalam novel itu, Orwell memperkenalkan konsep “dunia Orwellian” atau Orwellian World. Sebuah dunia di mana totalitarianisme merajalela, dan kontrol negara terhadap individu berjalan hingga menembus batas-batas ruang privat. Bagi saya, yang paling mengerikan dari apa yang dibayangkan Orwell bukanlah sekadar penghapusan hak-hak sipil atau pembatasan kebebasan berpendapat, namun hilangnya ruang privat individu.
Baca juga:
- Animal Farm: Alegori Politik dan Kekuasaan
- Membaca Keluh Kesah George Orwell
- Distopia Totalitarian yang Semakin Dekat dengan Kenyataan
Di masa pemerintahan Orde Baru, kita pernah merasakan bagaimana negara mengintervensi segala aspek kehidupan pribadi. Larangan mengenakan jeans, rambut gondrong, dan penggunaan jilbab di institusi publik hanyalah contoh kecil dari obsesi negara untuk mengontrol dan membatasi pilihan pribadi warga negaranya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sosiolog Max Weber, birokrat yang baik seharusnya bersifat impersonal. Artinya, birokrat seyogyanya tidak mencampuri urusan pribadi warga negaranya.
Mencampuri yang saya maksud bukanlah mengabaikan peran negara dalam mengurus warganya, tetapi lebih pada dorongan negara untuk mengatur hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diatur. Ada pranata sosial yang sudah berjalan ratusan tahun dan tak perlu diganggu. Contohnya, pada masa Orde Baru, ada upaya untuk menghindukan masyarakat Tengger. Sebuah kelompok masyarakat adat di Jawa Timur yang mendiami lereng gunung Bromo.
Jauh sebelum negara hadir dan memperkenalkan agama-agama yang dianggap ‘resmi’, masyarakat Tengger telah menjalani agama yang mereka yakini turun-temurun. Mereka tetap eksis merawat tradisi dan adat istiadatnya sendiri. Kebijakan negara yang mengharuskan setiap warga mencantumkan agama di KTP, memaksa masyarakat Tengger untuk menjadi Hindu. Hindu dipilih dan dijadikan opsi sebab agama itulah yang paling mendekati corak kebudayaan masyarakat Tengger.
Baca juga:
Dunia Orwellian yang digambarkan Orwell adalah keadaan yang serba diawasi, tempat setiap individu merasa selalu berada di bawah pengawasan negara. Foto-foto kabinet dalam format monokrom yang dipublikasikan dengan tegas seakan menjadi pengingat bahwa dunia seperti itu mungkin sedang dalam perjalanan. Perlahan-lahan, ruang-ruang privat kita direduksi, digantikan dengan aturan dan intervensi yang kadang tidak perlu.
Di era disrupsi dan kebenaran tak lagi tampak sebagai kebenaran. Di mana teknologi memungkinkan negara untuk mengakses data dan informasi pribadi dengan sangat mudah, kita tak dapat melakukan apa-apa selain terus berhati-hati dan mempelajari hak-hak kita sebagai seorang sipil yang merdeka dan berdaulat.
Orwell mengingatkan kita bahwa totalitarianisme tidak hanya datang dalam bentuk kekerasan atau penindasan fisik, tetapi juga dalam hal yang lebih halus, seperti pembatasan ruang privat. Dunia Orwellian bukan hanya dunia di mana kebebasan sipil dibatasi, tetapi juga dunia di mana pilihan-pilihan pribadi dan preferensi individu dimonitor, diarahkan, bahkan dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar. (*)
Editor: Kukuh Basuki