Sejarah Indonesia dipenuhi dengan momen-momen perubahan besar yang sering kali digerakkan oleh tangan mahasiswa. Misalnya, perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia dikawal oleh mahasiswa yang berperan dalam mempersiapkan kemerdekaan tersebut, menunjukkan bagaimana kekuatan kecil dapat membawa perubahan besar. Bahkan sebelum menjadi sarjana, mahasiswa pernah meruntuhkan dua rezim kuat yang bertahan lama, yaitu Orde Lama dan Orde Baru.
Namun, bagaimana dengan mahasiswa saat ini? Apakah mereka masih memiliki kekuatan yang sama untuk membawa perubahan? Ada anggapan bahwa mengenang heroisme mahasiswa sebelum Reformasi hanya membuang-buang waktu. Bagi sebagian mahasiswa masa kini, romantisme sejarah tidak lagi menarik. Hal ini diduga akibat dampak budaya digital. Konsumsi konten yang berlebihan mengikis kesadaran akan jati diri mereka sebagai mahasiswa.
Padahal, banyak pelajaran dari sejarah yang seharusnya diingat. Salah satunya adalah pesan dari presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang terkenal yaitu “Jas Merah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Pesan itu mengandung makna penting agar kita mau terus mempelajari sejarah sehingga tidak mudah terperosok ke dalam jurang kesalahan yang sama.
Bung Karno bahkan berkata bahwa jika ia diberi 10 pemuda, maka ia bisa mengguncang dunia. Hari ini, meskipun jumlah pemuda sangat banyak, kita masih kesulitan untuk “mengguncang dunia”. Peran mahasiswa di masa kini seringkali terperangkap dalam pragmatisme. Kuliah hanya dianggap untuk segera lulus dan mendapatkan ijazah, tidak seperti peran-peran aktif mahasiswa dalam perubahan sosial dan politik nasional yang telah tercatat dalam lembar sejarah.
Pada era orde baru, mahasiswa menghadapi rezim otoriter yang represif. Namun, di era sekarang, mahasiswa dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dan beragam. Otoritarianisme muncul dalam bentuk yang berbeda. Ketidakadilan tidak hanya berwujud dalam bentuk fisik tetapi juga dalam ruang digital.
Oleh karena itu, perlu ada pengingat bagi mahasiswa bahwa mereka adalah pengendali sosial dan kekuatan moral yang menjadi harapan besar masyarakat untuk membawa perubahan. Memasuki era digital, mahasiswa tetap harus menyadari perannya sebagai agen perubahan. Peran itu bisa kini bisa diimplementasikan dengan memanfaatkan media sosial dan platform digital lainnya.
Baca juga:
- Pengorganisasian Gerakan yang Inklusif dan Berkelanjutan
- Belajar Revolusi dari Hong Kong
- Mahasiswa dalam Cengkeraman Neo Orba
Tidak jarang, gerakan sosial hari ini dimulai dari platform digital sebelum berujung pada aksi nyata di lapangan. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu tagar #ReformasiDikorupsi atau tajuk “Peringatan Darurat” dengan lambang Garuda berlatar belakang biru memicu mahasiswa untuk turun ke jalan setelah viral di media sosial. Ini adalah langkah terakhir setelah upaya dialog dan penyampaian pendapat yang dianggap tidak mendapatkan respons memadai. Demonstrasi besar-besaran ini menggambarkan keputusasaan serta urgensi situasi yang membutuhkan tindakan segera dan konkret.
Meskipun sering kali dimulai di media sosial, demonstrasi dan aksi mahasiswa mencerminkan tuntutan akan perubahan nyata yang harus diwujudkan di dunia fisik. Inilah tantangan yang dihadapi mahasiswa di era digital: bagaimana menjadikan media sosial sebagai alat untuk menggerakkan perubahan dalam kehidupan sosial yang sesungguhnya.
Privilege Mahasiswa
Menjadi mahasiswa adalah sebuah kemewahan yang tak terhingga nilainya. Hanya sekitar 2,6% dari total populasi Indonesia yang mampu menempuh pendidikan tinggi. Ini adalah anugerah yang harus dipertanggungjawabkan, karena sejatinya, kita mewakili teman-teman kita yang tidak mampu atau tidak berhasil dalam persaingan masuk perguruan tinggi.
Kesempatan menjadi mahasiswa seharusnya dipandang sebagai kewajiban untuk menciptakan momentum metamorfosis. Setidaknya, ada tiga aspek yang harus bertransformasi dalam diri mahasiswa: pola pikir, pola jiwa, dan pola perilaku. Jika tidak ada perbedaan antara diri kita sebelum dan sesudah menjadi mahasiswa, maka kita telah gagal dan terjebak dalam lumpur kesia-siaan.
Tan Malaka pernah berkata, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.” Ia juga menegur para pemuda dengan mengatakan: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Maka dari itu, kesempatan kuliah jangan hanya dimanfaatkan untuk memperindah diri, sebagaimana pesan Buya Hamka: “Jika hidup hanya sekadar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera pun bekerja.”
Bagi mereka yang sudah menjalani pendidikan dengan maksimal, mari terus pertahankan dengan senantiasa belajar dan menambah pengalaman. Bagi yang belum maksimal, masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Penyesalan di masa tua sering kali timbul bukan karena kegagalan, tetapi karena tidak mencoba hal-hal baru dalam hidup. Oleh sebab itu, sebagai mahasiswa hari ini kita harus aktif dan berani bersuara di dunia maya sekaligus bertindak nyata demi membawa perubahan bagi masyarakat.
Perubahan tidak akan terjadi tanpa keberanian untuk bertindak. Mari buktikan bahwa mahasiswa hari ini mampu membawa perubahan. Dimulai dari dunia maya, dan direalisasikan dalam aksi nyata. (*)
Editor: Kukuh Basuki