Kejadian ini terjadi dua tahun lalu. Namun, saking dongkolnya, saya masih ingat betul peristiwa tersebut.
Sore it gerimis, tapi saya tak hendak menepi karena tidak membawa mantel. Jalan Gajayana, Malang sedang macet-macetnya. Maklum, jam pulang kerja dan jam pulang kuliah. Sepanjang Jalan Gajayana saya tidak menemukan tempat untuk berteduh. Kebanyakan bangunan di sana mepet dengan jalan. Bahkan, sekadar menepi saja sulit karena trotoarnya tidak tertata.
turun hujan semakin lebat, macetnya Jalan Gajayana semakin menyebalkan. Kepepet, saya mengeluarkan bakat terpendam, yakni naik motor melawan arah sambil menggoceknya di sela kendaraan-kendaraan lain.
Baca juga:
Masih seru-serunya berusaha keluar dari buntalan kemacetan, tiba-tiba saya mendengar suara sirene dari belakang. Rasa kemanusiaan dan taat peraturan membuat saya perlahan menepikan motor, masuk lagi ke macet dan merelakan tubuh diguyur hujan lebih lama.
Ambulans, pemadam kebakaran, atau mobil patroli. Saya merasa biasa saja akan kehadiran mereka di jalanan yang padat. Mungkin, pasien di ambulans sedang dalam keadaan darurat dan mobil pemadam kebakaran sedang berpacu dengan si jago merah. Kalau mobil patroli yang mengiringi mobil pejabat? Ya, tak apa juga. Mungkin pejabat gupuh untuk rapat, menghadiri peresmian, atau hal lain yang sifatnya untuk kepentingan rakyat
Di depan dan di belakang yang bisa saya lihat melalui spion, kendaraan lain ikut menepi seiring suara sirene yang semakin keras.
Namun, ketika suara sirene benar-benar dekat, ada yang janggal. Ada suara gemuruh khas knalpot mobil sport yang jumlahnya tidak sedikit. Perasaan yang awalnya rela berubah menjadi marah. Benar saja, beberapa detik kemudian, lewatlah mobil patwal polisi yang merupakan sumber suara sirene, mengekor di belakang mobil
Kedongkolan sudah pada puncaknya. Tak peduli apakah sekeliling saya heran, ngakak, atau ikut misuh dalam hati masing-masing. Sebetulnya, terbesit niat untuk mengejar konvoi tersebut, kemudian menyalip lantas menabrakkan motor saya pada salah satu mobil atau menghadang mobil patroli dan membanting sirenenya. Untung saja, niat yang tidak sehat akal itu tidak jadi saya laksanakan.
Saya dan mungkin juga beberapa orang yang ikut menepi merasa menjadi orang yang tidak berdaya, tersisihkan haknya dalam menggunakan jalan. Sampai mobil terakhir yang memiliki ciri sama dengan mobil-mobil di depannya lewat, yang bisa saya lakukan hanya misuh.
Jengkel rasanya, niat baik menepi untuk memberi jalan demi yang dipikir darurat, yang lewat malah bedebah perampas hak. Sudah hujan deras, jalan sempit dan ramai, kok, ya dancuk banget pakai sirene? Buat apa pakai sirene kalau bukan menyuruh orang lain minggir? Bayar pajak berapa, sih? Atau memang benar-benar ada yang darurat?
Pengalaman ini bukan satu-satunya bagi saya. Pernah juga di Batu saya mendengar sirene sangat keras, tapi diikuti knalpot khas moge. Pengalaman membuat saya paham bahwa jalanan milik semua orang, saya tidak mau menepikan motor dan malah mempercepatnya. Berkali-kali saya mendapat klakson dari moge-moge di belakang. Meski takut dan sedikit gemetaran, saya tetap berada di depan pembawa sirene. Kebetulan, jalan yang berlawanan arah sedang ramai sehingga rombongan di belakang saya tidak bisa menyalip dan tetap pada jalurnya.
Baca juga:
Rasanya tak adil. Bayar pajak atau tidak, menyewa patwal untuk konvoi mobil atau moge bukan hal yang bijak. Kalau memang konvoi dan mau tahu jalan, ya, sudah, sekalian tahu macetnya juga, sekalian bareng dengan orang-orang yang berangkat atau pulang kerja. Apa nggak kepikiran kalau yang disuruh minggir hanya demi konvoi bersirene adalah orang yang ditunggu keluarganya? Atau, orang yang sedang kurang sehat?
Nuraninya dipakai, nggak, sih? Kalau mau konvoi, tapi nggak mau kena macet, ya, silakan konvoi pakai helikopter, Bos!
Editor: Emma Amelia