Bagaimana jika sebuah institusi yang dirancang untuk mencetak generasi penerus bangsa namun ironisnya ‘lupa’ akan tanggung jawabnya terhadap masa depan bumi? Memprihatinkan kedengarannya, tapi inilah “Kampus Pikun” yang kini sedang menjangkiti banyak perguruan tinggi di Indonesia. Pasalnya, di tengah urgensi krisis iklim dan degradasi lingkungan, mengapa kampus kita sering ‘lupa’ tentang komitmen keberlanjutan ini?
Data dari UI GreenMetric World University Rankings 2021 menunjukkan bahwa hanya 23% perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam peringkat kampus berkelanjutan global. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 35%, atau Jepang dengan 45%. Lebih memprihatinkan lagi, kontribusi mahasiswa yang terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan kampus di Indonesia masih berkutat di angka 45%, jauh di bawah Jerman (70%) atau Swedia (65%). Tentunya, kesenjangan ini menggambarkan ‘amnesia selektif’ kampus-kampus di Indonesia terhadap isu lingkungan.
Untuk memahami fenomena ini lebih mendalam, kita perlu melihat faktor-faktor struktural yang mempengaruhinya. Keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala utama. Sebagai contoh, Universitas X di Jawa Timur hanya mengalokasikan 2% dari total anggarannya untuk program lingkungan, jauh di bawah standar internasional yang mencapai 5-10%. Selain itu, kurangnya insentif bagi civitas akademika yang terlibat dalam kegiatan lingkungan juga menjadi faktor penghambat. Hal ini membuktikan bahwa keterlibatan dalam program lingkungan belum menjadi kriteria dalam penilaian kinerja dosen atau dalam sistem kredit mahasiswa di sebagian besar kampus Indonesia.
Resistensi terhadap perubahan juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak kampus terjebak dalam inersia organisasi. Contohnya, program studi di Universitas Y yang masih menggunakan kurikulum lama yang belum mengintegrasikan aspek keberlanjutan, meskipun tren global menunjukkan urgensi untuk melakukannya. Hal ini lagi-lagi mencerminkan keengganan untuk keluar dari zona nyaman dan mengadopsi paradigma baru dalam pendidikan tinggi.
Dalam aspek teknologi pun, ‘kepikunan’ kampus-kampus di Indonesia semakin terlihat gamblang. Data terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% kampus di Indonesia yang telah menerapkan sistem manajemen energi berbasis teknologi. Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 80% atau Australia dengan 75%.
Contoh konkret dari fenomena ini bisa dilihat di berbagai aspek. Salah satu kampus Z di Surabaya masih menggunakan sistem pendingin ruangan konvensional yang boros energi. Padahal, teknologi inverter yang lebih efisien sudah tersedia sejak satu dekade lalu. Laboratorium di Universitas W juga masih menggunakan peralatan lawas yang mengonsumsi listrik tinggi, sementara ada alternatif peralatan hemat energi yang bisa menghemat hingga 40% konsumsi listrik. Sistem pencahayaan 1 di banyak kampus masih menggunakan lampu neon, padahal beralih ke LED bisa menghemat energi hingga 75%.
Faktor Penghambat
Fenomena technological lock-in ini bisa dijelaskan oleh beberapa faktor. Biaya investasi awal yang tinggi sering kali menjadi penghalang, meskipun dalam jangka panjang teknologi hijau bisa menghemat biaya operasional. Kurangnya expertise dalam mengelola teknologi hijau juga membuat banyak kampus lebih memilih bertahan dengan sistem lama. Selain itu, ada resistensi budaya yang membuat civitas akademika enggan mengubah kebiasaan dan rutinitas yang sudah mapan, meskipun itu berarti mengorbankan efisiensi dan keberlanjutan.
Ingatan institusional juga menjadi persoalan krusial. Meskipun data menunjukkan bahwa rata-rata turnover staf akademik di perguruan tinggi Indonesia relatif rendah (kurang dari atau sama dengan 15% per tahun), ironisnya hanya 35% program keberlanjutan kampus yang berhasil bertahan lebih dari 5 tahun. Ini menunjukkan adanya masalah dalam membangun dan mempertahankan komitmen jangka panjang terhadap keberlanjutan.
Baca juga:
- Menghadapi Pemanasan Global dengan Emosi Kolektif
- Memahami Perubahan Iklim dari Mantel Pengendara Motor
- Celah Korupsi Hijau
Beberapa faktor berkontribusi terhadap lemahnya ingatan institusional ini. Kurangnya dokumentasi menjadi salah satu masalah utama, di mana banyak kampus tidak memiliki sistem manajemen pengetahuan yang baik untuk mendokumentasikan praktik-praktik keberlanjutan. Selain itu, program keberlanjutan sering bergantung pada champion individual, bukan pada sistem yang terintegrasi. Akibatnya, ketika individu tersebut pindah atau pensiun, program yang telah dibangun ikut ‘menghilang’. Inkonsistensi kebijakan juga menjadi faktor, di mana perubahan kepemimpinan kampus sering kali mengakibatkan perubahan prioritas dan penghentian program-program yang sudah berjalan.
Langkah Konkret
Untuk mentransformasi ‘Kampus Pikun’ menjadi ‘Kampus Ingat’, diperlukan langkah-langkah konkret dan terukur. Pertama, integrasi keberlanjutan dalam kurikulum harus menjadi prioritas. Dalam tiga tahun ke depan, setidaknya 50% program studi harus mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam kurikulumnya. Pelaksanaan ini bisa dicapai melalui pembentukan tim khusus untuk merevisi kurikulum, pelatihan dosen, dan pengembangan modul-modul keberlanjutan.
Kedua, adopsi teknologi hijau harus dipercepat. Dalam lima tahun, 80% kampus harus mengadopsi minimal tiga teknologi hijau, seperti sistem manajemen energi, panel surya, atau sistem daur ulang air. Ini bisa diimplementasikan melalui kerja sama dengan perusahaan teknologi, skema pembiayaan inovatif seperti leasing dan pelatihan staf.
Ketiga, penguatan ingatan institusional harus menjadi fokus. Dalam dua tahun, setiap kampus harus memiliki sistem manajemen pengetahuan untuk praktik keberlanjutan. Hal ini bisa dicapai melalui pengembangan platform digital untuk dokumentasi, program mentoring lintas generasi, dan integrasi aspek keberlanjutan dalam KPI institusi.
Keempat, sistem insentif dan penghargaan harus dibangun. Dalam satu tahun, setiap kampus harus memiliki sistem reward yang jelas untuk keterlibatan dalam program keberlanjutan. Tentu ini bisa diimplementasikan melalui integrasi aspek ke berlanjutan dalam penilaian kinerja, beasiswa khusus untuk proyek lingkungan, dan penghargaan tahunan untuk inovasi keberlanjutan.
Terakhir, kolaborasi dan benchmarking internasional harus ditingkatkan. Dalam tiga tahun, setiap kampus harus memiliki minimal satu kerja sama internasional terkait program keberlanjutan. Dapat diwujudkan melalui program pertukaran dengan kampus-kampus terkemuka dalam aspek keberlan jutan, partisipasi aktif dalam forum-forum internasional dan adopsi standar keberlanjutan global.
Jika langkah-langkah ini diimplementasikan dengan konsisten, kita bisa memproyeksikan skenario yang optimis. Dalam sepuluh tahun ke depan, 70% kampus di Indonesia bisa masuk dalam peringkat kampus berkelanjutan global, kontribusi mahasiswa dalam kegiatan lingkungan meningkat menjadi 75%, dan 90% kampus telah mengadopsi teknologi hijau. Namun, jika tidak ada perubahan signifikan, kita juga harus siap menghadapi skenario pesimis di mana kondisi akan tetap stagnan atau bahkan menurun, dengan potensi dampak negatif jangka panjang terhadap lingkungan dan daya saing global perguruan tinggi Indonesia.
Transformasi menuju kampus yang berkelanjutan bukanlah pilihan, melainkan keharusan moral jika kita tidak ingin menjadi generasi terakhir yang menghuni planet ini. Dengan komitmen yang kuat, implementasi yang konsisten, dan kolaborasi yang luas, kita bisa menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan dan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. (*)
Editor: Kukuh Basuki