Aceh Tamiang (Atam) adalah kabupaten yang sangat personal bagi saya. Di sanalah tempat saya lahir dan besar. Kabupaten ini relatif belum maju, tapi terkenal kosmopolitan dan memiliki keragaman etnis yang tinggi. Belum majunya Atam diduga kuat berkorelasi dengan masalah banjir yang sering terjadi. Banjir di Atam, layaknya banjir di Ibukota Jakarta, rutin terjadi setiap tahunnya.
Bedanya, berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengatasi banjir di Jakarta (walau belum berhasil) sementara di Atam satu upaya pun seolah tidak ada. Kemudian, akar masalah banjir di Jakarta adalah lahan yang lebih banyak ditanam beton dibanding pohon. Sementara itu, banjir di Atam terjadi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (PKS).
Baca juga:
Akhir Oktober ini, banjir kembali menerjang Atam, yang terparah sejak banjir bandang 2006. Disebut terparah karena banjir kali ini bertahan hingga dua pekan, hampir lima kali lipat lamanya daripada banjir bandang 2006 yang hanya bertahan tiga hari. Seperti banjir bandang 2006, banjir kali ini menenggelamkan seluruh kecamatan di Atam dan memutus jalur transportasi Aceh-Sumatera Utara.
Pertanyaannya, mengapa banjir di Atam terus terjadi dan semakin parah?
Dosa Masa Lalu
Kabupaten Aceh Tamiang memiliki luas wilayah sebesar 195.702,50 hektare setelah mekar dari kabupaten Aceh Timur tahun 2002. Di tahun 2000, Atam, menurut Global Forest Watch (GFW), tercatat memiliki luas hutan alami sebesar 112.000 hektare (kha) atau 57% dari wilayah Atam. Sekitar 59,9 kha (53%) merupakan hutan primer. Sementara itu, luasan perkebunan di tahun yang sama mencapai 67,3 kha (34%) yang didominasi oleh PKS. Luas wilayah selebihnya adalah daerah non hutan.
Pemanfaatan lahan untuk perkebunan di Atam telah berlangsung lama, bahkan sejak masih terintegrasi dengan Aceh Timur. Hal itu bisa dilihat dari data inventaris penguasaan lahan dalam skema Hak Guna Usaha (HGU) sebesar 60 kha (30%) oleh 54 perusahaan perkebunan yang telah berdiri sejak tahun 1970. Bahkan, di antara itu, ada yang masa HGU-nya berlaku hingga 2042. Perhitungan HGU tersebut belum termasuk atas nama perusahaan pribadi dan kelompok.
Selain itu, hutan hujan tropis Atam juga telah dieksploitasi sejak 1970 melalui Hak Penguasaan Hutan (HPH) oleh PT Kwala Langsa yang sempat diambil alih oleh PT Raja Garuda Mas (RGM) yang berakhir di tahun 1992. Melalui skema HPH, PT Tjipta Rimba Djaja (TRD) juga tercatat mengeksploitasi hutan Atam sejak tahun 1970-2001. Bahkan, HPH ini juga menjadi landasan perusahaan tersebut untuk merambah hutan lindung di Atam yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sepanjang tahun itu, HPH telah menghasilkan kayu log dalam jumlah besar.
Eksploitasi hutan Atam semakin masif dengan keluarnya ratusan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) hutan seluas 100 ha per izin beserta IPK yang diperuntukkan untuk land clearing perkebunan. Tidak ada angka pasti terkait berapa pohon yang sudah dirambah, tapi prediksi Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHari), Sayed, mencapai jutaan ton.
Selain penguasaan lahan oleh perusahaan, eksploitasi lahan juga dilakukan oleh pihak yang mengatasnamakan masyarakat yang tidak memiliki izin HGU seluas 6 kha yang merambah kawasan lindung di delapan kecamatan. Dengan kata lain, sejak tahun 1970-an, Atam terus kehilangan luasan hutan karena deforestasi. Besar kemungkinan, Atam memiliki hutan jauh lebih luas—lebih dari 112 kha—sebelum tahun 2000-an.
Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit
Keberadaan PKS sangat mencolok di Atam. Hamparan PKS terbentang mulai dari perbatasan Atam dan Langkat (Sumatra Utara) hingga perbatasan Atam dan Kota Langsa. Wajar pula jika sektor perkebunan kelapa sawit menjadi sektor unggulan daerah. Sejak tahun 2002-2010, luasan PKS terus meningkat di Atam (lihat Grafik 1).
Keterangan:
TM: Tanaman Menghasilkan
TR: Tanaman Rusak
Di tahun 2005, jumlah PKS meningkat sebesar 31,6 kha dari tahun sebelumnya. Peningkatan pesat ini menandai ekspansi PKS skala besar berikutnya di Atam sejak 1970-an, terutama ke area hutan. Ekspansi PKS tersebut menjadi penyebab utama bencana banjir bandang di tahun berikutnya, sebab PKS tidak mampu menggantikan fungsi hutan.
Selain itu, data PKS menurut KKBP sangat berbeda dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Misalnya, pada tahun 2010, menurut data BPS Aceh, jumlah luas area PKS di Atam hanya sebesar 19,6 kha, selisih 28,5 kha dari laporan KKBP. Menurut hasil pemantauan citra satelit GFW di tahun 2010, luasan PKS di Atam bahkan mencapai 75,8 kha, diikuti dengan perkebunan karet 5,69 kha, dan 1,31 kha perkebunan tidak diketahui. Disparitas datanya lebih tinggi lagi, mencapai 56,2 kha. Artinya, data luas area PKS menurut BPS Aceh terbilang sangat kecil dibandingkan dengan laporan KKBP dan GFW.
Data luasan PKS menurut BPS Aceh atau BPS Atam di tahun-tahun berikutnya juga cenderung stabil. Luas area PKS sebesar 20,1 kha di tahun 2017, 19,7 kha di tahun 2018, 20,4 kha di tahun 2019, dan 21,9 kha di tahun 2020. Data ini sangat janggal dan tidak menggambarkan realitas di lapangan karena berdasarkan pengakuan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Atam tahun 2020, luas HGU di Atam mencapai 44,4 kha yang didominasi PKS. Jumlah ini belum mencakup keberadaan PKS-PKS ilegal.
Data PKS terbaru atau per tahun 2020 di Atam yang paling masuk akal dan dapat digunakan adalah data yang dilaporkan oleh Deputi Walhi Aceh, Nasir, yakni sebesar 51,1 kha. Data ini dapat dipercaya karena angkanya tidak timpang dan konsisten dengan laporan KKBP dan GFW, serta menggambarkan realitas lapangan yang menunjukkan area PKS terus meluas di Atam.
Atam adalah salah satu wilayah di Aceh yang dikepung PKS. Sebesar 26% dari total wilayah Atam berupa PKS. Selain karena PKS, kondisi hutan Atam yang semakin kritis juga disebabkan oleh illegal logging yang masif dan urbanisasi.
Sepanjang tahun 2001-2021, GWF mencatat Aceh Tamiang telah kehilangan hutan primer sebesar 6,67 kha (11%) dari total hutan primer yang ada. Sepanjang tahun yang sama, Atam kehilangan tutupan pohon sebesar 47,5 kha yang mayoritasnya terjadi di area perkebunan. Walaupun ada faktor penyebab lainnya, tapi, sebagaimana uraian di atas, penyebab utama kerusakan hutan di Atam adalah oknum perusahaan dan oknum masyarakat dalam lingkup PKS.
Baca juga:
Keadilan bagi Masyarakat Tamiang
Bencana banjir di Atam adalah manifestasi krisis sosio-ekologis yang menghasilkan ketidakadilan sosio-ekologis. Ketidakadilan sosio-ekologis berupa bencana banjir terjadi karena krisis sosio-ekologis berupa kerusakan hutan di Atam karena alih fungsi hutan menjadi PKS dan aktivitas perambahan hutan secara masif. Perusahaan sawit dan mafia kayu mendapat keuntungan dari eksploitasi alam Atam sementara masyarakat Atam harus menanggung dampak buruknya.
Pemerintah daerah berkewajiban menegakkan keadilan sosio-ekologis di Atam. Namun, ironisnya, wacana penanggulangan banjir di Atam hanya santer ketika memasuki periode banjir. Misalnya, belakangan ada wacana pembangunan tanggul sebagai solusi mengatasi banjir di Atam.
Bagi saya, itu adalah solusi palsu karena tidak menyentuh akar masalah sebenarnya. Semestinya, pemerintah daerah bisa mulai melakukan penataan atau penertiban izin HGU PKS yang menjadi penyebab konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat. Kemudian, pemerintah daerah mesti menindak pelaku ilegal loging dan harus memaksa berbagai pihak, terutama swasta, untuk merestorasi dan merehabilitasi hutan, serta melakukan revitalisasi sungai Atam yang mengalami sedimentasi parah.
Namun, usulan-usulan solusi tersebut terasa jauh. Sebab, pemerintah daerah cenderung masih denial atas penyebab banjir di Atam terus mengambinghitamkan intensitas hujan yang tinggi.
Editor: Emma Amelia