Presiden Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan pidatonya secara gegap gempita saat pelantikannya. Salah satu poin yang disampaikannya adalah terkait dengan swasembada energi. Menurut Prabowo, Indonesia memiliki sumber daya energi yang berlimpah sehingga berpotensi untuk melakukan swasembada energi. Sumber energi itu terdiri dari batubara, biofuel, dan geotermal.
Sekilas tidak ada persoalan terhadap sumber-sumber energi yang disebutkan Prabowo Subianto itu. Namun, bila ditelisik lebih dalam, sumber-sumber energi itu justru merupakan sumber ketidakadilan ekologi bagi masyarakat. Selama ini, ekspolitasi sumber-sumber energi, yang disebutkan Prabowo Subianto, justru rentan untuk menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), baik dalam dimensi hak sipil dan politik maupun sosial, budaya, dan lingkungan hidup.
Sumber energi batu bara misalnya, adalah salah satu energi kotor yang dimiliki Indonesia. Indonesia bukan hanya negara yang sangat tergantung dengan energi kotor batu bara, tapi juga pengekspor energi kotor batu bara itu. Laporan Statistik Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada tahun 2022 Indonesia mengekspor 360 juta ton batu bara.
Baca juga:
Dampak nyata dari pembakaran energi kotor batu bara itu adalah emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Krisis iklim ini telah menimbulkan berbagai bencana ekologi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Korban dari bencana ekologi akibat krisis iklim ini telah berjatuhan. Menurut Badan Meteorologi Dunia (WMO), pada 2021 saja sudah lebih dari dua juta orang meninggal dunia karena bencana alam akibat krisis iklim. Kerugian ekonomi akibat krisis iklim pun membengkak. WMO mengungkapkan kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai US$3,64 triliun (Rp51 kuadriliun).
Bukan hanya itu, aktivitas pertambangan batu bara juga membuat kerusakan ekologi di tingkat lokal. Air, tanah, dan udara yang tercemar adalah konsekuensi logis dari operasional pertambangan batu bara ini. Masih disebutnya batu bara sebagai sumber energi penopang dari agenda swasembada energi menunjukan bahwa Prabowo Subianto akan melanjutkan ketidakseriusan Presiden Jokowi dalam transisi energi dan komitmen terhadap lingkungan hidup.
Sangat tidak mungkin Prabowo Subianto tidak mengetahui daya rusak batu bara ini. Lantas, mengapa ia masih menjadikan batu bara menjadi pijakan bagi swasembada energi? Apakah itu terkait dengan bisnis batu bara milik elite ekonomi dan politik yang ada di lingkar kekuasaan?
Sumber energi berbasiskan sawit yang disebutkan dalam pidato Prabowo Subianto juga berpotensi menjadi sumber ketidakadilan ekologi baru. Selama ini perkebunan sawit menjadi ancaman bagi keberadaan hutan di Indonesia. Laporan yang disusun Greenpeace dan lembaga ahli geospasial yang bertajuk TheTreeMap yang diluncurkan pada 2021 menemukan bahwa pada akhir 2019 terdapat 3,12 juta hektare sawit ditanam di kawasan hutan, angka itu sekitar 19% dari total luasan perkebunan sawit di Indonesia.
Penggunaan energi berbasikan sawit akan meningkatkan permintaan terhadap komoditi itu. Artinya, akan semakin banyak hutan yang dikorbankan. Bila itu terjadi, bukan hanya krisis iklim secara global yang terjadi namun juga bencana ekologi di tingkat lokal.
Baca juga:
Perluasan kebun sawit secara ugal-ugalan juga berpotensi menimbulkan konflik agraria antara masyarakat sekitar dengan perusahaan sawit skala besar. Biasanya, negara melalui aparat keamanan akan berpihak pada perkebunan sawit skala besar itu. Dari sinilah kemudian cerita tentang pelanggaran HAM bermula.
Prabowo Subianto pun pasti tahu terkait persoalan alih fungsi hutan menjadi sawit di Indonesia yang terjadi secara ugal-ugalan dan menjadi sumber ketidakadilan baru bagi masyarakat lokal. Pertanyaannya mirip seperti sebelumnya, mengapa ia masih menjadikan sawit menjadi pijakan bagi swasembada energi? Apakah itu terkait dengan bisnis perkebunan sawit milik elite yang ada di lingkar kekuasaan?
Sumber energi berikutnya yang diungkapkan Prabowo Subianto dalam pidatonya adalah panas bumi atau geotermal. Sumber energi ini banyak ditolak oleh masyarakat sekitar karena mengancam sumber-sumber kehidupannya. Sering kali negara hadir tidak untuk membela masyarakat yang disingkirkan dari sumber-sumber kehidupannya akibat proyek geotermal itu, tetapi untuk membungkam suara-suara protes dari masyarakat. Kekerasan dan pelanggaran HAM menjadi sesuatu yang tak terelakan dari proyek geotermal ini.
Di Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), proyek geotermal yang rencananya mendapatkan pendanaan dari Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), mendapat penolakan dari warga setempat. Di awal Oktober ini, aksi protes warga bukan hanya berujung pada kekerasan terhadap warga tetapi juga pada jurnalis yang meliput aksi protes warga.
Sebelumnya, di NTT juga terjadi penolakan proyek geotermal di Wae Sano. Bank Dunia pada akhirnya menarik diri dari proyek yang mendapat penolakan warga sekitar itu. Salah satu alasannya, proyek geotermal di Wae Sano tidak memenuhi aspek Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang menjadi standar baku proyek Bank Dunia.
Baca juga:
Pidato Prabowo Subianto terkait swasembada energi dengan sumber-sumber energi yang disebutkannya justru memberikan sinyal kuat kepada publik bahwa selama lima tahun ke depan eksploitasi atas sumber-sumber energi itu akan terjadi secara ugal-ugalan. Jika itu terjadi, berarti menjadi sinyal kuat bahwa swasembada energi akan hanya dinikmati segelintir elite dan berpotensi membahayakan lingkungan hidup, baik di tingkat lokal maupun global.
Rakyat sebagai pembayar pajak tentu saja tidak boleh terkesima dengan jargon swasembada energi yang justru akan menjadi sumber ketidakadilan ekologi baru bagi masyarakat. Rakyat harus selalu mengingatkan para pelayannya, termasuk Presiden Indonesia, agar tidak terus mereproduksi kebijakan yang membahayakan alam dan warga sekitar. Di negara demokrasi, rakyatlah yang sejatinya memiliki kuasa, bukan para pejabat yang digaji dari uang pajak mereka.
Editor: Prihandini N