“Kamu ingin melanjutkan kuliah magister, buat apa?” tanya saya kepada seorang teman. Teman saya menjawab, “Aku ingin melanjutkan kuliah magister untuk menjamin masa depan. Dengan memiliki gelar magister, peluangku mendapatkan pekerjaan yang mapan lebih terbuka lebar.” Saya mengernyitkan dahi setelah mendengar jawaban teman saya. Rasanya aneh jika ada orang yang berkuliah hanya untuk kepentingan ekonomi.
Baca juga:
Saya sependapat dengan pendapat Sujiwo Tejo, “Pekerjaan yang tidak dikerjakan atas nama cinta akan menjadi sia-sia.” Sama halnya dengan kuliah. Jika seseorang berkuliah hanya karena dorongan kepentingan ekonomi, ia akan menjalani kuliah dengan tidak berlandaskan cinta. Padahal, menjalani kuliah dengan landasan cinta akan terasa lebih nikmat; mengerjakan tugas akan terasa mudah, tidak menjenuhkan, dan tanpa beban.
Anehnya, ada juga dosen yang mendukung argumen bahwa kuliah magister semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan mapan. Dosen tersebut menjelaskan bahwa kehidupan sosial manusia diatur oleh sistem dari luar. Alhasil, di situ manusia menjadi “benda mati” yang hanya menerima “aturan” dari luar. Dalam hal ini, “aturan” atau “sistem” tersebut mendesak manusia untuk lulus pendidikan pascasarjana semata-mata demi mengamankan jabatan pekerjaan tertentu. Banyak instansi maupun perusahaan mengasumsikan bahwa semakin tinggi gelar seseorang otomatis semakin tinggi keilmuannya.
Padahal, semakin tinggi gelar tidak menjamin kualitas keilmuan seseorang. Pengalaman saya justru mengatakan bahwa banyak di antara orang-orang yang berkuliah magister menjalaninya dengan tidak serius. Intinya, mereka berkuliah “asal lulus”. Tidak mengherankan jika mereka akhirnya mengerjakan tugas mepet deadline, hanya menjadi pendengar selama di kelas, dan kesadaran literasinya masih rendah.
Lantas, untuk apa kuliah magister kalau bukan hal-hal sehubungan dengan pekerjaan? Jawabannya saya temukan saat berinteraksi dengan dosen S1 saya. Beliau mengatakan, “Ingat, kuliah magister jangan untuk mengejar pekerjaan! Kerja dan kuliah adalah dua hal yang berbeda. Kalau kuliah magister bertujuan buat menajamkan pengetahuan.” Saya setuju, kuliah magister memang semestinya untuk menajamkan pengetahuan.
Akan tetapi, bukankah meski tidak kuliah magister, kita tetap bisa menajamkan pengetahuan? Tentu. Namun, penajaman pengetahuan dalam berkuliah, terutama kuliah magister, memiliki konteks berbeda dalam interpretasi saya.
Dengan berkuliah magister, kita dilatih untuk membentuk ketajaman intelektual. Saya membandingkan belajar mandiri ketika menganggur selama beberapa bulan setelah lulus sarjana dengan belajar saat kuliah magister. Saat belajar mandiri, saya merasa tidak ada rangsangan dari luar untuk mengaplikasikan hasil belajarnya.
Sementara itu, ketika saya melanjutkan kuliah magister, hal yang saya pelajari secara mandiri bisa terimplementasikan. Sebab, ada rangsangan dari luar. Misalnya saja, tugas riset dan membedah teori dari dosen. Lebih terasa lagi ketika sesi kelas berlangsung; saya bisa mengajukan pertanyaan, argumen, dan kritik dari hal yang telah saya pelajari.
Tidak cuma itu, saya terangsang untuk mempelajari materi baru setelah kelas berakhir. Saya ingat, pada awalnya, saya tidak memiliki ketertarikan untuk mempelajari teori-teori sosiologi dari tokoh Islam. Namun, dosen magister saya memberikan materi dua tokoh sosiologi Islam yang akhirnya memantik inisiatif saya untuk belajar dan memahami sosiologi dalam perspektif tokoh Islam. Ilmu ini terhitung segar bagi saya yang selama berkuliah S1 hanya mempelajari perspektif sosiologi dari tokoh-tokoh Eropa.
Selain itu, kuliah magister bisa menajamkan pengetahuan. Saat kuliah magister, saya bertemu teman dari latar belakang keilmuan sarjana yang beragam. Perbedaan keilmuan akan membentuk transfer pengetahuan baru dari hasil diskusi dalam memandang fenomena.
Kuliah magister juga membantu saya untuk memantapkan pemahaman terhadap materi-materi yang saya dapatkan ketika kuliah sarjana. Contohnya, ketika kuliah sarjana saya mendapatkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dulu, saya tidak begitu paham materi di mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ketika kuliah magister, mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan ternyata menjadi materi wajib. Saya, yang tidak lagi kaget dengan bahasan filsafat, bisa dengan mudah memahami isi dan inti materi-materi Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Baca juga:
Kuliah magister untuk menajamkan ilmu pengetahuan terasa tidak beban. Yang selama ini menjadi beban selama berkuliah magister adalah pikiran-pikiran tentang setelah lulus ingin melamar kerja di mana? Atau, ketika lulus magister nanti, bisa dapat jabatan kerja dan gaji yang bagus atau tidak?
Pikiran-pikiran yang terlalu fokus menimbang untung-rugi (material) tersebut jadi sangat membebani karena uang yang dikeluarkan untuk kuliah magister memang sangat besar. Bahkan, uang tersebut bisa saja dialihkan untuk modal bisnis. Jadi, kalau tujuannya hanya untuk kepentingan mengejar uang, untuk apa kuliah magister? Toh, uang yang dikeluarkan untuk kuliah bisa lebih cepat berbiak kalau digunakan untuk modal bisnis?
Editor: Emma Amelia