Aku adalah gambar yang berubah-ubah,tergantung bagaimana kamu memandangnya.

Taste of Cherry: Absurditas dan Problem Kesehatan Mental

Shankara Araknahs

2 min read

Seorang pria paruh baya hampir setiap hari mengitari daerah perbukitan tandus di sebuah kawasan yang memproduksi semen di Iran. Dengan mengendarai mobil Range Rover-nya, ia menanyai setiap orang yang ditemuinya untuk membantu mengubur dirinya hidup-hidup.

Nama pria paruh baya itu adalah Badii, tokoh utama dalam film Taste of Cherry (1997) karya sineas termasyur Iran, Abbas Kiarostami. Mungkin bagi kebanyakan orang yang kurang sabaran dan pencinta setia film Hollywood, karya Kiarostami ini seperti becak yang lambat dan ketinggalan zaman.

Hal tersebut ditambah isi ceritanya hanya berupa dialog-dialog panjang yang terkadang membingungkan. Tapi di situlah sang maestro coba menguliti intisari kemanusiaan, yang di era sekarang terasa hanya tersisa secuil. Hal ini terbukti setelah Taste of Cherry menjadi film Iran pertama yang memenangkan Palme d’Or di Festival Film Cannes 1997 (di mana film ini berbagi penghargaan dengan The Eel, karya Shohei Imamura).

Taste of Cherry menggunakan sinema untuk mencari tahu apakah hidup ini layak dijalani. Sebuah pertanyaan sulit yang kian dangkal. Sudah banyak film dengan mudah mencapai kesimpulan bahwa “begitulah kehidupan” dengan cara memanjakan keinginan kita untuk melihat segala sesuatunya berjalan dengan baik. Kiarostami tidak melakukan semua itu.

Film ini memotong plot dan latar belakang cerita, dua hal yang dapat menghambat sebuah film. Dengan jurus berputar-putar dan berliku-liku, keringkasan dari sembilan puluh sembilan menitnya menjadi jelas hanya dalam retrospeksi. Film ini dimaksudkan untuk menyembunyikan, bahkan untuk menggagalkan. Alih-alih mengikat cerita dengan rapi, bagian akhirnya justru melakukan sesuatu yang lain.

Dunia yang Absurd

Setelah selesai menonton film Taste of Cherry, tanpa sengaja ingatan saya langsung terlempar pada teori Absurditas yang ditulis oleh Albert Camus. Dalam menerangkan absurditas, ia menghadirkan tokoh yang sampai mampus dikutuk untuk membawa batu besar ke atas gunung, yaitu Sisifus. Ironisnya, batu tersebut akan menggelinding kembali ke bawah setelah Sisifus berhasil mendorongnya ke puncak gunung. Kejadian tersebut akan berulang terus-menerus persis sebuah lelucon yang memuakkan.

Begitu pula hal yang dirasakan Badii, di mana problem kenyataan sehari-hari manusia dalam keberadaanya. Badii merasa bahwa kehidupan amatlah absurd. Ia tak menemui makna dalam keterlemparannya ke dunia.

Satu-satunya cara yang menurutnya tepat untuk keluar dari kehidupan yang serba absurd ini adalah mengakhiri hidup. Di tengah gelombang masalah eksistensial, Badii merasa perlu menentukan waktu kematiannya sendiri daripada hanya menunggu hingga ajal menjemput.

Albert Camus pernah mengatakan, “Hanya ada satu masalah filosofis yang sungguh-serius, dan itulah bunuh diri“. Tapi haruskah kita kalah dengan keabsurdan dunia? Menariknya, Camus tidak melihat ketiadaan makna ini sebagai hal yang negatif.

Baca juga:

Baginya, memahami bahwa hidup ini absurd adalah langkah awal untuk benar-benar menjalani hidup. Meskipun kita berada dalam dunia yang tampaknya tanpa makna, ini adalah tantangan yang bisa kita atasi. Sama seperti ketika kita mengatasi masalah-masalah lain dalam hidup.

Lalu, apa yang membuat hidup kita layak untuk dijalani? Menurut Camus, kita harus menemukan kebahagiaan dalam momen-momen kecil. Dia mengagumi matahari, keindahan alam, sentuhan cinta, tarian, dan nikmatnya makanan lezat.

Apakah kau kehilangan segala harapan? Pernahkah kau lihat langit cerah ketika terbangun di pagi hari? Kala fajar, tidakkah kau ingin melihat matahari terbit? Pendar jingga dan merah matahari terbenam? Apakah kau ingin mengabaikan manisnya rasa ceri?” kata  seorang ahli taksidermi (orang yang berprofesi menyiapkan, mengisi, dan memasang kulit hewan atau burung yang sudah mati agar tampak hidup) kepada Badii, setelah ia setuju untuk membantu menguburnya hidup-hidup lantaran anaknya butuh uang untuk berobat.

Kesehatan Mental

Kesadaran akan dunia yang absurd ini, belakangan banyak menghantui generasi milenial. Hal itu mengakibatkan kesehatan mental (mental health) mereka terganggu. Ironisnya di Indonesia sendiri, gangguan mental menempati urutan tujuh ke atas pada anak-anak, remaja, dan usia produktif sebagai beban kesehatan. Bahkan kasus bunuh diri dilaporkan sebanyak 826 kasus pada tahun 2022. Jumlah ini menunjukkan tren peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pihak pengajar di dunia pendidikan perlu dibekali keterampilan memahami dan menanggapi dampak trauma pada kehidupan peserta didik. Pendekatan yang disebut sebagai trauma-informed practice ini menekankan keselamatan fisik, psikologis, dan emosional bagi setiap orang dengan tujuan memberdayakan individu agar dapat kembali mengendalikan kehidupan mereka.

Baca juga: 

Kesadaran untuk membangun sistem pendukung di lingkup pendidikan ini harus diinisiasi institusi pendidikan itu sendiri. Namun kondisi sistem pencegahan bunuh diri di Indonesia secara keseluruhan belum optimal. Ini bisa dilihat dari penggunaan BPJS Kesehatan untuk mengakses layanan psikiater harus menunggu berminggu-minggu. Lalu, saluran siaga yang ada di Indonesia juga belum ada yang berkelanjutan.

Kesulitan menjangkau layanan kesehatan mental tersebut merupakan permasalahan pelik. Sembari menunggu perbaikan sistem layanan kesehatan mental di waktu depan, mungkin ada baiknya mengambil satu pesan yang ditawarkan Camus untuk berdamai dengan keabsurdan. “Bayangkan saja bahwa Sisifus bahagia”. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Shankara Araknahs
Shankara Araknahs Aku adalah gambar yang berubah-ubah,tergantung bagaimana kamu memandangnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email