Saya dibuat sakit kepala oleh kemacetan di jalanan Kota Makassar. Kemacetan itu diperparah dengan cuaca di siang hari yang terasa seperti simulasi Padang Mahsyar. Memang bukan belakangan ini saja saya terjebak kemacetan, tetapi seminggu terakhir sepertinya kesabaran saya benar-benar diuji selama menyusuri jalanan kota.
Persoalan kemacetan di Makassar harus segera dipikirkan dan ditangani oleh pihak berwenang. Kita harus berhenti mewajarkan masalah ini dengan dalih bahwa kota besar yang lain pun mengalami hal serupa. Dengan terus memberi pemakluman, sama saja kita siap untuk menghabiskan setengah umur di perjalanan.
Kendaraan Pribadi atau Transportasi Umum?
Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa sudah terlalu banyak kendaraan pribadi yang tersebar di Makassar, baik itu motor ataupun mobil. Paur STNK Dirlantas Polda Sulsel, IPTU Ade Firmansyah mengkonfirmasi hal ini saat diwawancarai oleh Celebes Media Id. Dia mengatakan bahwa jumlah kendaraan pribadi yang terdata di basis data Polda Sulsel pada tahun 2018 mencapai 1.563.608 unit dan diprediksi akan terus bertambah 5%-6% tiap tahunnya. Angka ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengontrol kendaraan pribadi di Makassar.
Setidaknya ada empat kategori perjalanan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat perkotaan di seluruh dunia; pertama, mereka yang selalu menggunakan transportasi umum untuk berbagai alasan. Alasan-alasan ini dapat mencakup salah satu atau semua hal berikut; fasilitas transportasi umum yang memadai, tidak memiliki akses ke kendaraan pribadi, dan tidak mampu memenuhi biaya bensin, tol, dan parkir.
Kedua, mereka yang tidak punya pilihan lain selain menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya transportasi umum yang memadai.
Ketiga, mereka yang dapat berjalan kaki atau bersepeda ke tempat tujuan. Hal ini baru bisa diwujudkan jika trotoar dan jalur sepeda yang aman sudah tersedia.
Keempat, masyarakat memiliki pilihan untuk menggunakan transportasi umum, tetapi kesempatan untuk mengemudi juga ada. Dalam kategori terakhir inilah banyak usaha yang harus dilakukan untuk menarik orang agar meninggalkan kendaraan pribadi dan mulai menggunakan transportasi umum untuk pergi bekerja atau sekolah.
Melihat kategori di atas, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa Makassar hanya memfasilitasi kendaraan pribadi saja, seperti yang tampak pada pembangunan jalan tol yang gencar dilakukan. Sementara pembuatan jalur khusus untuk bus dan sepeda masih sebatas impian.
Sebagai pengguna motor yang juga termasuk kendaraan pribadi, saya paham alasan mereka memilih menggunakan mobil ataupun motor dibanding harus naik transportasi umum yang tersedia di Makassar. Sangat sulit untuk meyakinkan orang-orang agar menggunakan transportasi umum, ketika ada pilihan untuk mengemudi sendiri.
Mencoba meyakinkan masyarakat untuk mulai meninggalkan kendaraan berarti harus siap untuk mewujudkan transportasi umum yang melimpah, dapat diandalkan, nyaman, aman, dan terjangkau. Tentu lebih efisien menggunakan kendaraan pribadi daripada menunggu bus, apalagi pete-pete (angkot) yang seringnya terlalu lama menunggu penumpang.
Saat ini, pete-pete dan bus adalah moda transportasi umum yang bertebaran di jalan kota Makassar. Sayangnya, keduanya masih jauh dari memadai, bahkan kedua moda transportasi umum ini kerap saling bertikai. Akibatnya, ada beberapa jalur yang belum dimasuki bus karena menghindari pertikaian dengan sopir pete-pete.
Kritikan terhadap moda transportasi umum yang buruk juga diungkapkan oleh Newman & Kenworthy (2007), bahwa di sebagian besar kota di Asia hanya ramah pada mobil-mobil pribadi, misalnya dengan pembangunan jalan besar dan fasilitas parkir yang luas. Akibatnya, sebagian besar kota-kota ini hanya memiliki layanan bus berkualitas buruk yang beroperasi dalam kemacetan parah dan hanya ada sedikit jalur aman untuk mereka yang bersepeda dan berjalan kaki.
Keadaan seperti ini seolah memaksa masyarakat menggunakan mobil atau sepeda motor hanya untuk menghemat waktu di perjalanan. Oleh karena itu, banyak kota yang mengalami kekacauan lalu lintas karena permintaan ruang dari moda transportasi pribadi jauh lebih besar dibandingkan jalur sepeda, pejalan kaki, dan jalur transit bus.
Selain kegagalan pemerintah menciptakan moda transportasi umum yang layak, anggapan bahwa kendaraan pribadi adalah simbol status sosial secara tidak langsung juga memengaruhi pesatnya pertumbuhan motor dan mobil di perkotaan. Kalau stigma kendaraan sebagai status sosial masih terus dihidupkan di masyarakat, maka meskipun transportasi umum telah memiliki standar yang tinggi, sebagian besar orang akan tetap bepergian dengan kendaraan pribadi.
Stigma tersebut membuat ketergantungan terhadap kendaraan pribadi dilihat sebagai kondisi yang lumrah ditemukan dalam kehidupan modern. Hal ini juga berkaitan dengan banyaknya orang yang merasa terikat pada kendaraan mereka, seperti dengan memberinya nama dan menikmati perasaan yang didapatkan saat bepergian menggunakan kendaraan pribadi. Mimi Sheller menyebut ini sebagai emosi otomotif, yaitu perasaan, hasrat, dan pengalaman yang diwujudkan dengan mengemudi. Emosi ini pula yang membuat orang-orang semakin sulit meninggalkan kendaraan pribadi.
Kemacetan yang terjadi di Makassar adalah kombinasi dari semakin banyaknya kendaraan pribadi dan tidak adanya transportasi umum memadai. Pemerintah harus berani menekan produksi dan pembelian kendaraan pribadi di kota ini karena rasanya Makassar sudah cukup sesak sekarang. Akan tetapi, untuk sampai pada pembatasan kendaraan pribadi, pemerintah harus menyediakan transportasi yang aman dan nyaman untuk mengakomodir mobilitas penduduk tiap harinya.
Sebelum semua angan-angan di atas terealisasikan, marilah sedikit bersabar (lagi) menghadapi panas dan macetnya kota ini.
***
Editor: Ghufroni An’ars