Lebih banyak membaca dan merenung.

Ironi dan Absurditas dalam Film Laut Memanggilku

Boiman Manik

3 min read

Mudah dibayangkan saat seorang laki-laki kesepian bertemu dengan sex doll. Adegan demi adegan imajiner terbayang di kepala tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, apa jadinya jika ternyata laki-laki kesepian itu adalah seorang anak kecil?

Pertemuan absurd antara Sura dan sex doll itu terjadi di film Laut Memanggilku (2021). Film ini memiliki semesta yang kompleks dan penuh dengan ironi. Namun, dari kompleksitas dunia cerita tersebut, sepenggal kisah antara Sura dan sex doll berhasil memantik penonton untuk bertahan menyelesaikan film ini sampai akhir.

Satu hal yang disadari, film ini mampu memancing berbagai asumsi dari penonton melalui absurditasnya. Penonton seolah-olah sengaja digiring pada asumsi tertentu lewat perilaku absurd karakternya, tetapi pada akhirnya dikejutkan dengan realitas sebaliknya dalam cerita. Demikianlah sepanjang film penonton disajikan absurditas yang memunculkan ironi demi ironi di dalamnya.

Albert Camus mendedah absurditas sebagai kutukan pada hidup manusia. Camus menyatakan bahwa manusia hidup di dunia yang jahat yang sering memberi ancaman kepada semua orang. Melalui esai dan novelnya yang mengusung tema absurditas, Camus memberi jalan keluar untuk memberontak melawan absurditas dengan tindakan yang konkret.

Sura sebagai seorang anak kecil yang hidup sebatang kara yang hidup di rumah semi permanen di tepi laut, harus menghadapi dunia yang jahat ini sendirian. Tanpa kasih sayang orang tua, Sura harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Secara mandiri Sura mampu mempertahankan diri dari kutukan hidup yang dialaminya. Dengan kata lain, Sura menjadi dewasa sebelum waktunya. Bagi anak seumuran Sura, tentu apa yang dialaminya adalah realitas hidup yang absurd.

Kasih Sayang Artifisial

Film ini dibuka dengan Sura yang duduk sendirian di tepi laut tepi laut. Ia memandangi laut seakan-akan sedang menunggu seseorang yang datang dari sana. Kemudian film berjalan dengan berbagai aktivitas yang dijalani oleh Sura: bekerja lalu bermain sendirian. Sampai akhirnya bertemu dengan sex doll, kehidupan Sura mengalami perubahan.

Dialog dalam film ini tidak banyak, tetapi semua dikemas secara menarik. Pertama kali interaksi dalam bentuk dialog terjadi saat Sura bertemu dengan Argo. Sura ingin meminjam pompa untuk ‘balon’. Argo sempat menolak, tetapi pada akhirnya ia menurut dan memompa ‘balon’ itu. Argo yang melihat sex doll itu kemudian memukul kepala sambil mengatainya bodoh.

Adegan absurd antara Sura dan sex doll mulai terjadi cukup intens sepanjang pertengahan film. Sura memakaikan sex doll itu baju dan memberi semacam tahi lalat di ujung bibirnya. Kemudian Sura merapikan rambut dan duduk di atas pangkuan sex doll tersebut. Adegan berganti saat Sura selesai mandi dan memakai baju. Kemudian ia berpamitan kepada sex doll itu dan memanggilnya dengan sebutan ibu. Maka, penonton dihadapkan pada cerita yang menunjukkan sebuah karakter ilusi yang diciptakan Sura.

Sura membangun sebuah relasi yang menghadirkan kasih sayang artifisial antara sex doll dan dirinya. Misalnya saat sedang bermain bola, Sura seolah-olah menciptakan situasi sebagai anak yang nakal dan ditegur oleh ibunya. 

Sura berkata bentar dulu Bu, lagi seru saat ia tengah asik bermain. Kemudian setelah merasa ditegur beberapa kali, Sura akhirnya duduk di hadapan ibu barunya dan memakan semangkuk mi instan. Makanan tersebut sebenarnya disiapkan sendiri oleh Sura, tetapi dalam ilusi yang diciptakannya, bukan seperti itu yang terjadi.

Sura mulai menikmati rasa rindu yang terpuaskan melalui kasih sayang artifisial tersebut. Ilusi demi ilusi diciptakan sendiri oleh Sura. Beberapa adegan yang menyentuh misalnya saat Sura dielus pipinya oleh boneka. Kamera tampak menyorot wajah Sura yang menikmati momen itu, sebelum akhirnya ia dikejutkan oleh kehadiran Argo.

Argo datang sebanyak dua kali ke rumah Sura dengan tujuan untuk meminjam boneka tersebut. Sebagai karakter yang lebih dewasa dari Sura, Argo yang meminjam secara paksa sex doll tersebut menimbulkan asumsi baru kepada penonton. Akankah Argo menggunakan boneka tersebut sebagaimana fungsinya?

Asumsi itu semakin kuat karena Argo selalu memaksa Sura untuk memberikan boneka itu. Namun, Sura yang tidak ingin kehilangan kasih sayang yang selama ini ia rindukan, menolak permintaan Argo. Sampai pada akhirnya, Argo memukuli Sura dan mengambil sex doll itu secara paksa.

Baca juga: 

Film mulai mencapai akhir saat Sura pergi ke rumah Argo. Dia datang dengan sebongkah batu besar, tampak ingin menggunakannya untuk memukul Argo. Saat Sura sudah masuk ke dalam rumahnya, tempo film mendadak seperti berhenti. Sura dengan dua tangan di atas kepala sambil ingin memukul Argo, lalu mendadak diam membeku ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya. Ia menyaksikan Argo tidur di atas pangkuan sex doll tersebut.

Jalan Keluar Absurditas

Sura dan Argo mengalami realitas hidup yang absurd. Keduanya ditunjukkan hidup sendirian tanpa mendapatkan perlindungan secara fisik dan emosi. Di tengah hidup yang selalu memiliki resiko dan ancaman, tentu mereka membutuhkan sosok pelindung, atau setidaknya perasaan dilindungi. Meski mereka menciptakan sosok itu secara artifisial, tetapi pada akhirnya perasaan aman itu bisa muncul.

Sex doll tersebut hadir sebagai upaya konkret bagi Sura dan Argo dalam melawan absurditas dunia. Meski begitu, perlawanan konkret mereka terkesan absurd karena penonton merasa asing dengan interaksi mereka bersama sex doll tersebut. Terlepas dari itu, keduanya berhasil menemukan jalan keluar absurditasnya.

Film ini berhasil memantik empati penonton terhadap kebutuhan primordial anak kecil dan remaja: kasih sayang. Lewat visual, audio, dan dialog, Laut Memanggilku mampu memberi pengalaman estetika yang menyenangkan. Berbagai elemen sinematografi mampu mengemas absurditas dalam film ini dengan baik. Lewat narasi yang baik pula, penonton mampu merasa ikut terlibat dalam setiap adegan-adegan dalam film yang penuh ironi. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Boiman Manik
Boiman Manik Lebih banyak membaca dan merenung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email