Perjalanan hidup kita hampir pasti tidak lempeng-lempeng saja. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi sehari-hari. Ada yang mudah diatasi. Banyak yang susah diselesaikan. Ada yang hanya menjadi kekagetan sesaat saja, pun yang menjadi tekanan berkepanjangan. Masing-masing dari kita pasti mempunyai cerita kreatifnya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahannya atau setidaknya menekan tingkat stres yang terjadi. Bagi saya, membaca buku adalah salah satu dari beragam pilihan yang bagus untuk dicoba.
Alternatif lain yang lebih ‘masuk akal’ dilakukan ketika stres mungkin main gim daring, mancing, olahraga, jalan-jalan, pacaran, nonton konser, makan, ngopi, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Ya, tidak salah sih. Aktivitas-aktivitas itu juga bisa menurunkan tingkat stres. Tapi bagi saya tetap, membaca adalah pilihan pertama dan terbaik.
Bukankah rasanya susah untuk membaca ketika sedang stres?
Memang benar ketika stres atau depresi pikiran kita akan kacau, susah konsentrasi dan sulit fokus. Namun di balik itu, saya masih yakin, dalam kondisi stres seberat apapun bukan berarti otak kita secara total tidak berfungsi. Masih ada celah-celah jalur saraf yang masih dapat dilewati informasi, setidaknya untuk menyalakan lagi imajinasi-imajinasi dalam diri.
Lalu buku apa yang saya baca?
Bebas. Buku apapun dilahap. Bisa fiksi, bisa non fiksi. Bisa novel, kumpulan cerpen, naskah drama atau bisa juga buku sains populer, buku sejarah, sosial, politik, bahkan filsafat. Bisa buku yang tipis, bisa juga buku yang tebal. Bisa buku lama yang belum dibaca, bisa juga buku yang baru dibeli.
Bagi saya justru pada saat stres-lah saya akan membaca buku yang paling tebal dan paling membosankan. Alasan pertamanya adalah buku itu tidak pernah tersentuh pada saat saya merasa baik-baik saja dan tidak ada masalah. Biasanya buku itu terletak di rak atau tumpukan buku paling bawah dan berdebu saking tidak pernah disentuhnya. Pada saat senang saya cenderung membaca buku best seller atau ikut arus utama.
Kedua, dengan buku yang tebal berarti saya bisa lebih lama menghabiskan waktu dalam sehari di hadapan buku. Semakin tebal, maka membutuhkan waktu yang semakin lama untuk menyelesaikannya, sehingga terasa tidak habis-habis. Dengan hal ini, setidaknya saya terhindar dari pikiran-perilaku negatif yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Ketiga, biasanya (dan ini sering terjadi) dari buku tebal itu saya mendapatkan kata-kata, kalimat, atau paragraf yang membuat saya lebih optimis—yang tidak saya dapatkan dari buku-buku populer. Kata-kata itu tidak harus kata mutiara, kalimat motivasi, atau ayat-ayat sakral. Justru sebaliknya, kata-kata sederhana yang biasa saja tapi mengungkap fakta yang sering kita lewatkan, sehingga kita bisa merasakan momen “Oh, iya bener juga ya, kok saya baru nyadar?”. Hal itu cukup memberikan dosis rileks di antara tekanan stres pada hari itu.
Keuntungan membaca buku apapun pada saat stres adalah saya tidak dibebani rasa harus bisa memahami isi buku. Misal jika saya merasa tidak mengerti dengan satu kalimat atau paragraf yang sudah dibaca, saya tidak mengulanginya dan terus saja melanjutkan baca. Dengan begitu, maka saya bisa lebih cepat dalam menyelesaikan pembacaan buku. Jika satu buku selesai, langsung lanjut ke buku berikutnya. Jadi seperti naik motor, kemmudian melewati ceruk jalan yang rusak. Saya merasakan guncangan itu tapi tidak menoleh lagi ke lubang jalan itu. Saya tetap melaju dengan kecepatan yang stabil dan konsisten.
Pada saat stres biasanya buku-buku yang sudah dibaca baca saya catat. Dari catatan itulah, ketika stres sudah mereda, saya bisa membuat tulisan-tulisan reflektif tentang pengalaman dalam situasi sulit dan buku-buku yang menemani saya dalam proses penyembuhannya.
Dengan latar belakang itulah saya suka jalan-jalan ke toko buku, perpustakaan, pameran buku, festival buku, dan acara-acara perbukuan lainnya. Dengan berjalan-jalan, di sana saya mengetahui perkembangan buku-buku terbitan baru. Selain itu saya juga berkesempatan menemukan buku-buku lama yang susah dicari atau juga buku-buku impor yang jarang terlihat di rak toko buku sekitar. Walaupun uang pas-pasan, jika menemukan buku bagus, maka berat sekali untuk tidak membeli. Biasanya pertimbangan terakhir dari keputusan itu adalah “buku ini akan sangat berarti bagi saya ketika badai kehidupan datang lagi di esok hari”.
Saya sangat beruntung telah mendapatkan kesulitan hidup berkali-kali. Karena dengan itu semakin banyak pula buku-buku yang saya baca. Saya tidak mengatakan membaca buku pasti dapat meredakan stres, walaupun ada beberapa penelitian mengamininya. Tapi setidaknya dengan membaca buku, maka resiliensi atau daya tahan saya menghadapi stres akan semakin kuat. Begitu juga imajinasi dan kreativitas yang akan semakin bertambah seiring banyaknya buku yang sudah ditamatkan di masa-masa sulit.
*****
Editor: Moch Aldy MA