Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Eksistensi Studi Hubungan Internasional di Bawah Pasal 188 KUHP

Hillbra Naufal Demelzha Gunawan

2 min read

Pengesahan RKUHP memicu berbagai kontroversi dengan banyaknya pasal ambigu yang cenderung membelenggu pikiran, membunuh demokrasi, dan membungkam intelektualitas akademisi. Perdebatan panjang selama 60 tahun terasa sia-sia apabila output yang dihasilkan hanyalah pasal-pasal yang bermasalah. Salah satunya adalah Pasal 188 mengenai penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Pasal 188 Ayat 1 menyebutkan bahwa siapa saja yang menyebarkan atau mengembangkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dapat dipidana paling lama 4 tahun. Permasalahan muncul karena tidak ada penjelasan konkret mengenai maksud dari pertentangan ideologi serta siapa yang berwenang untuk memutuskan bahwa ideologi tersebut bertentangan dengan Pancasila. Pasal ini tentu memiliki kontradiksi pada studi Hubungan Internasional yang mempelajari berbagai macam ideologi selain Pancasila, baik dari sayap kanan ataupun sayap kiri.

Bagaimana dengan Kajian Komunisme dan Marxisme?

Kontradiksi terjadi pada Pasal 188 Ayat 6 yang berbunyi “tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan”. “Kepentingan ilmu pengetahuan yang dimaksud di antaranya mengajar, mempelajari, menguji, dan menelaah di lembaga pendidikan maupun penelitian dan pengkajian tanpa bermaksud menyebarkan atau mengembangkan ajaran tersebut,” ujar Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries.

Baca juga:

Pengecualian tersebut hanyalah omong kosong apabila masih terdapat razia buku komunisme/marxisme di Indonesia. Menurut Franz Magnis, razia buku beraliran kiri merupakan tanda kebodohan besar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi pasal ini menjadi pasal karet melalui subjektivitasnya. Sivitas akademika Hubungan Internasional bisa saja terjerat Pasal 188 Ayat 1 apabila kepentingan politik penguasa jauh lebih penting dibandingkan eksistensi akademisi di negeri ini. Secara teoretis, Indonesia mengangkat konsep negara berdasarkan atas hukum (Rechsstaat), dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat) (Budiardjo, 2007). Nyatanya, praktik hukum di Indonesia justru berbanding terbalik dengan konsep-konsep yang sudah dikemukakan.

Meskipun terdapat pasal sebagai pengecualian untuk kepentingan pengetahuan, bukan berarti para akademisi bisa bebas bergerak secara progresif dalam melakukan sebuah kajian. Kembali lagi kepada politik kekuasaan di Indonesia, Pasal 188 Ayat 1 bisa juga digunakan sebagai “senjata” bagi para elite politik di Indonesia untuk menyerang akademisi yang berada di kubu oposisi.

Kembali pada pembahasan studi Hubungan Internasional, studi ini bisa dibilang sangat rawan karena secara tidak langsung diharuskan mempelajari ideologi lain, termasuk ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Pemerintah cenderung mengambil jalur aman sekaligus mempersiapkan sebuah “senjata” untuk para oposisinya. Bukan tidak mungkin pasal ini justru menjadi bumerang bagi pemerintah dalam mengambil sikap. Nilai-nilai demokrasi yang ada tidak sejalan dengan kualitas produk wakil rakyat yang tidak berpihak kepada masyarakat. Tuhan tak pernah menganugerahi negarawan atau filsuf atau siapapun dengan kebijaksanaan untuk merumuskan suatu sistem pemerintahan yang bisa langsung dijalankan semua orang begitu saja (Levitsky & Ziblatt, 2019).

Fenomena ini jelas memantik memori bahwa pelaksanaan demokrasi memang tidak seluar biasa seperti masyarakat percayai melalui konsep-konsep utopisnya. Bukan tidak mungkin masyarakat akan punya persepsi mengenai kemunduran atau bahkan kematian demokrasi. Hanya segelintir kelompok masyarakat dan akademisi yang berani mengkritik pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung. Kecil kemungkinan kritik masyarakat akan diterima dan ditimbang oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena pemerintah kurang bisa membedakan antara kritik dan hinaan sehingga merancang suatu pasal untuk mengantisipasi kritik oposisi. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia adalah oposisi berkoalisi dengan petahanan. Koalisi inilah yang membuat demokrasi bisa dikatakan mengalami kemunduran dalam pelaksanaannya. Bukan hanya itu, kemunduran demokrasi juga ditunjang oleh pasal-pasal RKUHP yang bermasalah.

Perjalanan RKUHP juga menimbulkan berbagai persepsi dari anggota DPR, salah satunya Taufik Basari, anggota DPR Komisi 3 Fraksi Nasdem. Taufik menilai bahwa Pasal 188 ini merupakan pasal karet yang memerlukan tafsir ketat. Dari persepsi seorang wakil rakyat saja sudah menunjukkan bahwa pasal ini memang bermasalah, namun mengapa pemerintah tetap mengesahkan pasal-pasal ini?

Baca juga:

Mengancam Studi Hubungan Internasional

Wajar saja apabila rakyat mempertanyakan kinerja DPR dalam meninjau rancangan undang-undang jika regulasi terkait memicu berbagai kontroversi. Terlebih hal ini juga menyinggung eksistensi dari sivitas akademika Hubungan Internasional yang jelas mempelajari ideologi-ideologi lain selain Pancasila. Apabila ditinjau lebih jauh, bukan eksistensi studi Hubungan Internasional saja yang terancam, melainkan juga fakultas lain seperti Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Hukum (FH). Kedua fakultas tersebut seharusnya menjadi fakultas yang secara aktif mengamati dan memberi kritik progresif terhadap pemerintah.

Melihat berbagai polemik yang terjadi pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia ini, sudah menjadi tugas bersama untuk menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi yang ideal. Indonesia harus melaksanakan demokrasi yang merangkul seluruh keberagaman, termasuk persepsi mengenai berbagai macam ideologi yang masuk ke Indonesia.

Mungkinkah terpikir bahwa para wakil rakyat yang melanggar konstitusi juga telah melanggar ideologi Pancasila? Dilansir dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), tingkat pidana korupsi di Indonesia meningkat tajam pada tahun 2021 jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut harus menjadi evaluasi terhadap kinerja anggota DPR dalam meninjau rancangan undang-undang. Hukuman seharusnya dipertajam lagi untuk para koruptor, bukan malah merancang pasal karet yang dapat menjerat kalangan akademisi.

Hillbra Naufal Demelzha Gunawan
Hillbra Naufal Demelzha Gunawan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email