Sebelumnya, merupakan mahasiswa ekonomi di salah satu universitas. Sekarang, sudah lulus dan sedang mencari pekerjaan.

Transportasi Umum untuk Semua

Bagaskoro .

2 min read

Langkah cepat setengah berlari menjadi pemandangan di Stasiun Yogyakarta sore itu. Kereta rel listrik (KRL) tiba terlambat dari estimasi kedatangan yang seharusnya pukul 17.30 menjadi pukul 17.39. Sementara itu, banyak di antara para penumpang KRL yang masih harus melanjutkan perjalanan menggunakan moda transportasi komuter lainnya, kereta Prambanan Ekspres (Prameks). Meskipun keberangkatan Prameks masih 11 menit kemudian dan jarak tempuh dari peron KRL ke peron Kereta Prameks tidak sampai 3 menit dengan berjalan kaki, entah mengapa mereka tetap terburu-buru.

Saya mendapatkan jawabannya setelah masuk ke gerbong Prameks yang sudah sangat penuh. Prameks merupakan kereta lokal dengan rute Stasiun Kutoarjo sampai Stasiun Yogyakarta dan sebaliknya. Sebelum ada KRL Jogja-Solo, rute Prameks berakhir di Stasiun Solo Balapan. Setiap hari, Prameks bolak-balik Kutoarjo-Yogyakarta sebanyak empat kali dengan keberangkatan pertama pada pukul 05.25 pagi dari Kutoarjo dan keberangkatan terakhir pukul 17.50 sore dari Yogyakarta. Jadi, penumpang KRL yang buru-buru itu ternyata perlu mengejar kereta terakhir Prameks hari itu. Jika ketinggalan, mereka terpaksa bermalam di stasiun hingga datang Prameks berikutnya di esok hari.

Permasalahan Transportasi Komuter

Melihat permasalahan transportasi komuter di daerah, saya pesimis akan ada jalan keluarnya. Pasalnya, di Jakarta saja Kementerian Perindustrian sulit memberi izin impor gerbong KRL bekas dari Jepang yang sangat dibutuhkan oleh para pekerja dari wilayah sekitar.

Padahal, transportasi komuter adalah kebutuhan publik yang sifatnya bukan rekreasional. Oleh karena itu, sama seperti energi dan pangan, pemerintah pusat maupun daerah harus hadir dalam pemenuhan kebutuhan transportasi umum. 

Besarnya biaya penyediaan transportasi umum yang layak menyebab sektor swasta enggan masuk untuk menyediakan kebutuhan tersebut. Di sinilah pemerintah mesti andil untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak mampu diakomodasi oleh sektor swasta demi pemenuhan kebutuhan mendasar rakyatnya, bukan untuk ladang bisnis. 

Belum selesai dengan masalah kurangnya transportasi umum, muncul masalah baru berupa sistem pembayaran transportasi umum yang tidak inklusif seperti yang baru saja diberlakukan di MRT Jakarta. Pengelola MRT Jakarta hanya membolehkan pengguna MRT melakukan pembayaran memakai dompet digital yang telah bekerja sama dengan mereka. 

Hal itu sudah menyalahi hakikat transportasi umum sebagai kebutuhan masyarakat luas. Selain inklusif bagi semua kalangan, transportasi umum juga harus inklusif terhadap semua alat pembayaran selama alat tersebut sah. Terlebih, Bank Indonesia sudah mengeluarkan QRIS yang memungkinkan transaksi satu pintu menggunakan seluruh dompet digital yang sudah terdaftar di BI.

Transportasi Umum di Daerah 

Tidak hanya kota-kota besar saja yang membutuhkan transportasi umum, daerah-daerah yang belum merasakan kemacetan pun membutuhkan transportasi umum. Aktivitas bepergian di daerah memang tidak sesering dan seramai di kota-kota besar. Akan tetapi, jika menunggu ramai, sama saja kita mengulangi kegagalan pembangunan transportasi umum di kota besar.

Sayangnya, di mana-mana, pemerintah lebih sering membangun jalan tol sehingga hanya orang bermobil yang dapat merasakan manfaatnya secara langsung. Orang yang belum punya dan tidak begitu butuh mobil pribadi pun jadi merasa perlu punya karena infrastruktur yang ada memudahkan mobilitas pengguna mobil.

Saya adalah orang yang pindah ke Kutoarjo dari Depok karena tempat tinggal saya sebelumnya tergusur oleh pembangunan tol. Namun, rumah baru di Kutoarjo belum berdiri kokoh ketika jalan tol Tegal-Yogyakarta direncanakan melewati desa saya. Beruntung, rencana jalan tol tidak tepat melewati rumah saya. Hampir saja keluarga saya terkena imbas keserakahan pembangunan untuk kedua kalinya. 

Sutandi dalam artikel jurnalnya yang berjudul Pentingnya Transportasi Umum untuk Publik (2015) menilai sistem transportasi umum berkelanjutan memberikan kontribusi positif terhadap keberlanjutan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup komunitas yang dilayani. Membangun transportasi umum sama saja dengan membangun keseluruhan kota.

Membangun transportasi umum membutuhkan political will dari pemerintah setempat. Political will dalam pembangunan transportasi umum tersebut hadir dalam bentuk kebijakan yang mendukung terselenggaranya angkutan umum massal melalui penyediaan prasarana transportasi seperti pembangunan halte-halte dan penyediaan jalur bus rapid transit (BRT). 

Tidak harus seperti Transjakarta yang punya jalur khusus, pengadaan BRT di daerah yang masih sepi kendaraan pribadi masih memungkinkan bus untuk berbagi jalan dengan kendaraan pribadi. Oleh karena itu, biaya untuk mengadakan BRT di daerah-daerah tidak akan semahal di kota-kota besar. 

Baca juga:

Transportasi umum bukan hanya fasilitas yang boleh didapatkan penduduk di kota-kota besar. Penduduk kota dan desa sama-sama membayar pajak kepada negara. Sudah semestinya negara menaruh perhatian yang sama terhadap akses transportasi umum di seluruh wilayah pemerintahannya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh mereka.

 

Editor: Emma Amelia

Bagaskoro .
Bagaskoro . Sebelumnya, merupakan mahasiswa ekonomi di salah satu universitas. Sekarang, sudah lulus dan sedang mencari pekerjaan.

One Reply to “Transportasi Umum untuk Semua”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email